Aku baru mau membalas pesan itu saat tiba-tiba suara deru mobil berhenti di halaman rumah. Mas Dewo sepertinya sudah kembali.
[Maaf ya, aku off dulu. Mau siapin makan malam untuk anak-anak. Nanti malam, aku submit artikelnya, kok. Don't worry, Al.]Tanpa menunggu jawaban dari Alfa, aku langsung mematikan laptop dan menutupnya.
*** “Sial,” gumamku tanpa sadar saat melihat kehadiran Dewo. Entah mengapa, aku tiba-tiba mual melihat dirinya. Mungkin, ini sedikit-banyak karena aku menemukan sosok Sri dalam kehidupannya. Jika saja aku tidak tahu, mungkin saat ini Mas Dewo sudah kusambut seperti biasa meskipun aku tak yakin dia akan menerimanya karena kemarahannya padaku. Tiba-tiba saja aku merasa dia itu jadi sama hinanya denganku. Dia bahkan terang-terangan mendekatkan "Sri" pada dua anak kami. Dibanding berbasa-basi dengannya, kuputuskan untuk ke dapur dan menyibukkan diri alat-alat masak untuk makan malam. Dari ruang tengah, dapat kudengar dua putriku menyambut kedatangan ayah mereka dengan suka cita. Hatiku tiba-tiba perih. Bagaimana jadinya jika aku dan Mas Dewo sampai bercerai? Apakah kedua putri kami akan baik-baik saja tanpa orangtua yang utuh? Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca. Aku takut keegoisan kami akan menghancurkan anak-anak nantinya. Tapi untuk mempertahankan rumah tangga ini usai carut marut ini, rasanya sangat berat."Tidak usah masak, aku sudah bawakan lauk." Aku tersentak mendengar suara yang tiba-tiba itu. Mas Dewo rupanya telah berada di dapur. Tangannya meletakkan bungkusan plastik di dekat tempatnya berdiri tanpa sedikitpun menatap ke arahku. Ragu, kubuka bungkusan plastik berwarna hitam itu. Dua kardus nampak ditumpuk rapi di dalamnya. Bau ikan bakar segera tercium ke hidungnya. Rupanya, Dewo membelikan lauk makan malam untuk kami. Namun, yang membuatku tercengang bukan itu, melainkan tulisan yang ada di atas kardus. Darahku mendadak mendidih karenanya. "Warung Makan Mbak Sri? Kamu habis dari sana, Mas?" Entah keberanian dari mana yang membuatku tiba-tiba bertanya seperti itu. Mas Dewo yang hendak melangkah keluar dan baru sampai di pintu, langsung membalikkan badan. Kini kami bertukar pandang, tajam.Sejujurnya, aku takut sekali menatap matanya. Masih teringat jelas betapa kasarnya perlakuan Mas Dewo padaku kemarin. Trauma kesakitan itu masih ada. Tapi, aku harus kuat.
Kutarik nafasku dalam. Kuamati wajah suamiku itu dengan seksama. Sepertinya, Mas Dewo juga kaget, tetapi dia mampu dengan cepat menyembunyikannya. Bahkan, pria itu kini terlihat seolah sedang menantangku untuk lanjut bertanya. "Jangan bertindak bodoh, Aghnia! Jangan pancing kemarahanku! Memangnya siapa yang berani melarangku ke sana?" Mas Dewo mulai bicara lantang. "Aku ini nggak bodoh, Mas. Kamu sama saja denganku. Jangan sok suci!" Kali ini, aku sudah tak peduli. Rasanya, sungguh tak adil jika aku sendiri yang harus menanggung hukuman atas perselingkuhan. Bukankah dia juga melakukan hal yang sama dengan wanita bernama Sri itu? "Jangan sembarang bicara Kamu! Sri itu bukan …." Mas Dewo belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena aku buru-buru menyahut, "Dia itu selingkuhanmu, kan? Kamu bahkan sering mengajak anak-anakku ke sana.” Dia diam, tapi matanya langsung berkilat menatapku.“Maksud kamu apa, Mas? Kamu keterlaluan! Kamu tidak mau disalahkan, jadi kamu lebih dulu mencari-cari kesalahanku. Iya, kan? Sekarang juga aku minta cerai!" teriakku pada akhirnya. Mendengar kalimatku, tatapannya semakin tajam. Mungkin, dia sangat terkejut. Memang, selama ini aku belum pernah sekali pun berkata-kata kotor di hadapannya. Namun, hari ini berbeda. Aku muak melihat Mas Dewo yang bertingkah seolah tidak merasa bersalah.Tanpa kusadari, Mas Dewo melangkah maju ke arahku. "Tutup mulutmu! Kamu yang berselingkuh! Jangan menuduhku macam macam! Kamu yang busuk! Dan ingat, jangan pernah bermimpi bahwa aku akan menceraikanmu, Jalang!" Mas Dewo mulai mencekal daguku dengan kasar, lalu mendongakkan kepalaku. Mataku seketika langsung berair karenanya. Masih begitu nyata rasa perih akibat pria itu menarik rambutku di hari sebelumnya. Apakah kali ini Mas Dewo akan melakukan kekerasan lagi padaku? Apakah kali ini aku akan mati di tangannya?"Lepasin, Mas!" Refleks, aku berteriak. Walau suaraku sedikit tertahan karena leher yang tengah ditarik ke atas, tapi aku berharap entah Naya atau Aqilla akan mendengarnya. "Sampai kapanpun, aku tidak akan melepaskanmu. Jadi, jangan harap kamu bisa bebas dari aku. Ngerti kamu?!" Tangannya makin erat mencengkeram daguku. "Ayah …." Kami beruda kaget mendengar suara tiba-tiba itu. Tanpa dikomando, kami pun serempak menoleh ke arah pintu. Aqilla sedang berdiri di sana dan menatap kami dengan pandangan takut takut. Tubuhnya yang mungil terlihat merapat ke daun pintu yang terbuka.Berbeda denganku yang merasa terselamatkan, wajah Mas Dewo justru merah padam. Setelah mendengar helaan nafas panjangnya, kulihat dia berjalan pelan mendekati Aqilla. "Sayang, ngapain di sini?" tanyanya.Pria itu berjongkok saat di depan anak bungsu kami. Mungkin, Aqilla takut akibat perlakuannya padaku barusan, karena kemudian kulihat anak itu makin merapat ke tembok. "Jangan kurung ibu lagi, Yah," ucapnya l
Aku baru akan menjawab pertanyaan ibu saat Mas Dewo tiba-tiba menggamit lenganku untuk diajaknya ke dalam. Ibu mertuaku pun sepertinya tak menaruh curiga karena putra sulungnya itu melakukannya dengan begitu sempurna. Siapa yang menyangka bahwa dekapannya di bahuku bukan karena kasih sayangnya pada sang istri, tapi karena dia hanya ingin kami terlihat baik-baik saja. Kami segera berbaur dengan keluarga adik-adiknya setibanya di ruang tengah, ibu membawakan makanan. Seperti biasa jika melihatnya kerepotan, aku selalu sigap untuk bangkit dan membantunya. "Sudah, kamu duduk saja," sergah wanita itu. Ibu mertuaku memang selalu begitu memperlakukan para menantunya. Sangat lembut dan perhatian, apalagi pada cucu-cucunya. Sayang, sifat itu berbanding terbalik dengan suamiku."Nggak apa-apa Bu, biar Agni saja. Ibu di depan saja nemenin bapak," ujarku."Sudahlah, Bu. Ibu duduk saja. Sudah ada pegawai katering juga kan?" celetuk adik ipar bungsuku, Rida. "Nggak apa-apa. Kalian kan jarang kum
Aku masih terpikir dengan ucapan Mirna dan Rida, bahkan saat kami telah sampai kembali di rumah. Jadi ternyata Mas Dewo dan Sri itu teman lama. Dan Sri, rupanya telah menyukai suamiku itu sejak dulu. Mas Dewo kulihat langsung mengganti pakaian dengan kaos ketat dan celana cargo pendeknya, sementara aku sibuk di meja makan menata makanan yang tadi sempat disiapkan ibu untuk kami bawa pulang. "Bu, Ayah mau ajak ke taman bermain alun-alun." Aqilla muncul untuk memberitaku bahwa mereka betiga akan pergi. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Lalu terlihat anak itu kembali berlari riang meninggalkanku. Baiklah, jadi dia sudah mulai tak betah lagi di rumah, sampai sampai baru datang langsung ingin pergi.Usai menata makanan yang banyak itu di meja, aku bermaksud beristirahat sebentar di kamar saat tiba-tiba Rani menelpon. "Agni, gimana? Kok nggak cerita-cerita sih? Suamimu lagi di rumah nggak?" Dia langsung menodongku dengan banyak pertanyaan saat panggilannya kuangkat. Wajar saja, sejak d
Aku begitu terkejut mendengar Rani menyebutkan nama Narendra. Pria itu datang ke rumah Rani? Ada apa?Walau sudah tak ingin peduli lagi dengan segala hal tentangnya, tapi rasa penasaranku menggelitik untuk kemudian menajamkan pendengaran. Sayangnya, beberapa saat kemudiam aku sudah tak mendengar apapun lagi. Sunyi. [Sebentar ya, Ni. Narendra datang ke sini. Nanti aku kabari lagi.] Menyusul sebuah pesan yang masuk ke ponselku. Rupanya Rani tak ingin aku mendengarkan pembicaraan mereka.Kembali ke kamar, aku jadi teringat ponsel yang kusembunyikan di bagian paling bawah lemari baju. Memang di sana lah tempat persembunyian benda pipih itu beberapa bulan ini setelah menjadi milikku. Sejak Narendra memberikannya padaku, aku tak pernah berani menampakkannya saat sedang berada di rumah, kecuali jika Mas Dewo dan anak-anakku sedang ada di luar. Memang jadi sejahat dan sepengecut itulah aku saking tergila-gilanya pada pria itu.Terkadang rasa bersalah juga sering membuatku sulit memejamkan m
Malam itu saat Agnia Prameswari dikurung di gudang rumahnya yang kotor, seorang pria tampan dengan balutan handuk putih di pinggang keluar dari kamar mandi privat di rumahnya yang mewah."Sayang, kamu kapan datang?" Dia begitu kaget melihat istrinya telah ada di dalam kamar dan sedang memegang ponsel miliknya. Seingatnya, Celine masih akan pulang beberapa hari lagi dari Bali dalam rangka menengok anak-anak dan cucu-cucunya."Ini apa, Narendra?" Mata wanita berusia 50 tahun itu nyalang menatap suaminya. Celine sebenarnya sudah tak heran dengan kelakuan sang suami. Pria tampan yang saat dinikahinya masih berstatus lajang beberapa tahun lalu itu memang dikenalnya sedikit player. Wanita itu memutuskan untuk menikah dengannya karena rasa nyaman dan kepuasan yang dia dapat dari pria itu. Menjadi janda selama bertahun-tahun setelah suami pengusahanya yang kaya raya meninggal dunia, membuatnya begitu kesepian.Kehadiran Narendra sebagai teman kencan saja ternyata tak bisa membuatnya puas, hi
"Bukannya kemarin kamu bilang mau di Bali seminggu? Kenapa sudah pulang?"Narendra mengelus lengan sang istri usai sesi bercinta mereka yang sangat panas beberapa saat lalu.Celine tampak kelelahan di posisi berbaringnya. "Mereka lagi sibuk persiapan mau liburan ke luar negeri." "Oya? Kenapa kamu nggak ikut sekalian, Sayang?""Liburan sama anak-anak dan suami mereka? Mendingan enggak deh. Aku nggak mau jadi baby sitter buat cucu-cucuku," ujar wanita itu. Narendra pun tertawa. Dia sangat tahu bagaimana tidak tertariknya Celine pada anak-anak. Walau sebagai nenek, dia termasuk orang yang sangat royal pada para cucunya. Celine selalu menjadi orang yang memberi hadiah paling mahal di momen-momen bahagia cucu-cucunya. Tapi untuk mengurus cucu-cucunya seperti nenek-nenek lainnya di muka bumi ini, bukanlah gaya wanita kaya raya itu.Tak ingin membuat istrinya merasa lebih tak nyaman dengan obrolan itu, Narendra pun segera bangkit dari pembaringan. Lalu berjalan ke dapur untuk mengambil d
Sementara itu, di malam yang sama di ruang makan rumah Agnia, Dewo sedang duduk berhadapan dengan dua anak perempuannya. "Kenapa tidak dimakan, Sayang?" Dewo menatap bungsunya yang sedari tadi hanya menunduk sambil memainkan sendok di piringnya. Saat gadis kecil itu kemudian mendongak, tampak bola mata indahnya sedang berkaca-kaca. Dewo tahu Aqilla memang sangat dekat dengan ibunya. Gadis kecil cantik itu pasti sedang memikirkan nasib Agnia yang dikurungnya di dalam gudang. "Ibu belum makan dari tadi siang, Yah," ujarnya dengan suara serak hampir menangis. Dewo menghela nafas berat. Tak mau terpengaruh dengan ucapan anak bungsunya itu, pria itu pun beralih pandang ke Naya. Nasi dan ayam bakar yang dipesannya via aplikasi online beberapa saat yang lalu sudah hampir habis di piring anak sulungnya itu. "Naya mau nambah?" tanya Dewo. Sementara Aqilla yang memperhatikan sikap acuh ayahnya, mulai menunduk lagi, menyembunyikan dua bulir bening yang mulai jatuh menyusuri dua pipi chubby
Dewo memarkirkan mobil di garasi rumah tepat saat arloji di pergelangan tangannya menunjuk pukul 4 dini hari. Kemarahannya pada sang istri sama sekali belum berkurang walau dirinya telah menguras segenap tenaga dan hasratnya pada wanita lain. Sri Andari adalah temannya dari kecil. Sejak beranjak remaja, wanita itu memang begitu memujanya. Bahkan hingga saat Dewo memutuskan untuk menikahi Agnia, Sri yang saat itu telah menikah dengan seorang pengusaha kaya yang sudah tua renta, rela menjadi wanita simpanan pria itu selama bertahun-tahun. Biasanya memang Sri lah yang menjadi pelarian Dewo saat lelaki itu sedang kecewa dengan sikap Agnia yang seolah tak pernah bisa mencintainya sepenuhnya selama ini.Sebagai lelaki, dia merasa sudah berusaha membuat istrinya tak pernah kekurangan secara materi. Meski tak seluruh penghasilannya diberikan pada Agnia setiap bulannya, tapi Dewo yakin jatah yang diberikannya pada wanita itu sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Dewo merasa tel
Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng
Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita
Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam
Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi