“Apa?! Bercerai, Ni?” Bu Wira terperangah mendengar penuturan anak perempuannya. Tak beda jauh dengan Pak Wira yang lebih memilih menyalakan sebatang rokok untuk meredam ketegangannya. “Apa semua ini gara-gara laki-laki yang waktu itu ke sini? Yang membuat suamimu marah padamu waktu itu?”Bu Wira menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Perceraian adalah sesuatu yang paling dihindari dalam hidupnya. Bukan saja dalam perkawinannya saja, wanita itu bahkan selalu menanamkan pada tiga anak perempuannya betapa tabunya bercerai setelah mereka menikah dan punya anak. “Agni tahu ini berat, Bu. Tapi ini semua tidak ada hubungannya dengan orang yang ibu sebutkan tadi. Mungkin Agni pernah melakukan kesalahan fatal, tapi Mas Dewo pun telah melakukan hal yang demikian kejam padaku, Bu.”“Maksud kamu apa, Ni? Coba kamu jelaskan yang benar. Bapak tidak bisa paham dengan kata-katamu.” Pak Wira yang nampak sudah bisa mengendalikan diri, mulai bicara.“Selama ini Mas Dewo sering melakukan kekerasa
“Narendra! Dimana Narendra?!”Seisi rumah megah itu mendadak panik usai sebuah mobil mewah yang menjemput Celine dari bandara terparkir. Lalu terlihat wanita itu berjalan tergesa ke dalam rumah sambil berteriak memanggil-manggil nama suaminya. Dua orang pelayan tergopoh-gopoh menghampirinya. Salah satu diantaranya segera mengambil koper besar yang baru saja diseret dan dibanting Celine di lantai ruang tamu. Sementara salah seorang lagi segera menghampiri sang majikan untuk bertanya. “Nyonya sudah pulang?” Wajahnya pucat melihat raut kemarahan di wajah sang majikan.“Dimana Narendra?!” Sekali lagi wanita lima puluh tahun dengan penampilan berkelas itu bertanya. Dengan takut-takut pelayan muda itu pun menjawab, “Bapak … belum pulang, Nyonya.”Tak menunggu kalimat selanjutnya, Celine pun segera berlari ke lantai atas menuju ke kamarnya setelah sebelumnya memerintahkan pelayan tadi mengikutinya.“Ambil koper! Masukkan baju-bajunya dan taruh di teras!” perintahnya lagi saat keduanya samp
“Mau saya siapkan sesuatu untuk makan malam, Nyonya?” Seorang pelayan masuk ke kamar Celine usai mengetuk pintu yang memang dalam kondisi terbuka itu tiga kali. “Aku belum lapar,” ujar Celine yang sedang duduk dengan tatapan kosong tanpa sedikit pun menatap pada sang pelayan. “Nyonya harus makan. Nanti Nyonya bisa sakit,” ujar pelayan itu. Celine tetap tak bereaksi, pun tak juga menunjukkan rasa kesalnya. Wanita yang mengajaknya bicara itu adalah kepala pelayan yang memang sudah cukup dekat dengan keluarga Celine selama ini. Dia sudah dianggap seperti keluarga sendiri dan selayaknya bibi bagi anak-anak Celine. Namanya Irma.Melihat majikannya tak bergeming, Irma pun mulai mendudukkan diri di tepi ranjang. Tangannya mulai memijit-mijit bahu Celine yang duduk bersandar pada headboard tempat tidurnya. “Jangan pernah merasa bersalah, Nyonya. Nyonya sudah terlalu baik pada Pak Narendra selama ini. Seharusnya dia lebih bisa bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang, bukan malah mempe
“Apa benar apa yang dikatakan oleh adikmu bahwa kamu sudah nyeleweng dengan wanita lain?” Pak Sapto menatap tajam anak sulungnya. Hari itu, ibunya menelpon dan memberitahukan bahwa bapaknya ingin bicara. Dewo sudah merasa tak enak hati mendengar itu. Tapi dia tak menyangka bahwa yang menyampaikan masalah rumah tangganya pada bapak ibunya justru adiknya, bukan istrinya.“Memangnya Rida cerita apa sama Bapak?” Dewo langsung menebak bahwa pengadunya adalah adik bungsunya, karena selama ini dia memang yang terlihat banyak bicara.“Bukan Rida, tapi Mirna,” sahut bapaknya. “Ooh … Memangnya dia cerita apa sama Bapak?”“Bapak ini lagi nanya sama kamu. Kamu malah balik nanya sama bapak. Jawab dulu pertanyaan bapak, benar tidak kamu nyeleweng?” Pak Sapto terlihat mulai murka. Bu Sapto pun terlihat sedikit tegang di tempat duduknya. Dia bahkan sudah bersiap jika akhirnya akan terjadi pertengkaran antara suami dan anak lelakinya itu. Semua kekhawatirannya itu bukan tanpa alasan. Sudah sekian l
“Mbak, Mbak Agni dimana?” Agnia, yang sedang berada di dalam taksi online menuju ke rumah mertuanya kaget saat Mirna menelpon dengan nada cemas.“Ada apa, Mir? Aku lagi di jalan mau ke rumah bapak,” ucapnya sedikit ragu. “Jangan, Mbak! Lebih baik jangan ke rumah bapak dulu.” Ucapan adik iparnya seketika membuat hatinya gelisah. “Ada apa memangnya, Mir?” tanyanya penasaran.“Gawat, Mbak. Aku barusan dari sana. Sepertinya tadi Mas Dewo dan bapak ibu sudah bicara. Aku nggak tahu apa sebenarnya yang terjadi, tapi ibu pun sepertinya sedang sangat marah dengan Mbak Agni. Mereka belum cerita apapun ke aku, karena sepertinya bapak juga kecewa sama aku. Bapak bilang ceritaku soal Mas Dewo nyeleweng dengan Sri itu bohong belaka. Mereka malah menjelek-jelekkan Mbak Agni. Kata mereka justru Mbak Agni lah yang selingkuh dari Mas Dewo katanya.”Agnia tercengang. Tidak salah lagi, suaminya pasti telah mengadukan perkara rumah tangga mereka pada orangtuanya. Walau sebenarnya Agnia belum begitu yaki
Tak terima dengan keputusan sepihak suaminya, tanpa pikir panjang Agnia pun segera kembali meninggalkan rumah. Satu tempat yang ingin ditujunya saat ini, yaitu rumah mertuanya. Dia yakin semua hal ini ada kaitannya dengan Mirna yang menghubunginya beberapa saat yang lalu. Agnia bahkan tak peduli lagi dengan peringatan Mirna yang melarangnya untuk datang ke rumah kedua orangtua Dewo. Demi mengetahui kondisi anak-anaknya, Agnia tak peduli dengan apapun lagi. Sayangnya, apa yang dikatakan oleh Mirna benar adanya. Sesampainya di sana, bukan anak-anaknya yang ditemui Agnia, melainkan justru kemarahan kedua mertuanya. Dia bahkan sedikit kaget karena ibu mertuanya yang selama ini selalu mendukung dan menyayanginya, justru berbalik menyerangnya habis-habisan. Entah apa yang telah diceritakan Dewo padanya hingga wanita lemah lembut dan biasanya penuh kasih padanya itu mendadak berubah sangat membencinya. “Orang tua seperti kamu sudah tidak pantas lagi mengasuh anak-anak baik seperti mereka,
“Bapak jangan khawatir. Kami akan mengurus semuanya dengan baik. Bapak tinggal fokus saja dengan pekerjaan Bapak. Kami pastikan persidangan akan berakhir kemenangan. Dan kami juga pastikan semua aset yang saat ini sudah di tangan Anda, tidak akan kena status sengketa. Bukti-bukti sudah sangat kuat atas kepemilikan Anda, Pak.”Dua lelaki dengan setelan jas hitam itu berceloteh panjang lebar dengan percaya diri. Narendra yang duduk bertumpu kaki di depan mereka dan tangan memegang segelas wine tampak begitu puas.“Bagus! Memang itu tujuanku membayar tim kalian mahal. Aku nggak mau sedikit pun repot dengan urusan perceraianku dengan istriku. Jadi tolong selesaikan secepatnya. Oke?”“Baik, Pak. Kami akan kabari anda perkembangannya secepatnya. Kalau begitu, kami permisi. Setelah ini segera kami koordinasikan dengan tim.”“Silahkan.” Narendra bahkan merasa tak perlu mengantarkan para tamunya itu ke pintu apartemen, karena dia merasa tak terlalu penting menghormati orang yang telah dibayar
Walau tak begitu yakin bahwa Agnia mau menerima kedatangannya, tapi Narendra bertekad akan mencari jawaban atas rasa penasarannya sendiri akan wanita itu. Usai menyelesaikan beberapa urusannya, malam itu dia pun nekat pergi ke kediaman orang tua Agnia untuk memastikan kebenaran informasi yang diceritakan oleh Rani padanya. Agnia sendiri sedang sibuk memberi pengertian pada kedua orangtuanya tentang keputusannya berpisah dari Dewo. “Bapak dan Ibu tolong ngertiin perasaanku. Mereka sudah memisahkanku dari anak-anak. Ibunya Mas Dewo pun sekarang ikut-ikutan membenci Agni, Bu.”“Kalau menurut ibu, ibu mertuamu itu nggak mungkin berbuat begitu tanpa alasan, Ni. Pasti ada hal yang melatarbelakangi dia jadi membencimu.” Bu Wira bersikukuh dengan keyakinannya. “Ya itu tadi, Bu. Mas Dewo memfitnahku.” Walau sepertinya sulit, Agnia tetap berusaha membela diri. “Bapak kok nggak yakin mereka bisa percaya begitu saja tanpa melihat bukti, Ni. Bapak itu takutnya, kamu yang sebenarnya bersalah da