Sebuah mobil berhenti di depan rumah dengan pelataran luas. Setelah menempuh perjalanan lumayan jauh, akhirnya Sri sampai juga di tempat tersebut. Dengan diantar seorang teman wanita yang selama ini menjadi tempatnya berkelu kesahnya tentang Dewo, mata Sri menatap lega rumah besar yang terletak di daerah pesisir itu. “Benar ini rumahnya, Tun?” Sri bertanya sebelum keduanya turun dari mobil yang mereka sewa dari sebuah jasa persewaan transportasi tak jauh dari Rumah Makan Sri. “Bu, saya nunggu dimana?” Suara si sopir terdengar saat kedua wanita itu hampir melangkahkan kaki menuju ke arah pagar rumah besar dan megah di depan mereka.“Kami mungkin agak lama. Masnya cari makan dulu di sekitaran sini. Setauku ada beberapa warung kok. Kalau bingung, tanya warga saja,” sahut Atun pada lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan itu.Tanpa banyak tanya lagi, lelaki itu pun bergegas meninggalkan tempat itu dengan mobil majikannya. Sejak perjalanan menjemput dua penyewanya tadi, lelaki itu ras
“Sudah, kamu manut saja to, Sri. Kalau kamu ragu-ragu, usaha kita nggak akan berhasil.” Di dalam mobil, berulang kali Atun mencoba meyakinkan Sri dalam perjalanan pulang.Sebenarnya Sri memang ragu, gara-gara si dukun mengatakan hal yang tak masuk akal tentang Dewo tadi. Tapi dia sudah kepalang basah. Dia tak mau perjalanannya yang jauh itu tak membawa hasil apa-apa. Lagipula, keinginannya untuk melenyapkan istrinya Dewo itu begitu kuat. Apapun yang terjadi, dia harus berhasil. Atun merapatkan diri ke tubuh sahabatnya, lalu menggenggam tangan Sri dengan erat. Sementara tangan yang digenggam itu justru mendekap tas di dadanya. Sesuai pesan dari si dukun bernama Karno tadi, Sri harus menjaga benda pemberian itu hingga sampai di tempat tujuan. Sri tidak tahu benda apa sebenarnya yang diberikan oleh si dukun tadi, tapi dia memang harus yakin bahwa itulah nanti yang akan membuat tujuannya berhasil.“Aku cuma bingung, Tun,” katanya kemudian. Mulutnya mengerucut menyiratkan isi pikirannya
Pagi itu Agnia bangun dengan gelisah. Apalagi saat menyadari bahwa ternyata Dewo benar-benar belum pulang ke rumah. Naya dan Aqilla pun mulai merengek menanyakan keberadaan ayah mereka.“Ibu juga belum tahu, Sayang. Kalian tenang dulu ya, biar ibu coba hubungi ayah.” Demi membuat anak-anaknya tenang, akhirnya Agnia mengalah. Hal yang sudah beberapa waktu terakhir ini sangat dihindarinya, yaitu menelpon suaminya itu jika tidak mendesak, terpaksa dilakukannya saat ini.Naya dan Aqilla langsung tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres saat melihat melihat raut muka ibunya yang sedikit pucat. Beberapa kali sambungan telepon itu dialihkan. HP Dewo tidak aktif.“HP ayah mati,” ujar wanita itu kemudian pada dua anaknya yang duduk menunggu dengan gelisah di meja makan. Wajah dua gadis kecil itu pun ikut pucat. “Telepon polisi aja, Bu.” Aqilla mulai menyeletuk dengan gaya khasnya yang sok dewasa. Jantung Agnia tiba-tiba berdebar mendengar kata ‘polisi’ disebut oleh anak bungsunya. Mungkinkah m
“Wo, nggak bangun kamu? Nggak ke kantor?”Sri masuk ke dalam kamar dengan dandanan sudah rapi. Tangannya membawa sebuah nampan berisi dua cangkir kopi yang aromanya seketika menguar ke setiap sudut kamar, membuat hidung Dewo langsung kembang kempis saat membuka mata. “Jam berapa ini?” tanyanya sembari mengucek mata. Tangan kanannya segera meraba-raba sekitar kasur untuk mencari-cari sesuatu. “Nyari apa kamu?” Sri malah balik bertanya. “HP,” sahutnya.“Kan semalam kamu cas, tuh di sana!” Sri menunjuk sudut ruangan dimana Dewo meletakkan ponselnya semalam dalam keadaan mati dan mengisi daya sebelum akhirnya dia membaringkan tubuhnya masih dengan pakaian lengkap. “Aku capek banget. Tolong jangan ganggu aku ya? Aku mau langsung tidur,” ucap laki-laki itu semalam.Sri yang sudah cukup senang Dewo langsung pulang ke rumahnya setelah dari bepergian jauh, tak ingin banyak bertanya. Dia hanya ingin Dewo tak merasa terganggu di rumahnya. Makanya dia biarkan saja lelaki itu berbuat semaunya
Sri berbinar saat pagi itu Dewo mengajaknya ke rumah. “Memangnya istrimu tidak ada di rumah?” tanya Sri penasaran di sela-sela perjalanan mereka menuju ke rumah Dewo. “Ada,” sahut Dewo santai, membuat dahi Sri berkerut. “Trus ngapain kamu ajak aku ke sana?” “Ngapain lagi? Aku pengen dia tahu bukan cuma dia saja yang bisa membawa lelaki lain ke rumah.”“Apa?!” Sri tahu betapa dirinya sangat membenci istri Dewo itu. Tapi selama ini dia selalu menganggap wanita itu lebih terhormat dibanding dirinya. Terutama dalam hal berlaku pada laki-laki. Jadi, saat mendengar Dewo mengatakan bahwa istrinya membawa laki-laki lain ke rumah mereka, Sri hampir tak bisa mempercayai pendengarannya. “Kamu jangan bercanda, Wo. Istrimu memasukkan lelaki ke rumah kalian?” Bibir wanita itu hampir tertawa, tapi ditahannya.“Kenapa memangnya? Kamu tidak percaya? Kamu mau menertawakanku? Silahkan saja!” Kalimat Dewo terdengar begitu menyedihkan di telinga Sri, tapi tetap saja, wanita itu belum bisa percaya tanp
“Maaf Mbak Agni, aku telat. Tadi harus nunggu anakku mau ditinggal dulu. Agak rewel tadi di sekolah, Mbak.” Dengan sedikit ngos-ngosan, Mirna langsung memeluk kakak iparnya dengan akrab. Hari itu keduanya memang sepakat bertemu usai mengantar anak-anak mereka ke sekolah.“Nggak apa-apa, Mir. Aqilla tadi juga agak rewel, maunya pulang sekolah dijemput sama ayahnya. Padahal Mas Dewo bilang hari ini ada rapat penting di kantornya,” jelas Agnia.“Beneran rapat itu, Mbak? Jangan-jangan cuma mau ke tempatnya Sri aja?” Mirna terlihat tak percaya.“Entahlah, Mir. Aku udah nggak mau capek mikirin itu lagi,” jawab Agnia usai menghela nafas panjang. “Jadi beneran mas-ku selingkuh, Mbak?”“Kemarin dia malah mengajak wanita itu ke rumah, pas anak-anak masih di sekolah. Sehabis aku telpon kamu itu, Mir,” jelas Agnia akhirnya. Sebenarnya selama ini dia bukan tipe orang yang gampang menceritakan masalah pribadinya pada orang lain. Tapi kali ini dia tak ingin sendirian melawan Dewo. Dia tahu betapa
“Apa?! Bercerai, Ni?” Bu Wira terperangah mendengar penuturan anak perempuannya. Tak beda jauh dengan Pak Wira yang lebih memilih menyalakan sebatang rokok untuk meredam ketegangannya. “Apa semua ini gara-gara laki-laki yang waktu itu ke sini? Yang membuat suamimu marah padamu waktu itu?”Bu Wira menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Perceraian adalah sesuatu yang paling dihindari dalam hidupnya. Bukan saja dalam perkawinannya saja, wanita itu bahkan selalu menanamkan pada tiga anak perempuannya betapa tabunya bercerai setelah mereka menikah dan punya anak. “Agni tahu ini berat, Bu. Tapi ini semua tidak ada hubungannya dengan orang yang ibu sebutkan tadi. Mungkin Agni pernah melakukan kesalahan fatal, tapi Mas Dewo pun telah melakukan hal yang demikian kejam padaku, Bu.”“Maksud kamu apa, Ni? Coba kamu jelaskan yang benar. Bapak tidak bisa paham dengan kata-katamu.” Pak Wira yang nampak sudah bisa mengendalikan diri, mulai bicara.“Selama ini Mas Dewo sering melakukan kekerasa
“Narendra! Dimana Narendra?!”Seisi rumah megah itu mendadak panik usai sebuah mobil mewah yang menjemput Celine dari bandara terparkir. Lalu terlihat wanita itu berjalan tergesa ke dalam rumah sambil berteriak memanggil-manggil nama suaminya. Dua orang pelayan tergopoh-gopoh menghampirinya. Salah satu diantaranya segera mengambil koper besar yang baru saja diseret dan dibanting Celine di lantai ruang tamu. Sementara salah seorang lagi segera menghampiri sang majikan untuk bertanya. “Nyonya sudah pulang?” Wajahnya pucat melihat raut kemarahan di wajah sang majikan.“Dimana Narendra?!” Sekali lagi wanita lima puluh tahun dengan penampilan berkelas itu bertanya. Dengan takut-takut pelayan muda itu pun menjawab, “Bapak … belum pulang, Nyonya.”Tak menunggu kalimat selanjutnya, Celine pun segera berlari ke lantai atas menuju ke kamarnya setelah sebelumnya memerintahkan pelayan tadi mengikutinya.“Ambil koper! Masukkan baju-bajunya dan taruh di teras!” perintahnya lagi saat keduanya samp
Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng
Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita
Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam
Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi