"Dasar perempuan jalang! Kamu benar-benar memalukan Aghnia Prameswari!" Aku sudah bersiap mendengar kata-kata itu keluar dari mulut mas Dewo. Namun ternyata, yang kulihat hanya kilat dari mata merahnya seperti pedang menghunus sampai ke jantungku. Bibir terkatup rapat seolah membendung sesuatu mengerikan yang akan keluar dari dalam mulutnya. Untuk pertama kali dalam hidup, aku merasakan ketakutan yang luar biasa pada sosok pria di depanku. Pria yang menikahiku sepuluh tahun lalu dan telah menghadiahi dua putri cantik dalam perkawinan kami itu biasanya memang sangat irit bicara. "Ma-afkan aku, Mas," ucapku terbata. Tubuhku limbung ke lantai saat perih tak mampu lagi membendung air mata. Kebahagiaan yang sempat meluap usai perjumpaanku dengan pria idaman lain beberapa jam yang lalu mendadak hilang begitu saja, berganti sebuah penyesalan yang tak pernah terbayang akan bisa kurasakan sebelumnya. Aku bersimpuh, tunduk menatap lantai dingin yang bahkan pagi harinya masih kutapaki dengan
“Hah? Narendra punya istri?” tanyaku lirih pada diri sendiri. Betapa terkejutnya aku mendapat balasan itu. Mata panas sisa tangisan beberapa saat yang lalu saja belum hilang, tetapi air bening kembali deras terjun dari dua mataku. Bukankah selama ini dia bilang bahwa dia telah bercerai dari istrinya? Apa aku telah dibohonginya?"Arghh!" Aku memukul kepalaku yang seketika pening.Lalu, apa artinya hubungan kami beberapa bulan ini untuknya? Apa dia berniat menipuku? Benarkah aku telah begitu bodoh mengkhianati suami dan anak-anakku demi seorang laki-laki hidung belang seperti dia?****Krosak!Aku mendengar bunyi sesuatu mendekati gudang. Saat ini sudah lewat tengah malam, mungkinkah itu Mas Dewo yang berbaik hati akan mengeluarkanku dari tempat ini? Aku rasanya sudah sangat kelaparan. Terakhir aku mengisi perut tengah hari lalu bersama dengan Narendra di apartemennya yang mewah. Dia memesankan banyak sekali makanan dari aplikasi pesan antar dan menemaniku makan sambil ngobrol banyak
"Cepat!"Mendengar teriakannya, aku pun susah payah bangkit dengan berpegangan pada tembok. Rasa sakit di sekujur tubuh tak lebih sakit dari menyadari bahwa nyatanya dia hanya berdiri mematung saja melihat kesusahanku berusaha berdiri. Tak sedikitpun terbersit keinginan di wajahnya untuk membantu. Sepertinya, kehidupan kami memang sudah benar-benar berakhir sekarang. Dengan terseok, kuikuti langkahnya menuju ke kamar. Suasana rumah sudah sangat sepi saat kami melewati dapur dan ruang makan. Tak kutemukan suara anak-anak di mana-mana. Sejenak kusempatkan mata untuk melirik jam dinding di ruang tengah sebelum kami masuk ke kamar. Waktu sudah menunjuk pukul 7:20 pagi. "Jemput anak-anak nanti siang! Aku ada rapat penting hari ini," ujarnya cepat-kembali memerintahku seperti budak. Kali ini, dia bahkan tidak menoleh padaku sama sekali. Tangan Mas Dewo juga segera menyambar tas kerjanya di atas nakas, lalu melangkah cepat meninggalkan kamar.Dari dulu semenjak kami menikah, aku memang ta
"Jadi, aku lagi lihat suamimu, Ni. Dia lagi sama wanita. Sorry ya aku bukannya pengen fitnah, tapi …." Dia menghentikan kalimatnya. Aku yakin saat ini pun dia pasti sama bingungnya dengan aku. "Aku kirim videonya ke kamu aja ya? Coba kamu lihat sendiri. Aku takut kamu nyangka aku macem-macem," lanjutnya. Rani kemudian mengirimiku sebuah video usai memutuskan sambungan telepon kami. Awalnya, aku sama sekali tak punya bayangan video apa yang dikirimkannya itu. Tapi, saat aku melihatnya dengan seksama, rasanya aku tak percaya bahwa yang sedang ada di dalamnya adalah Mas Dewo dengan seorang wanita. Mereka terlihat mesra, bahkan perempuan itu sempat terlihat mencium pipi Mas Dewo."Hah? Dia siapa?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. "Aku juga nggak tau, Ni. Tapi sepertinya dia pemilik warung makan yang aku datangi sekarang," ucapnya masih dengan berbisik. Tak lama , Rani pun mengirimiku sebuah foto nomor meja bertuliskan "Rumah Makan Mbak Sri". "Terima kasih, Ran. Nanti
"Ayah sering ajak kami makan di sini," jawab Naya.Aku terkejut mendengar pernyataan itu. Belum sempat aku mengendalikan ekspresi, seorang wanita berjalan pelan menghampiri kami. Langkahnya tegap, sangat sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi dengan tubuh padat berisi. Aku menduga tingginya tak terpaut jauh dengan Mas Dewo. Gaunnya yang melekat pas di badan itu makin menegaskan lekuk-lekuk tubuhnya yang bisa dibilang subur. Dibanding aku yang bertubuh kurus dan sedikit lebih pendek darinya, sepertinya wanita ini lebih cocok jika disandingkan dengan Mas Dewo. Tinggi mereka hampir sama, besar badannya juga tak jauh beda, dan menurutku usia mereka pun sepertinya sepantaran."Halo Naya dan Aqilla kesayangan tante. Apa kabar kalian? Kok, udah lama nggak ke sini?" Wanita itu langsung berjongkok saat berhasil mencapai tempat kami berdiri. Aqilla yang pertama menerima kecupan di pipi, baru kemudian Naya.Apa-apaan ini? Apakah selalu seperti itu cara wanita ini menyapa anak-anak dari para
Tiga jam setelah pulang dari rumah makan Sri, aku sudah ada di depan laptop. Rumah sudah dalam keadaan rapi seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Mas Dewo. Naya dan Aqilla pun sudah selesai mandi dan kini sedang bersantai di ruang tengah. Hanya beberapa menit setelah aku online, sebuah pesan messenger masuk ke akun media sosial favoritku. [Sore, Agni. Apa kabarmu?] tulis sebuah akun dengan nama 'Alfa' di akun messengernya. Aku meliriknya sekilas. Saat ini, aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku dan memeriksa email-email yang masuk. Setelah selesai, barulah aku menanggapi pesan itu. Alfa Wiradharma adalah seorang pria yang kukenal dari sebuah grup f******k beberapa tahun yang lalu. Dia adalah salah satu admin di grup yang membahas tentang parenting. Dia juga yang pertama kali menawariku untuk menjadi salah satu kontributor tetap di salah satu website miliknya. [Aku baik, Al. Kamu gimana?] balasku. [Beneran baik atau pura-pura baik saja? Semalam aku
"Lepasin, Mas!" Refleks, aku berteriak. Walau suaraku sedikit tertahan karena leher yang tengah ditarik ke atas, tapi aku berharap entah Naya atau Aqilla akan mendengarnya. "Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu. Jadi, jangan harap kamu bisa bebas dari aku. Ngerti kamu?!" Tangannya makin erat mencengkeram daguku. "Ayah …." Kami beruda kaget mendengar suara tiba-tiba itu. Tanpa dikomando, kami pun serempak menoleh ke arah pintu. Aqilla sedang berdiri di sana dan menatap kami dengan pandangan takut takut. Tubuhnya yang mungil terlihat merapat ke daun pintu yang terbuka.Berbeda denganku yang merasa terselamatkan, wajah Mas Dewo justru merah padam. Setelah mendengar helaan nafas panjangnya, kulihat dia berjalan pelan mendekati Aqilla. "Sayang, ngapain di sini?" tanyanya.Pria itu berjongkok saat di depan anak bungsu kami. Mungkin, Aqilla takut akibat perlakuannya padaku barusan, karena kemudian kulihat anak itu makin merapat ke tembok. "Jangan kurung ibu lagi, Yah," ucapnya l
Aku baru akan menjawab pertanyaan ibu saat Mas Dewo tiba-tiba menggamit lenganku untuk diajaknya ke dalam. Ibu mertuaku pun sepertinya tak menaruh curiga karena putra sulungnya itu melakukannya dengan begitu sempurna. Siapa yang menyangka bahwa dekapannya di bahuku bukan karena kasih sayangnya pada sang istri, tapi karena dia hanya ingin kami terlihat baik-baik saja. Kami segera berbaur dengan keluarga adik-adiknya setibanya di ruang tengah, ibu membawakan makanan. Seperti biasa jika melihatnya kerepotan, aku selalu sigap untuk bangkit dan membantunya. "Sudah, kamu duduk saja," sergah wanita itu. Ibu mertuaku memang selalu begitu memperlakukan para menantunya. Sangat lembut dan perhatian, apalagi pada cucu-cucunya. Sayang, sifat itu berbanding terbalik dengan suamiku."Nggak apa-apa Bu, biar Agni saja. Ibu di depan saja nemenin bapak," ujarku."Sudahlah, Bu. Ibu duduk saja. Sudah ada pegawai katering juga kan?" celetuk adik ipar bungsuku, Rida. "Nggak apa-apa. Kalian kan jarang kum