“Ni, kamu bisa ke sini nggak?” Rani tiba-tiba menelpon siang itu. Dia mengabarkan bahwa teman pengacaranya ingin bertemu dengan Agnia terkait dengan rencana gugatan perceraiannya pada sang suami.“Di kafe Reddish ya, Ni. Aku tunggu lho, jangan lama-lama.”Agnia pun segera meluncur ke tempat yang ditunjuk Rani usai merapikan dandanan sekedarnya. Agnia memang tak terlalu suka dengan penampilan mencolok. Biasanya dia hanya berdandan sedikit ribet jika sedang diminta Dewo menemaninya ke kondangan teman atau kerabat mereka. Selain acara-acara itu, biasanya dia hanya akan bermake up tipis saja. Termasuk waktu dia masih berhubungan dengan Narendra saat itu. Entah apakah mungkin karena Narendra sudah terlalu terbiasa dengan para wanita dengan gaya dandanan yang berlebihan, bahkan istrinya pun tak pernah lepas dari perhiasan dan barang-barang mahalnya kemanapun dia pergi, kesederhanaan Agnia justru terlihat begitu menggoda untuknya. Tapi sebenarnya hal itu juga dikarenakan kecantikan alami wa
Satu jam berikutnya ternyata berjalan begitu cepat dirasakan oleh Agnia. Dia yang awalnya begitu cemas dengan kehadiran Narendra di tempat itu, mendadak bisa kembali merasa nyaman mengobrol dengan lelaki itu. Bahkan setengah jam kemudian saat Rani menelpon Narendra dan terdengar oleh Agnia bahwa lelaki itu bilang sudah menyelesaikan obrolan dengannya, rasanya Agnia justru masih ingin terus berlama-lama berada di tempat itu. Narendra terlihat begitu lain hari ini. Selain tidak menampilkan sikap memaksanya, dia juga lebih banyak bercerita. Bahkan sempat juga menceritakan kisah hidupnya pada Agnia mulai dari awal pertemuannya dengan Celine, hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Tak hanya itu, dia bahkan meminta maaf karena selama ini telah tak jujur pada Agnia tentang statusnya. Dia berdalih tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa dekat dengan Agnia jika dia mengatakan yang sesungguhnya tentang statusnya yang telah beristri. “Kayaknya masih asik deh kalian, aku lihat dari atas
“Gimana” Apa dia sudah mati?” Terdengar suara Celine berbicara dengan seseorang di telepon saat Irma memasuki kamar majikannya itu untuk membawakan segelas jus jeruk pesanannya. Irma sempat melihat wajah gelisah Celine dari beberapa jam yang lalu setelah sebelumnya terdengar beberapa kali melakukan panggilan telepon dengan orang-orang, entah siapa. Irma, seperti biasa, hanya berani menguping dan hanya menebak-nebak saja sambil menghubung-hubungkan kejadian demi kejadian yang terjadi di rumah itu. “Jusnya, Nya.” Tak bermaksud mengganggu, Irma mengucapkan sepatah kata untuk membuat Celine sadar bahwa minuman yang dia pesan sudah siap. Celine hanya menanggapinya dengan lambaian tangan. Mata dan telinganya seolah tak ingin teralihkan dari masalah yang sedang dia hadapi saat ini. “Apa?! gagal? Melenyapkan satu orang saja kalian nggak bisa? Aku udah bayar mahal kalian loh.” Irma ciut nyali begitu mendengar kalimat bernada tinggi majikannya dengan orang yang diajaknya berbicara di tele
Dewo yang keras hati, rupanya tetap kepikiran juga dengan kabar yang menimpa istrinya. Sore itu juga dia langsung membatalkan pertemuannya dengan Sri dan segera meluncur menuju ke rumah orang tuanya setelah berpikir sejenak. Keluarga besarnya rupanya sedang ada di rumah orangtuanya saat Dewo datang. Naya dan Aqilla yang beberapa hari ternyata sedang diungsikan di rumah Rida, rupanya telah dibawa kembali ke rumah Pak Sapto dan Bu Sapto lagi. Kedua anak itu langsung antusias menyambut kedatangan ayah mereka. Dan seperti biasa, langsung merengek menanyakan perihal sang ibu. “Kalian main dulu sama adik-adik ya? Ayah mau ngobrol [penting sama kakek nenek,” ucap Dewo kemudian, usai membersihkan diri sore itu. Dengan raut kecewa, Naya dan Aqilla pun kembali berbaur dengan adik-adik sepupu mereka untuk kembali bermain.“Ada apa, Wo? Ada kejadian penting apa?” Pak Sapto yang memang sebelumnya sudah diberitahu akan diajak bicara oleh anak sulungnya itu pun langsung menanyakan maksud Dewo meng
Pak Wira dan Bu Wira menyambut suka cita kedatangan sang menantu ke rumah mereka malam itu. Walau malam itu Dewo datang dengan sikap jumawanya yang tetap saja ada. Dia makin besar kepala karena kemudian Pak Wira dan Bu Wira justru meminta maaf untuk kesalahan putri bungsunya pada lelaki itu. Agnia yang mendengar percakapan mereka dari dalam kamarnya, tak bisa berbuat banyak. Kakinya yang masih luka, tak bisa membuatnya bergerak leluasa seperti biasanya. Seandainya saja bisa berjalan cepat menuju ke ruang tamu, dia pasti akan mencegah bapak dan ibunya untuk merendahkan harga diri meminta maaf pada suaminya itu. Agnia tetap pada pendiriannya bahwa dia bukan satu-satunya orang yang bersalah dalam retaknya rumah tangganya dengan Dewo. Kemudian, wanita itu bahkan hanya bisa pasrah saat Dewo masuk ke kamarnya dan duduk menatapnya dengan sorot penuh kemenangan.“Dimana anak-anak, Mas?” Kalimat pertama itu yang dia tanyakan sebelum Dewo mengucapkan sepatah kata pun padanya.“Kamu nggak kang
Dalam perjalanan pulang dari rumah mertuanya, Dewo menyempatkan untuk bertemu dengan orang kepercayaannya, Simon. Usai mendapat kabar tentang kecelakaan istrinya, Dewo segera meminta Simon untuk mencari tahu sesuatu tentang kecelakaan itu. Dan beberapa menit yang lalu, lelaki itu mengatakan sudah mendapatkan informasi tentang kecelakaan yang terjadi di jalan raya dekat rumah mertuanya.“Saya sudah mendapatkan plat nomor kendaraan yang menabrak istri Anda. Kemudian saya juga sudah berhasil menemukan siapa pemiliknya.” Simon mulai menjelaskan keberhasilan penyelidikannya.“Ada yang melihat mobilnya? Kenapa polisi tidak menangkapnya?”“Kalau itu saya tidak tahu, Pak. Yang jelas sampai sekarang mereka masih bebas, belum ditangkap,” lanjut Simon.“Mereka? Sepertinya kamu mau bilang bahwa mereka melakukannya dengan sengaja? Ini bukan murni kecelakaan. Gitu maksudmu?”“Benar. Memang ada orang yang ingin mencelakai istri Anda. Saya bisa pastikan itu.” “Kenapa kamu begitu yakin?”“Saya melih
Paramitha, salah satu orang kepercayaan mendiang pengusaha Suseno yang juga merupakan teman lama Celine saat kuliah, menyambut kedatangan wanita kaya itu di lobby kantor.“Aku kira kamu nggak jadi datang hari ini,” ucapnya sambil memeluk sang sahabat. “Maaf ya aku sudah merepotkanmu dengan urusan suamiku,” ujar Celine sedikit berbisik. Lalu keduanya pun beriringan menuju ke lantai atas. Ruang direktur yang selama ini merupakan tempat Narendra menghabiskan waktu untuk mengurusi perusahaan peninggalan mendiang suami Celine adalah tujuan mereka saat ini. “Apa kamu ada kesulitan mengurus semuanya, Mith?” tanya Celine saat keduanya akhirnya berada di dalam ruangan itu. Celine terlihat sudah menduduki kursi direktur, sementara Mitha yang baru saja selesai berbicara dengan salah satu karyawan, mulai fokus dengan apa yang ditanyakan oleh sahabatnya.“Lumayan sih. Aku akui suamimu itu memang sangat handal mengelola perusahaanmu, Ce. Aku paham sekarang kenapa dulu mendiang suamimu begitu men
Demi mencapai tujuannya, Dewo mulai gencar memanfaatkan Sri. Sayang sekali, wanita yang telah gelap mata karena cinta matinya pada lelaki itu tak bisa membaca niat tersembunyi di balik sikap Dewo yang semakin manis padanya. Padahal sebenarnya dalam hati Dewo, tetap hanya ada Agnia seorang saja. Sementara Sri hanya dijadikannya pelampiasan dan batu loncatan untuk semua ketidakpuasan pada istrinya itu. Seperti halnya hari ini, Dewo yang gundah karena menunggu kabar dari Agnia, terlihat tak bersemangat di kantornya. Dalam situasi itu, Mirna justru beberapa kali menelponnya. Adiknya itu melaporkan jika Naya dan Aqilla terus merengek minta untuk dipertemukan dengan ibu mereka. Mirna yang dititipi dua anaknya pun jadi pusing tujuh keliling, hingga Dewo tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Bisa ajak jalan mereka kemana dulu gitu? Aku masih sibuk banget di kantor, Mir,” katanya.“Sudah, Mas. Aku sudah ajak mereka sampai bolak balik dua kali jalan. Mereka tetap maunya diantarkan ketem