Walau tak begitu yakin bahwa Agnia mau menerima kedatangannya, tapi Narendra bertekad akan mencari jawaban atas rasa penasarannya sendiri akan wanita itu. Usai menyelesaikan beberapa urusannya, malam itu dia pun nekat pergi ke kediaman orang tua Agnia untuk memastikan kebenaran informasi yang diceritakan oleh Rani padanya. Agnia sendiri sedang sibuk memberi pengertian pada kedua orangtuanya tentang keputusannya berpisah dari Dewo. “Bapak dan Ibu tolong ngertiin perasaanku. Mereka sudah memisahkanku dari anak-anak. Ibunya Mas Dewo pun sekarang ikut-ikutan membenci Agni, Bu.”“Kalau menurut ibu, ibu mertuamu itu nggak mungkin berbuat begitu tanpa alasan, Ni. Pasti ada hal yang melatarbelakangi dia jadi membencimu.” Bu Wira bersikukuh dengan keyakinannya. “Ya itu tadi, Bu. Mas Dewo memfitnahku.” Walau sepertinya sulit, Agnia tetap berusaha membela diri. “Bapak kok nggak yakin mereka bisa percaya begitu saja tanpa melihat bukti, Ni. Bapak itu takutnya, kamu yang sebenarnya bersalah da
“Kamu bisa ke rumahku sekarang?” Sri menelpon sahabatnya siang itu, usai mendapat cerita dari Dewo tentang bagaimana nekatnya Agnia memutuskan untuk meminta cerai darinya. Sri kemudian begitu yakin bahwa apa yang terjadi dalam rumah tangga Dewo saat ini adalah akibat keberhasilan sang dukun yang ditemuinya dengan Atun waktu itu. “Ada apa, Sri?” Atun menjawab malas-malasan dari seberang. “Udah, jangan banyak tanya. Ke sini saja. Mau nggak kamu hadiah dari aku?” bujuk Sri. “Hadiah? Apa itu? Ya mau lah aku kalau hadiah. Oke deh kalau gitu, sebentar lagi aku ke situ. Aku urus dulu suamiku,” kata Atun kemudian.Tak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan Sri hari itu mendengar bahwa sebentar lagi Dewo akan berpisah dengan istrinya. Entah sudah berapa tahun lamanya dia bersabar untuk menunggu saat saat dimana lelaki yang sangat dipujanya itu mengingkari sumpahnya sendiri. Sri begitu yakin bahwa tak ada pilihan lain bagi Dewo selain menikahinya setelah nanti berpisah dari istrinya yang se
Pak Wira dan Bu Wira harus kecewa karena hari itu niat mereka untuk berkunjung ke rumah keluarga besan tak berjalan dengan lancar. Sesampainya di sana, rupanya Pak Sapto dan Bu Sapto tidak sedang berada di tempat dan ponsel mereka pun tak bisa dihubungi.Tak ingin pulang dengan tangan hampa, Pak Wira pun berinisiatif menelpon Dewo, yang ternyata juga sama saja. Lelaki itu bahkan tak mau mengangkat telepon dari mertuanya. Dengan kecewa, akhirnya keduanya pun membawa kembali Agnia pulang. Dalam hati, Agnia merasa bersyukur dengan kejadian itu. Dia yang memang tak setuju bapak ibunya merencanakan untuk meminta maaf pada mertuanya untuk hal yang tidak sepatutnya dimintakan maaf, merasa lega karena tak harus bertemu lagi dengan kedua mertuanya yang diyakininya hanya akan berakhir dengan perdebatan seperti sebelumnya. Sesampainya di rumah, Pak Wira tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya, hingga kemudian memutuskan untuk berdiam diri saja di dalam kamarnya. Sementara ibunya, walau sudah be
“Pak, dokumen yang kemarin saya kasih apa sudah dikoreksi? Klien kita mau datang satu jam lagi katanya.” Roni melangkah masuk ke ruangan Alfa usai mengetuk pintu tiga kali dan mendapatkan isyarat untuk membukanya.“Oh iya, sudah. Ini Ron, bawa aja. Nanti pastikan pada mereka bahwa kesepakatan awal tidak berubah ya?” pesannya kemudian. “Baik, Pak.” Lelaki itu bermaksud berpamitan untuk keluar ruangan saat tiba-tiba ada yang menggelitik hatinya. “Anda baik-baik saja kan, Pak?” Dia pun mulai memandangi atasannya dengan khawatir.Alfa tak pernah marah dengan sikap salah satu pegawainya yang terkesan selalu berani itu. Roni memang yang paling dekat dengannya dan bisa dianggap sebagai orang kepercayaannya. “Nggak apa-apa, Ron. Hanya ada satu hal yang mengganggu pikiranku saja,” katanya. “Soal Mbak Agnia?” tebaknya kemudian.“Iya.” Alfa langsung mengangguk, tak bisa bertahan lagi untuk tak mengeluarkan beban pikirannya. Dan jika sudah seperti itu, Roni tahu bahwa itu artinya bosnya sedang
“Ni, kamu bisa ke sini nggak?” Rani tiba-tiba menelpon siang itu. Dia mengabarkan bahwa teman pengacaranya ingin bertemu dengan Agnia terkait dengan rencana gugatan perceraiannya pada sang suami.“Di kafe Reddish ya, Ni. Aku tunggu lho, jangan lama-lama.”Agnia pun segera meluncur ke tempat yang ditunjuk Rani usai merapikan dandanan sekedarnya. Agnia memang tak terlalu suka dengan penampilan mencolok. Biasanya dia hanya berdandan sedikit ribet jika sedang diminta Dewo menemaninya ke kondangan teman atau kerabat mereka. Selain acara-acara itu, biasanya dia hanya akan bermake up tipis saja. Termasuk waktu dia masih berhubungan dengan Narendra saat itu. Entah apakah mungkin karena Narendra sudah terlalu terbiasa dengan para wanita dengan gaya dandanan yang berlebihan, bahkan istrinya pun tak pernah lepas dari perhiasan dan barang-barang mahalnya kemanapun dia pergi, kesederhanaan Agnia justru terlihat begitu menggoda untuknya. Tapi sebenarnya hal itu juga dikarenakan kecantikan alami wa
Satu jam berikutnya ternyata berjalan begitu cepat dirasakan oleh Agnia. Dia yang awalnya begitu cemas dengan kehadiran Narendra di tempat itu, mendadak bisa kembali merasa nyaman mengobrol dengan lelaki itu. Bahkan setengah jam kemudian saat Rani menelpon Narendra dan terdengar oleh Agnia bahwa lelaki itu bilang sudah menyelesaikan obrolan dengannya, rasanya Agnia justru masih ingin terus berlama-lama berada di tempat itu. Narendra terlihat begitu lain hari ini. Selain tidak menampilkan sikap memaksanya, dia juga lebih banyak bercerita. Bahkan sempat juga menceritakan kisah hidupnya pada Agnia mulai dari awal pertemuannya dengan Celine, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Tak hanya itu, dia bahkan meminta maaf karena selama ini telah tak jujur pada Agnia tentang statusnya. Dia berdalih tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa dekat dengan Agnia jika dia mengatakan yang sesungguhnya tentang statusnya yang telah beristri. “Kayaknya masih asik deh kalian, aku lihat dari atas
“Gimana” Apa dia sudah mati?” Terdengar suara Celine berbicara dengan seseorang di telepon saat Irma memasuki kamar majikannya itu untuk membawakan segelas jus jeruk pesanannya. Irma sempat melihat wajah gelisah Celine dari beberapa jam yang lalu setelah sebelumnya terdengar beberapa kali melakukan panggilan telepon dengan orang-orang, entah siapa. Irma, seperti biasa, hanya berani menguping dan hanya menebak-nebak saja sambil menghubung-hubungkan kejadian demi kejadian yang terjadi di rumah itu. “Jusnya, Nya.” Tak bermaksud mengganggu, Irma mengucapkan sepatah kata untuk membuat Celine sadar bahwa minuman yang dia pesan sudah siap. Celine hanya menanggapinya dengan lambaian tangan. Mata dan telinganya seolah tak ingin teralihkan dari masalah yang sedang dia hadapi saat ini. “Apa?! gagal? Melenyapkan satu orang saja kalian nggak bisa? Aku udah bayar mahal kalian loh.” Irma ciut nyali begitu mendengar kalimat bernada tinggi majikannya dengan orang yang diajaknya berbicara di tele
Dewo yang keras hati, rupanya tetap kepikiran juga dengan kabar yang menimpa istrinya. Sore itu juga dia langsung membatalkan pertemuannya dengan Sri dan segera meluncur menuju ke rumah orang tuanya setelah berpikir sejenak. Keluarga besarnya rupanya sedang ada di rumah orangtuanya saat Dewo datang. Naya dan Aqilla yang beberapa hari ternyata sedang diungsikan di rumah Rida, rupanya telah dibawa kembali ke rumah Pak Sapto dan Bu Sapto lagi. Kedua anak itu langsung antusias menyambut kedatangan ayah mereka. Dan seperti biasa, langsung merengek menanyakan perihal sang ibu. “Kalian main dulu sama adik-adik ya? Ayah mau ngobrol [penting sama kakek nenek,” ucap Dewo kemudian, usai membersihkan diri sore itu. Dengan raut kecewa, Naya dan Aqilla pun kembali berbaur dengan adik-adik sepupu mereka untuk kembali bermain.“Ada apa, Wo? Ada kejadian penting apa?” Pak Sapto yang memang sebelumnya sudah diberitahu akan diajak bicara oleh anak sulungnya itu pun langsung menanyakan maksud Dewo meng