“Bapak jangan khawatir. Kami akan mengurus semuanya dengan baik. Bapak tinggal fokus saja dengan pekerjaan Bapak. Kami pastikan persidangan akan berakhir kemenangan. Dan kami juga pastikan semua aset yang saat ini sudah di tangan Anda, tidak akan kena status sengketa. Bukti-bukti sudah sangat kuat atas kepemilikan Anda, Pak.”Dua lelaki dengan setelan jas hitam itu berceloteh panjang lebar dengan percaya diri. Narendra yang duduk bertumpu kaki di depan mereka dan tangan memegang segelas wine tampak begitu puas.“Bagus! Memang itu tujuanku membayar tim kalian mahal. Aku nggak mau sedikit pun repot dengan urusan perceraianku dengan istriku. Jadi tolong selesaikan secepatnya. Oke?”“Baik, Pak. Kami akan kabari anda perkembangannya secepatnya. Kalau begitu, kami permisi. Setelah ini segera kami koordinasikan dengan tim.”“Silahkan.” Narendra bahkan merasa tak perlu mengantarkan para tamunya itu ke pintu apartemen, karena dia merasa tak terlalu penting menghormati orang yang telah dibayar
Walau tak begitu yakin bahwa Agnia mau menerima kedatangannya, tapi Narendra bertekad akan mencari jawaban atas rasa penasarannya sendiri akan wanita itu. Usai menyelesaikan beberapa urusannya, malam itu dia pun nekat pergi ke kediaman orang tua Agnia untuk memastikan kebenaran informasi yang diceritakan oleh Rani padanya. Agnia sendiri sedang sibuk memberi pengertian pada kedua orangtuanya tentang keputusannya berpisah dari Dewo. “Bapak dan Ibu tolong ngertiin perasaanku. Mereka sudah memisahkanku dari anak-anak. Ibunya Mas Dewo pun sekarang ikut-ikutan membenci Agni, Bu.”“Kalau menurut ibu, ibu mertuamu itu nggak mungkin berbuat begitu tanpa alasan, Ni. Pasti ada hal yang melatarbelakangi dia jadi membencimu.” Bu Wira bersikukuh dengan keyakinannya. “Ya itu tadi, Bu. Mas Dewo memfitnahku.” Walau sepertinya sulit, Agnia tetap berusaha membela diri. “Bapak kok nggak yakin mereka bisa percaya begitu saja tanpa melihat bukti, Ni. Bapak itu takutnya, kamu yang sebenarnya bersalah da
“Kamu bisa ke rumahku sekarang?” Sri menelpon sahabatnya siang itu, usai mendapat cerita dari Dewo tentang bagaimana nekatnya Agnia memutuskan untuk meminta cerai darinya. Sri kemudian begitu yakin bahwa apa yang terjadi dalam rumah tangga Dewo saat ini adalah akibat keberhasilan sang dukun yang ditemuinya dengan Atun waktu itu. “Ada apa, Sri?” Atun menjawab malas-malasan dari seberang. “Udah, jangan banyak tanya. Ke sini saja. Mau nggak kamu hadiah dari aku?” bujuk Sri. “Hadiah? Apa itu? Ya mau lah aku kalau hadiah. Oke deh kalau gitu, sebentar lagi aku ke situ. Aku urus dulu suamiku,” kata Atun kemudian.Tak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan Sri hari itu mendengar bahwa sebentar lagi Dewo akan berpisah dengan istrinya. Entah sudah berapa tahun lamanya dia bersabar untuk menunggu saat saat dimana lelaki yang sangat dipujanya itu mengingkari sumpahnya sendiri. Sri begitu yakin bahwa tak ada pilihan lain bagi Dewo selain menikahinya setelah nanti berpisah dari istrinya yang se
Pak Wira dan Bu Wira harus kecewa karena hari itu niat mereka untuk berkunjung ke rumah keluarga besan tak berjalan dengan lancar. Sesampainya di sana, rupanya Pak Sapto dan Bu Sapto tidak sedang berada di tempat dan ponsel mereka pun tak bisa dihubungi.Tak ingin pulang dengan tangan hampa, Pak Wira pun berinisiatif menelpon Dewo, yang ternyata juga sama saja. Lelaki itu bahkan tak mau mengangkat telepon dari mertuanya. Dengan kecewa, akhirnya keduanya pun membawa kembali Agnia pulang. Dalam hati, Agnia merasa bersyukur dengan kejadian itu. Dia yang memang tak setuju bapak ibunya merencanakan untuk meminta maaf pada mertuanya untuk hal yang tidak sepatutnya dimintakan maaf, merasa lega karena tak harus bertemu lagi dengan kedua mertuanya yang diyakininya hanya akan berakhir dengan perdebatan seperti sebelumnya. Sesampainya di rumah, Pak Wira tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya, hingga kemudian memutuskan untuk berdiam diri saja di dalam kamarnya. Sementara ibunya, walau sudah be
“Pak, dokumen yang kemarin saya kasih apa sudah dikoreksi? Klien kita mau datang satu jam lagi katanya.” Roni melangkah masuk ke ruangan Alfa usai mengetuk pintu tiga kali dan mendapatkan isyarat untuk membukanya.“Oh iya, sudah. Ini Ron, bawa aja. Nanti pastikan pada mereka bahwa kesepakatan awal tidak berubah ya?” pesannya kemudian. “Baik, Pak.” Lelaki itu bermaksud berpamitan untuk keluar ruangan saat tiba-tiba ada yang menggelitik hatinya. “Anda baik-baik saja kan, Pak?” Dia pun mulai memandangi atasannya dengan khawatir.Alfa tak pernah marah dengan sikap salah satu pegawainya yang terkesan selalu berani itu. Roni memang yang paling dekat dengannya dan bisa dianggap sebagai orang kepercayaannya. “Nggak apa-apa, Ron. Hanya ada satu hal yang mengganggu pikiranku saja,” katanya. “Soal Mbak Agnia?” tebaknya kemudian.“Iya.” Alfa langsung mengangguk, tak bisa bertahan lagi untuk tak mengeluarkan beban pikirannya. Dan jika sudah seperti itu, Roni tahu bahwa itu artinya bosnya sedang
“Ni, kamu bisa ke sini nggak?” Rani tiba-tiba menelpon siang itu. Dia mengabarkan bahwa teman pengacaranya ingin bertemu dengan Agnia terkait dengan rencana gugatan perceraiannya pada sang suami.“Di kafe Reddish ya, Ni. Aku tunggu lho, jangan lama-lama.”Agnia pun segera meluncur ke tempat yang ditunjuk Rani usai merapikan dandanan sekedarnya. Agnia memang tak terlalu suka dengan penampilan mencolok. Biasanya dia hanya berdandan sedikit ribet jika sedang diminta Dewo menemaninya ke kondangan teman atau kerabat mereka. Selain acara-acara itu, biasanya dia hanya akan bermake up tipis saja. Termasuk waktu dia masih berhubungan dengan Narendra saat itu. Entah apakah mungkin karena Narendra sudah terlalu terbiasa dengan para wanita dengan gaya dandanan yang berlebihan, bahkan istrinya pun tak pernah lepas dari perhiasan dan barang-barang mahalnya kemanapun dia pergi, kesederhanaan Agnia justru terlihat begitu menggoda untuknya. Tapi sebenarnya hal itu juga dikarenakan kecantikan alami wa
Satu jam berikutnya ternyata berjalan begitu cepat dirasakan oleh Agnia. Dia yang awalnya begitu cemas dengan kehadiran Narendra di tempat itu, mendadak bisa kembali merasa nyaman mengobrol dengan lelaki itu. Bahkan setengah jam kemudian saat Rani menelpon Narendra dan terdengar oleh Agnia bahwa lelaki itu bilang sudah menyelesaikan obrolan dengannya, rasanya Agnia justru masih ingin terus berlama-lama berada di tempat itu. Narendra terlihat begitu lain hari ini. Selain tidak menampilkan sikap memaksanya, dia juga lebih banyak bercerita. Bahkan sempat juga menceritakan kisah hidupnya pada Agnia mulai dari awal pertemuannya dengan Celine, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Tak hanya itu, dia bahkan meminta maaf karena selama ini telah tak jujur pada Agnia tentang statusnya. Dia berdalih tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa dekat dengan Agnia jika dia mengatakan yang sesungguhnya tentang statusnya yang telah beristri. “Kayaknya masih asik deh kalian, aku lihat dari atas
“Gimana” Apa dia sudah mati?” Terdengar suara Celine berbicara dengan seseorang di telepon saat Irma memasuki kamar majikannya itu untuk membawakan segelas jus jeruk pesanannya. Irma sempat melihat wajah gelisah Celine dari beberapa jam yang lalu setelah sebelumnya terdengar beberapa kali melakukan panggilan telepon dengan orang-orang, entah siapa. Irma, seperti biasa, hanya berani menguping dan hanya menebak-nebak saja sambil menghubung-hubungkan kejadian demi kejadian yang terjadi di rumah itu. “Jusnya, Nya.” Tak bermaksud mengganggu, Irma mengucapkan sepatah kata untuk membuat Celine sadar bahwa minuman yang dia pesan sudah siap. Celine hanya menanggapinya dengan lambaian tangan. Mata dan telinganya seolah tak ingin teralihkan dari masalah yang sedang dia hadapi saat ini. “Apa?! gagal? Melenyapkan satu orang saja kalian nggak bisa? Aku udah bayar mahal kalian loh.” Irma ciut nyali begitu mendengar kalimat bernada tinggi majikannya dengan orang yang diajaknya berbicara di tele
Rani menatap sahabatnya yang duduk bersandar di sampingnya dengan kebingungan. Tangannya bahkan masih terasa gemetar usai membaca berita itu. Namun kondisi Agnia yang terlihat masih begitu lemah membuatnya ragu. Sayangnya, kebingungan Rani terbaca oleh Agnia yang sedang menoleh ke arahnya. “Kenapa, Ran?” tanyanya, masih dengan suara parau. “Eh, ehmm nggak kok, Ni. Nggak apa-apa,” jawabnya terbata. Meski dalam kondisi terpuruk, Agnia tentu tak tega melihat muka pucat pasi sahabatnya itu. Dia pun kemudian menggeser posisi duduknya, lalu berusaha memegang kening Rani. “Apa kamu sakit?” tanyanya. “Kalau memang nggak kuat, kamu pulang saja nggak apa-apa, Ran. Ada bapak ibu dan adik-adik Mas Dewo di sini. Mereka bisa menemaniku,” lanjutnya. Rani menggeleng. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja Rani lebih memilih untuk tinggal bersama dengan Agnia dibanding beristirahat di kontrakan sendirian. Meski begitu, Rani masih belum ingin menceritakan kondisinya saat ini pada sahabatnya. “Aku ng
Roda empat Narendra melaju makin cepat di depan mobil polisi yang mengejarnya. Celine ingin terus mempertahankan kecepatannya demi tak tertangkap oleh polisi-polisi yang mengejarnya itu, sementara Narendra yang berusaha sekuat tenaga menghentikan wanita itu justru membuat gerak mobil jadi semakin tak tentu arah. “Cel, berhenti Celine!” Narendra makin panik. Ditambah lagi, suara sirine mobil polisi yang meraung raung di belakang mereka dan orang-orang di jalanan yang nyaris semuanya berhenti menyaksikan kejadian itu seolah menelanjangi keduanya. Narendra terus berteriak menyuruh Celine untuk menghentikan mobilnya. Sementara tangannya berusaha sebisa mungkin menghentikan Celine. Namun hal itu justru membuat Celine kehilangan fokus. Laju mobil pun semakin tak terkendali. Celine yang panik, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan saja mobil itu dan menyerahkan dirinya pada pihak berwajib. “Diam kamu! Bisa diam nggak sih! Kamu justru bikin aku nggak fokus, Narendra!” kata wanita
Tak lagi memperdulikan Celine, Narendra bergegas turun ke lantai bawah. Lelaki itu berjalan cepat menuju dimana mobilnya terparkir. Namun karena merasa belum selesai dengan Narendra, Celine mengejar hingga ke tempat parkir. Dorong mendorong kasar pun terjadi. Narendra yang yang ingin cepat pergi ke rumah Agnia merasa sangat terganggu dengan kehadiran Celine yang terus ingin mengajaknya bicara. Sementara itu, Celine yang masih merasa punya urusan dengan lelaki itu pun tak mau tinggal diam. Berulang kali dia menutup kembali pintu mobil yang dibuka oleh Narendra. Karena kesal dengan ulah Celine, Narendra akhirnya menghentikan niatnya untuk segera pergi. Dia kembali menutup kembali pintu mobilnya dengan kasar, kemudian berdiri berkacak pinggang di depan sang istri. “Mau kamu apa sih?! Kamu nggak lihat aku mau pergi? Aku juga punya urusan, Celine. Nggak bisa terus terusan meladeni tingkah konyolmu yang kekanak-kanakan kayak gini.”Melihat Narendra makin marah, Celine justru juga bertam
Rani akhirnya menemukan sebuah rumah kontrakan kecil yang langsung dibayarnya selama setahun ke depan. Sebenarnya bisa saja dia menyewa sebuah apartemen yang pastinya lebih nyaman daripada kontrakan yang dipilihnya saat itu. Tapi mengingat sudah tak ada lagi lelaki yang mensupport finansialnya saat ini, Rani memilih untuk berhemat sampai nanti dia mendapatkan sumber penghasilan lainnya lagi. Memikirkan kondisinya yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari yang sebelumnya, Rani jadi teringat dengan nasib malang yang juga sedang menimpa sahabatnya. Untuk itulah, hari itu dia memutuskan untuk kembali mengunjungi Agnia di rumah sakit. Namun sesampainya di sana, Rani dibuat shock dengan telah berkumpulnya semua keluarga besar Agnia yang seolah sedang bersiap menghadapi sesuatu buruk yang akan terjadi. Dan benar saja, beberapa saat setelah kedatangan Rani, dokter akhirnya menyampaikan berita bahwa Dewo benar-benar telah pergi meninggalkan mereka semua. Tangis yang pecah dari Agnia
Di tengah tengah kebingungannya, Rani hanya teringat pada Agnia. Tapi saat taksi yang membawanya menuju rumah sahabatnya itu baru sampai setengah perjalanan, dia seperti baru tersadar bahwa keputusannya untuk pergi ke rumah Agnia adalah salah. Bagaimana mungkin dia berpikir untuk menumpang tinggal di rumah sahabatnya itu jika saat ini saja Agnia sedang mengalami kesulitan yang bahkan jauh lebih berat dibanding dirinya. “Nggak jadi, Pak. Saya turun di sini saja. Saya akan ganti ongkosnya,” katanya kemudian pada si driver taksi online yang ditumpanginya. Rani pun kemudian turun, lalu memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku taman untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Kembali ke rumah orang tuanya adalah hal yang jelas tidak mungkin dilakukannya. Selain karena keduanya sudah meninggal dunia, rumah itu kini juga telah diambil alih keluarga kakaknya yang sangat membencinya karena ketidakpeduliannya pada keluarga besar. Ternyata selama ini dia merasa hidupnya b
Wanita yang biasanya sangat patuh dan penurut pada Rani itu tak menampakkan gentar sedikitpun. Bahkan dia juga berani membalas saat mantan istri dari majikannya itu menampar pipinya berulang kali. “Saya sudah berusaha menjadi asisten yang baik, tapi kelakuan Anda sudah sangat keterlaluan. Anda mengkhianati suami Anda sendiri di rumahnya. Itu sama saja Anda membuang kotoran Anda di tempat makan yang telah diberikan majikan Anda. Sekarang lebih baik Anda pergi. Karena walaupun sampai menangis darah pun, Bapak tidak akan pernah memaafkan Anda,” kata wanita itu setengah mengancam. Mendengar kata-kata sang mantan pembantu, niat Rani untuk meminta maaf pada mantan suaminya pun urung sudah. Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh mantan asisten rumah tangganya itu, suaminya tentu tak akan sudi lagi menerima permintaan maafnya mengingat dirinya bukan lah satu satunya wanita yang dia miliki. Rani mengutuk kebodohannya sendiri karena ternyata selama ini karena memilih untuk menerima
Sementara itu di tempat lain, Narendra justru disibukkan dengan kecemburuan Rani yang tak jua Reda. Dia baru sadar sekarang bahwa sahabatnya itu kini sudah mulai tergila gila padanya, hingga harus merasa marah saat mendengar keinginannya untuk kembali mengejar Agnia. Narendra yang sore itu sudah kembali ke apartemennya bahkan harus disibukkan dengan chat panjang lebar Rani yang memaki makinya tentang rencananya sebelumnya. Namun bukannya bersedih dengan kelakuan Rani yang kolokan seperti anak kecil, Narendra justru makin berbangga bahwa ternyata dia bisa membuat sahabatnya itu bertekuk lutut juga padanya. Walaupun sebenarnya hal itu bukan hal yang diinginkannya. Seandainya saja yang tergila gila padanya itu adalah Agnia, mungkin ceritanya akan jadi lain. Tapi meski begitu, demi meredakan amarah Rani dan demi untuk membuat wanita itu terus tetap mau melayani semua keinginannya, Narendra terpaksa kembali menemui wanita itu malam harinya. Rani tentu saja terkejut melihat Narendra telah
“Ada orang yang nyari Ibu di luar.”Sri baru saja keluar dari kamar mandi sore itu saat seorang pembantu rumah tangganya menghampiri. “Siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Nggak tahu, Bu. Tapi katanya polisi," kata si pelayan. Wajah Sri langsung pucat pasi mendengar itu. Sejujurnya, dari pagi perasaannya sudah tidak karuan karena belum mendapat kabar apapun dari Atun tentang hasil dari aksi orang-orang bayarannya yang katanya berencana melaksanakan tugas mereka hari sebelumnya. Tapi ditunggu sampai sore hari, Atun sama sekali tidak memberinya kabar apapun. “Kamu balik ke depan sana. Bilang saja aku nggak ada. Kemana gitu,” kata Sri dengan nada bingung. “Baik, Bu.” Wanita berusia sekitar empat puluh tahunan itu pun langsung berlalu meninggalkan majikannya dan bergegas menemui dua tamu yang sedang menunggu di depan pintu rumah makan. “Tidak ada gimana, tadi katanya ada?” kata salah seorang diantara kedua lelaki berseragam itu usai mendengar penjelasan bahwa Sri tak ada di ru
Belum habis kesedihan dan ketakutannya dengan kondisi sang suami, Agnia harus dibuat shock oleh beberapa orang yang menyatroni rumahnya dengan senjata. Apalagi saat polisi kemudian menyatakan bahwa kemungkinan besar ketiga orang penyusup itu berniat untuk membunuhnya. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Polisi mengaitkan apa yang terjadi dengan adanya racun yang dikirimkan pada Agnia yang justru mencelakai suaminya. Ditambah lagi dengan keterangan seluruh keluarga Agnia yang menceritakan kejadian saat dirinya diculik beberapa waktu sebelumnya. Polisi semakin kuat menduga bahwa target utama dalam rencana pembunuhan di keluarga itu tentu lah Agnia. Mendengar keterangan yang disampaikan pihak kepolisian, Agnia makin yakin bahwa Rani tidak mungkin terlibat dalam pengiriman kue beracun yang mengakibatkan Dewo sekarat. Mengingat sahabatnya itu, Agnia yang sedang dalam kondisi bingung dan karena selama ini dia lah satu satunya sahabat yang selalu bersedia mendengar segala keluh kesahnya, akhi