"Ayah sering ajak kami makan di sini," jawab Naya.
Aku terkejut mendengar pernyataan itu. Belum sempat aku mengendalikan ekspresi, seorang wanita berjalan pelan menghampiri kami. Langkahnya tegap, sangat sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi dengan tubuh padat berisi. Aku menduga tingginya tak terpaut jauh dengan Mas Dewo.
Gaunnya yang melekat pas di badan itu makin menegaskan lekuk-lekuk tubuhnya yang bisa dibilang subur. Dibanding aku yang bertubuh kurus dan sedikit lebih pendek darinya, sepertinya wanita ini lebih cocok jika disandingkan dengan Mas Dewo. Tinggi mereka hampir sama, besar badannya juga tak jauh beda, dan menurutku usia mereka pun sepertinya sepantaran.
"Halo Naya dan Aqilla kesayangan tante. Apa kabar kalian? Kok, udah lama nggak ke sini?" Wanita itu langsung berjongkok saat berhasil mencapai tempat kami berdiri. Aqilla yang pertama menerima kecupan di pipi, baru kemudian Naya.Apa-apaan ini? Apakah selalu seperti itu cara wanita ini menyapa anak-anak dari para pelanggan rumah makannya? Atau, cuma anakku?Tak berapa lama kemudian dia bangkit, lalu menatap ke arahku. Jujur saja aku gelagapan ditatap seperti itu. Sepertinya bukan seperti ini kejadian yang kubayangkan tadi sebelum sampai di tempat ini.Tadinya, kupikir aku akan berpura-pura makan siang bersama anak-anakku, lalu diam-diam mengorek informasi dari salah seorang pelayan mengenai sang pemilik rumah makan. Jika ternyata kejadiannya justru seperti ini, tentu saja di luar perkiraanku.
Aku bingung saat dia mulai melebarkan senyum untukku. Pasti, saat ini aku terlihat sangat kaku di matanya."Istrinya Dewo, ya? Apa kabar? Dia banyak cerita lho soal Kamu. Kenalkan, aku Andari."Cukup lama, aku hanya memperhatikan tangan yang terulur itu. Sebenarnya, aku sangat tak ingin membalas basa-basi dari wanita di depanku. Untuk apa dia berkata seperti itu padaku? Mas Dewo sering bercerita tentang aku padanya? Bukankah kalimat itu terdengar sangat menyebalkan untuk seorang istri? Tapi, aku tak ingin membuat anak-anakku bingung dengan tingkahku.Jadi, akhirnya aku menyambut juga perkenalannya itu. "Agni," ucapku dengan suara sedikit bergetar.
Entah kenapa, kali ini, aku seperti melihat seorang wanita pemberani di depanku. Atau mungkin aku yang salah menilai? Mungkinkah dia sebenarnya tak ada hubungan apapun dengan Mas Dewo? Jika dia memang wanita simpanan suamiku, bukankah seharusnya dia takut bertemu denganku yang adalah istri sahnya?
"Ayo duduk dulu. Naya sama Qilla udah lama kan nggak makan di sini? Lagi sibuk ya sekolahnya?" Wanita itu mulai berbasa basi lagi. Entah kenapa aku mulai muak dengan sikapnya."Iya, Tante. Ayah sih nggak pernah ngajak ke sini lagi." Naya menanggapinya dan langsung mengikuti wanita itu menuju meja di sudut ruangan."Duduk di sini aja, ya? Kalian suka duduk di sini kan kalau lagi sama ayah kalian?" Mendengar kalimat itu, rasanya aku makin meradang. Bisa-bisanya dia mengucapkan kalimatitu di depanku? Namun, aku berusaha mengendalikan diri. Belum ada bukti apapun yang memberiku alasan untuk mengamuk pada wanita di depanku ini.Kulihat Sri memundurkan dua kursi untuk dipakai Naya dan Aqilla duduk. Kedua anak itu langsung menurut saat dia menyuruhnya menempati kursi masing-masing. Keherananku sedari tadi belum hilang. Anak-anak yang kutahu selama ini hanya dekat denganku, ternyata begitu nurut dengan wanita ini. Hatiku jengkel dibuatnya."Silakan duduk, Agni." Kemudian kudengar dia menyuruhku untuk duduk. Bibirnya tersenyum menatapku, walaupun jujur bagiku itu seperti hanya dibuat-buat saja. Lama-lama aku justru merasa kalau saat ini dia seperti sedang menantangku.Sebenarnya, aku jadi malas berlama-lama berada di tempat ini. Tapi demi melihat dua anakku yang sepertinya senang, aku pun pasrah. Kutunggui mereka sampai menghabiskan makanan, baru kemudian pergi meninggalkan tempat itu.Sepanjang Naya dan Aqilla makan, berulang kali kulihat wanita bernama Andari itu memperhatikan kami dari meja kasir. Sesekali dia tampak mengatakan sesuatu pada salah seorang pegawainya. Lalu sedetik kemudian melirik lagi ke arah kami. Entah apa yang dia lakukan itu, tapi perasaanku mengatakan bahwa dia sedang membicarakan kami.Sebenarnya ingin sekali aku langsung menanyakan saja padanya soal hubungannya dengan Mas Dewo. Tapi untuk apa? Apa itu bukan malah hanya akan merendahkan harga diriku saja? Lagipula bagaimana kalau nanti Mas Dewo tahu aku melakukan hal itu? Dia justru makin bisa mencabik-cabikku lagi dengan mengungkit hubunganku dengan Narendra.Setengah jam menunggu mereka selesai makan rasanya begitu lama. Maka, saat kulihat Aqilla memasukkan sendok terakhir makanannya ke dalam mulut, aku langsung mengajak mereka pulang. Tentu saja usai membayar makanan kami.Awalnya wanita bernama Andari itu menawarkan untuk menggratiskan makan siang kami, tapi aku langsung menolaknya. Tentu saja aku tidak sudi. Sebagai istri, tentu hatiku tak bisa dibohongi kalau wanita itu memang benar ada hubungan gelap dengan suamiku. Maka aku pun tidak ingin berhutang apapun padanya.Tapi sepertinya wanita itu tak gampang menyerah. Bahkan saat kami sudah sampai di parkiran, dia meminta seorang pegawainya untuk menyusul kami dan memberikan sebuah bungkusan untuk dibawa pulang. Dengan segenap kesadaranku, aku pun langsung menolak pemberian itu."Sudah dibawa aja, Agnia. Tidak apa-apa." Saking inginnya terlihat baik, dia sampai menyusul pegawainya itu ke parkiran."Maaf, aku ke sini untuk beli, bukan untuk mengemis." Entah kenapa ucapanku mendadak jadi seketus ini. Mungkin aku sudah mulai merasa terhina dengan sikapnya. Dan kurasa Sri pun menyadari perubahan sikapku."Ya sudah kalau gitu. Hati-hati di jalan ya? Lain kali, ajak ayah kalian ke sini juga untuk makan bareng." Kalimatnya meluncur tanpa dosa saat mengatakan itu. Aku yang sedang memakaikan jaket ke tubuh Aqilla langsung terhenti."Bukannya Mas Dewo tadi habis dari sini, ya?" ketusku lagi.Lagi-lagi, aku tak menyangka bisa bicara seperti itu pada orang yang baru saja kutemui. Naya dan Aqilla sampai tercengang menatap ke arahku.Sri juga langsung diam kali ini. Hanya kulihat matanya yang mendadak berubah sinis menatapku. Senyum ramah yang sedari tadi dipamerkannya di depanku dan anak-anak mendadak hilang entah ke mana.Di tengah sesalku telah mengkhianati suami, sepertinya aku justru menemukan hal yang tak terduga. Sesuatu yang membuatku yakin bahwa sebenarnya Mas Dewo pun selama ini telah berkhianat padaku.Dalam perjalanan membawa anak-anak pulang, terbersit tekad dalam hati untuk membongkar semua kebusukan yang telah dia tutupi itu dariku. "Aku bukan wanita yang tak ikhlas menerima hukuman atas kesalahan yang telah kulakukan, tapi aku tidak mau jadi yang paling bersalah sementara ada seseorang lain yang bahkan jauh lebih dulu melakukan kesalahan daripada aku!" tekadku.Tiga jam setelah pulang dari rumah makan Sri, aku sudah ada di depan laptop. Rumah sudah dalam keadaan rapi seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa antara aku dan Mas Dewo. Naya dan Aqilla pun sudah selesai mandi dan kini sedang bersantai di ruang tengah. Hanya beberapa menit setelah aku online, sebuah pesan messenger masuk ke akun media sosial favoritku. [Sore, Agni. Apa kabarmu?] tulis sebuah akun dengan nama 'Alfa' di akun messengernya. Aku meliriknya sekilas. Saat ini, aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku dan memeriksa email-email yang masuk. Setelah selesai, barulah aku menanggapi pesan itu. Alfa Wiradharma adalah seorang pria yang kukenal dari sebuah grup f******k beberapa tahun yang lalu. Dia adalah salah satu admin di grup yang membahas tentang parenting. Dia juga yang pertama kali menawariku untuk menjadi salah satu kontributor tetap di salah satu website miliknya. [Aku baik, Al. Kamu gimana?] balasku. [Beneran baik atau pura-pura baik saja? Semalam aku
"Lepasin, Mas!" Refleks, aku berteriak. Walau suaraku sedikit tertahan karena leher yang tengah ditarik ke atas, tapi aku berharap entah Naya atau Aqilla akan mendengarnya. "Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu. Jadi, jangan harap kamu bisa bebas dari aku. Ngerti kamu?!" Tangannya makin erat mencengkeram daguku. "Ayah …." Kami beruda kaget mendengar suara tiba-tiba itu. Tanpa dikomando, kami pun serempak menoleh ke arah pintu. Aqilla sedang berdiri di sana dan menatap kami dengan pandangan takut takut. Tubuhnya yang mungil terlihat merapat ke daun pintu yang terbuka.Berbeda denganku yang merasa terselamatkan, wajah Mas Dewo justru merah padam. Setelah mendengar helaan nafas panjangnya, kulihat dia berjalan pelan mendekati Aqilla. "Sayang, ngapain di sini?" tanyanya.Pria itu berjongkok saat di depan anak bungsu kami. Mungkin, Aqilla takut akibat perlakuannya padaku barusan, karena kemudian kulihat anak itu makin merapat ke tembok. "Jangan kurung ibu lagi, Yah," ucapnya l
Aku baru akan menjawab pertanyaan ibu saat Mas Dewo tiba-tiba menggamit lenganku untuk diajaknya ke dalam. Ibu mertuaku pun sepertinya tak menaruh curiga karena putra sulungnya itu melakukannya dengan begitu sempurna. Siapa yang menyangka bahwa dekapannya di bahuku bukan karena kasih sayangnya pada sang istri, tapi karena dia hanya ingin kami terlihat baik-baik saja. Kami segera berbaur dengan keluarga adik-adiknya setibanya di ruang tengah, ibu membawakan makanan. Seperti biasa jika melihatnya kerepotan, aku selalu sigap untuk bangkit dan membantunya. "Sudah, kamu duduk saja," sergah wanita itu. Ibu mertuaku memang selalu begitu memperlakukan para menantunya. Sangat lembut dan perhatian, apalagi pada cucu-cucunya. Sayang, sifat itu berbanding terbalik dengan suamiku."Nggak apa-apa Bu, biar Agni saja. Ibu di depan saja nemenin bapak," ujarku."Sudahlah, Bu. Ibu duduk saja. Sudah ada pegawai katering juga kan?" celetuk adik ipar bungsuku, Rida. "Nggak apa-apa. Kalian kan jarang kum
Aku masih terpikir dengan ucapan Mirna dan Rida, bahkan saat kami telah sampai kembali di rumah. Jadi ternyata Mas Dewo dan Sri itu teman lama. Dan Sri, rupanya telah menyukai suamiku itu sejak dulu. Mas Dewo kulihat langsung mengganti pakaian dengan kaos ketat dan celana cargo pendeknya, sementara aku sibuk di meja makan menata makanan yang tadi sempat disiapkan ibu untuk kami bawa pulang. "Bu, Ayah mau ajak ke taman bermain alun-alun." Aqilla muncul untuk memberitaku bahwa mereka betiga akan pergi. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Lalu terlihat anak itu kembali berlari riang meninggalkanku. Baiklah, jadi dia sudah mulai tak betah lagi di rumah, sampai sampai baru datang langsung ingin pergi.Usai menata makanan yang banyak itu di meja, aku bermaksud beristirahat sebentar di kamar saat tiba-tiba Rani menelpon. "Agni, gimana? Kok nggak cerita-cerita sih? Suamimu lagi di rumah nggak?" Dia langsung menodongku dengan banyak pertanyaan saat panggilannya kuangkat. Wajar saja, sejak d
Aku begitu terkejut mendengar Rani menyebutkan nama Narendra. Pria itu datang ke rumah Rani? Ada apa?Walau sudah tak ingin peduli lagi dengan segala hal tentangnya, tapi rasa penasaranku menggelitik untuk kemudian menajamkan pendengaran. Sayangnya, beberapa saat kemudiam aku sudah tak mendengar apapun lagi. Sunyi. [Sebentar ya, Ni. Narendra datang ke sini. Nanti aku kabari lagi.] Menyusul sebuah pesan yang masuk ke ponselku. Rupanya Rani tak ingin aku mendengarkan pembicaraan mereka.Kembali ke kamar, aku jadi teringat ponsel yang kusembunyikan di bagian paling bawah lemari baju. Memang di sana lah tempat persembunyian benda pipih itu beberapa bulan ini setelah menjadi milikku. Sejak Narendra memberikannya padaku, aku tak pernah berani menampakkannya saat sedang berada di rumah, kecuali jika Mas Dewo dan anak-anakku sedang ada di luar. Memang jadi sejahat dan sepengecut itulah aku saking tergila-gilanya pada pria itu.Terkadang rasa bersalah juga sering membuatku sulit memejamkan m
Malam itu saat Agnia Prameswari dikurung di gudang rumahnya yang kotor, seorang pria tampan dengan balutan handuk putih di pinggang keluar dari kamar mandi privat di rumahnya yang mewah."Sayang, kamu kapan datang?" Dia begitu kaget melihat istrinya telah ada di dalam kamar dan sedang memegang ponsel miliknya. Seingatnya, Celine masih akan pulang beberapa hari lagi dari Bali dalam rangka menengok anak-anak dan cucu-cucunya."Ini apa, Narendra?" Mata wanita berusia 50 tahun itu nyalang menatap suaminya. Celine sebenarnya sudah tak heran dengan kelakuan sang suami. Pria tampan yang saat dinikahinya masih berstatus lajang beberapa tahun lalu itu memang dikenalnya sedikit player. Wanita itu memutuskan untuk menikah dengannya karena rasa nyaman dan kepuasan yang dia dapat dari pria itu. Menjadi janda selama bertahun-tahun setelah suami pengusahanya yang kaya raya meninggal dunia, membuatnya begitu kesepian.Kehadiran Narendra sebagai teman kencan saja ternyata tak bisa membuatnya puas, hi
"Bukannya kemarin kamu bilang mau di Bali seminggu? Kenapa sudah pulang?"Narendra mengelus lengan sang istri usai sesi bercinta mereka yang sangat panas beberapa saat lalu.Celine tampak kelelahan di posisi berbaringnya. "Mereka lagi sibuk persiapan mau liburan ke luar negeri." "Oya? Kenapa kamu nggak ikut sekalian, Sayang?""Liburan sama anak-anak dan suami mereka? Mendingan enggak deh. Aku nggak mau jadi baby sitter buat cucu-cucuku," ujar wanita itu. Narendra pun tertawa. Dia sangat tahu bagaimana tidak tertariknya Celine pada anak-anak. Walau sebagai nenek, dia termasuk orang yang sangat royal pada para cucunya. Celine selalu menjadi orang yang memberi hadiah paling mahal di momen-momen bahagia cucu-cucunya. Tapi untuk mengurus cucu-cucunya seperti nenek-nenek lainnya di muka bumi ini, bukanlah gaya wanita kaya raya itu.Tak ingin membuat istrinya merasa lebih tak nyaman dengan obrolan itu, Narendra pun segera bangkit dari pembaringan. Lalu berjalan ke dapur untuk mengambil d
Sementara itu, di malam yang sama di ruang makan rumah Agnia, Dewo sedang duduk berhadapan dengan dua anak perempuannya. "Kenapa tidak dimakan, Sayang?" Dewo menatap bungsunya yang sedari tadi hanya menunduk sambil memainkan sendok di piringnya. Saat gadis kecil itu kemudian mendongak, tampak bola mata indahnya sedang berkaca-kaca. Dewo tahu Aqilla memang sangat dekat dengan ibunya. Gadis kecil cantik itu pasti sedang memikirkan nasib Agnia yang dikurungnya di dalam gudang. "Ibu belum makan dari tadi siang, Yah," ujarnya dengan suara serak hampir menangis. Dewo menghela nafas berat. Tak mau terpengaruh dengan ucapan anak bungsunya itu, pria itu pun beralih pandang ke Naya. Nasi dan ayam bakar yang dipesannya via aplikasi online beberapa saat yang lalu sudah hampir habis di piring anak sulungnya itu. "Naya mau nambah?" tanya Dewo. Sementara Aqilla yang memperhatikan sikap acuh ayahnya, mulai menunduk lagi, menyembunyikan dua bulir bening yang mulai jatuh menyusuri dua pipi chubby