Tak terima dengan keputusan sepihak suaminya, tanpa pikir panjang Agnia pun segera kembali meninggalkan rumah. Satu tempat yang ingin ditujunya saat ini, yaitu rumah mertuanya. Dia yakin semua hal ini ada kaitannya dengan Mirna yang menghubunginya beberapa saat yang lalu. Agnia bahkan tak peduli lagi dengan peringatan Mirna yang melarangnya untuk datang ke rumah kedua orangtua Dewo. Demi mengetahui kondisi anak-anaknya, Agnia tak peduli dengan apapun lagi. Sayangnya, apa yang dikatakan oleh Mirna benar adanya. Sesampainya di sana, bukan anak-anaknya yang ditemui Agnia, melainkan justru kemarahan kedua mertuanya. Dia bahkan sedikit kaget karena ibu mertuanya yang selama ini selalu mendukung dan menyayanginya, justru berbalik menyerangnya habis-habisan. Entah apa yang telah diceritakan Dewo padanya hingga wanita lemah lembut dan biasanya penuh kasih padanya itu mendadak berubah sangat membencinya. “Orang tua seperti kamu sudah tidak pantas lagi mengasuh anak-anak baik seperti mereka,
“Bapak jangan khawatir. Kami akan mengurus semuanya dengan baik. Bapak tinggal fokus saja dengan pekerjaan Bapak. Kami pastikan persidangan akan berakhir kemenangan. Dan kami juga pastikan semua aset yang saat ini sudah di tangan Anda, tidak akan kena status sengketa. Bukti-bukti sudah sangat kuat atas kepemilikan Anda, Pak.”Dua lelaki dengan setelan jas hitam itu berceloteh panjang lebar dengan percaya diri. Narendra yang duduk bertumpu kaki di depan mereka dan tangan memegang segelas wine tampak begitu puas.“Bagus! Memang itu tujuanku membayar tim kalian mahal. Aku nggak mau sedikit pun repot dengan urusan perceraianku dengan istriku. Jadi tolong selesaikan secepatnya. Oke?”“Baik, Pak. Kami akan kabari anda perkembangannya secepatnya. Kalau begitu, kami permisi. Setelah ini segera kami koordinasikan dengan tim.”“Silahkan.” Narendra bahkan merasa tak perlu mengantarkan para tamunya itu ke pintu apartemen, karena dia merasa tak terlalu penting menghormati orang yang telah dibayar
Walau tak begitu yakin bahwa Agnia mau menerima kedatangannya, tapi Narendra bertekad akan mencari jawaban atas rasa penasarannya sendiri akan wanita itu. Usai menyelesaikan beberapa urusannya, malam itu dia pun nekat pergi ke kediaman orang tua Agnia untuk memastikan kebenaran informasi yang diceritakan oleh Rani padanya. Agnia sendiri sedang sibuk memberi pengertian pada kedua orangtuanya tentang keputusannya berpisah dari Dewo. “Bapak dan Ibu tolong ngertiin perasaanku. Mereka sudah memisahkanku dari anak-anak. Ibunya Mas Dewo pun sekarang ikut-ikutan membenci Agni, Bu.”“Kalau menurut ibu, ibu mertuamu itu nggak mungkin berbuat begitu tanpa alasan, Ni. Pasti ada hal yang melatarbelakangi dia jadi membencimu.” Bu Wira bersikukuh dengan keyakinannya. “Ya itu tadi, Bu. Mas Dewo memfitnahku.” Walau sepertinya sulit, Agnia tetap berusaha membela diri. “Bapak kok nggak yakin mereka bisa percaya begitu saja tanpa melihat bukti, Ni. Bapak itu takutnya, kamu yang sebenarnya bersalah da
“Kamu bisa ke rumahku sekarang?” Sri menelpon sahabatnya siang itu, usai mendapat cerita dari Dewo tentang bagaimana nekatnya Agnia memutuskan untuk meminta cerai darinya. Sri kemudian begitu yakin bahwa apa yang terjadi dalam rumah tangga Dewo saat ini adalah akibat keberhasilan sang dukun yang ditemuinya dengan Atun waktu itu. “Ada apa, Sri?” Atun menjawab malas-malasan dari seberang. “Udah, jangan banyak tanya. Ke sini saja. Mau nggak kamu hadiah dari aku?” bujuk Sri. “Hadiah? Apa itu? Ya mau lah aku kalau hadiah. Oke deh kalau gitu, sebentar lagi aku ke situ. Aku urus dulu suamiku,” kata Atun kemudian.Tak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan Sri hari itu mendengar bahwa sebentar lagi Dewo akan berpisah dengan istrinya. Entah sudah berapa tahun lamanya dia bersabar untuk menunggu saat saat dimana lelaki yang sangat dipujanya itu mengingkari sumpahnya sendiri. Sri begitu yakin bahwa tak ada pilihan lain bagi Dewo selain menikahinya setelah nanti berpisah dari istrinya yang se
Pak Wira dan Bu Wira harus kecewa karena hari itu niat mereka untuk berkunjung ke rumah keluarga besan tak berjalan dengan lancar. Sesampainya di sana, rupanya Pak Sapto dan Bu Sapto tidak sedang berada di tempat dan ponsel mereka pun tak bisa dihubungi.Tak ingin pulang dengan tangan hampa, Pak Wira pun berinisiatif menelpon Dewo, yang ternyata juga sama saja. Lelaki itu bahkan tak mau mengangkat telepon dari mertuanya. Dengan kecewa, akhirnya keduanya pun membawa kembali Agnia pulang. Dalam hati, Agnia merasa bersyukur dengan kejadian itu. Dia yang memang tak setuju bapak ibunya merencanakan untuk meminta maaf pada mertuanya untuk hal yang tidak sepatutnya dimintakan maaf, merasa lega karena tak harus bertemu lagi dengan kedua mertuanya yang diyakininya hanya akan berakhir dengan perdebatan seperti sebelumnya. Sesampainya di rumah, Pak Wira tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya, hingga kemudian memutuskan untuk berdiam diri saja di dalam kamarnya. Sementara ibunya, walau sudah be
“Pak, dokumen yang kemarin saya kasih apa sudah dikoreksi? Klien kita mau datang satu jam lagi katanya.” Roni melangkah masuk ke ruangan Alfa usai mengetuk pintu tiga kali dan mendapatkan isyarat untuk membukanya.“Oh iya, sudah. Ini Ron, bawa aja. Nanti pastikan pada mereka bahwa kesepakatan awal tidak berubah ya?” pesannya kemudian. “Baik, Pak.” Lelaki itu bermaksud berpamitan untuk keluar ruangan saat tiba-tiba ada yang menggelitik hatinya. “Anda baik-baik saja kan, Pak?” Dia pun mulai memandangi atasannya dengan khawatir.Alfa tak pernah marah dengan sikap salah satu pegawainya yang terkesan selalu berani itu. Roni memang yang paling dekat dengannya dan bisa dianggap sebagai orang kepercayaannya. “Nggak apa-apa, Ron. Hanya ada satu hal yang mengganggu pikiranku saja,” katanya. “Soal Mbak Agnia?” tebaknya kemudian.“Iya.” Alfa langsung mengangguk, tak bisa bertahan lagi untuk tak mengeluarkan beban pikirannya. Dan jika sudah seperti itu, Roni tahu bahwa itu artinya bosnya sedang
“Ni, kamu bisa ke sini nggak?” Rani tiba-tiba menelpon siang itu. Dia mengabarkan bahwa teman pengacaranya ingin bertemu dengan Agnia terkait dengan rencana gugatan perceraiannya pada sang suami.“Di kafe Reddish ya, Ni. Aku tunggu lho, jangan lama-lama.”Agnia pun segera meluncur ke tempat yang ditunjuk Rani usai merapikan dandanan sekedarnya. Agnia memang tak terlalu suka dengan penampilan mencolok. Biasanya dia hanya berdandan sedikit ribet jika sedang diminta Dewo menemaninya ke kondangan teman atau kerabat mereka. Selain acara-acara itu, biasanya dia hanya akan bermake up tipis saja. Termasuk waktu dia masih berhubungan dengan Narendra saat itu. Entah apakah mungkin karena Narendra sudah terlalu terbiasa dengan para wanita dengan gaya dandanan yang berlebihan, bahkan istrinya pun tak pernah lepas dari perhiasan dan barang-barang mahalnya kemanapun dia pergi, kesederhanaan Agnia justru terlihat begitu menggoda untuknya. Tapi sebenarnya hal itu juga dikarenakan kecantikan alami wa
Satu jam berikutnya ternyata berjalan begitu cepat dirasakan oleh Agnia. Dia yang awalnya begitu cemas dengan kehadiran Narendra di tempat itu, mendadak bisa kembali merasa nyaman mengobrol dengan lelaki itu. Bahkan setengah jam kemudian saat Rani menelpon Narendra dan terdengar oleh Agnia bahwa lelaki itu bilang sudah menyelesaikan obrolan dengannya, rasanya Agnia justru masih ingin terus berlama-lama berada di tempat itu. Narendra terlihat begitu lain hari ini. Selain tidak menampilkan sikap memaksanya, dia juga lebih banyak bercerita. Bahkan sempat juga menceritakan kisah hidupnya pada Agnia mulai dari awal pertemuannya dengan Celine, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Tak hanya itu, dia bahkan meminta maaf karena selama ini telah tak jujur pada Agnia tentang statusnya. Dia berdalih tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa dekat dengan Agnia jika dia mengatakan yang sesungguhnya tentang statusnya yang telah beristri. “Kayaknya masih asik deh kalian, aku lihat dari atas