“Sudah, kamu manut saja to, Sri. Kalau kamu ragu-ragu, usaha kita nggak akan berhasil.” Di dalam mobil, berulang kali Atun mencoba meyakinkan Sri dalam perjalanan pulang.Sebenarnya Sri memang ragu, gara-gara si dukun mengatakan hal yang tak masuk akal tentang Dewo tadi. Tapi dia sudah kepalang basah. Dia tak mau perjalanannya yang jauh itu tak membawa hasil apa-apa. Lagipula, keinginannya untuk melenyapkan istrinya Dewo itu begitu kuat. Apapun yang terjadi, dia harus berhasil. Atun merapatkan diri ke tubuh sahabatnya, lalu menggenggam tangan Sri dengan erat. Sementara tangan yang digenggam itu justru mendekap tas di dadanya. Sesuai pesan dari si dukun bernama Karno tadi, Sri harus menjaga benda pemberian itu hingga sampai di tempat tujuan. Sri tidak tahu benda apa sebenarnya yang diberikan oleh si dukun tadi, tapi dia memang harus yakin bahwa itulah nanti yang akan membuat tujuannya berhasil.“Aku cuma bingung, Tun,” katanya kemudian. Mulutnya mengerucut menyiratkan isi pikirannya
Pagi itu Agnia bangun dengan gelisah. Apalagi saat menyadari bahwa ternyata Dewo benar-benar belum pulang ke rumah. Naya dan Aqilla pun mulai merengek menanyakan keberadaan ayah mereka.“Ibu juga belum tahu, Sayang. Kalian tenang dulu ya, biar ibu coba hubungi ayah.” Demi membuat anak-anaknya tenang, akhirnya Agnia mengalah. Hal yang sudah beberapa waktu terakhir ini sangat dihindarinya, yaitu menelpon suaminya itu jika tidak mendesak, terpaksa dilakukannya saat ini.Naya dan Aqilla langsung tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres saat melihat melihat raut muka ibunya yang sedikit pucat. Beberapa kali sambungan telepon itu dialihkan. HP Dewo tidak aktif.“HP ayah mati,” ujar wanita itu kemudian pada dua anaknya yang duduk menunggu dengan gelisah di meja makan. Wajah dua gadis kecil itu pun ikut pucat. “Telepon polisi aja, Bu.” Aqilla mulai menyeletuk dengan gaya khasnya yang sok dewasa. Jantung Agnia tiba-tiba berdebar mendengar kata ‘polisi’ disebut oleh anak bungsunya. Mungkinkah m
“Wo, nggak bangun kamu? Nggak ke kantor?”Sri masuk ke dalam kamar dengan dandanan sudah rapi. Tangannya membawa sebuah nampan berisi dua cangkir kopi yang aromanya seketika menguar ke setiap sudut kamar, membuat hidung Dewo langsung kembang kempis saat membuka mata. “Jam berapa ini?” tanyanya sembari mengucek mata. Tangan kanannya segera meraba-raba sekitar kasur untuk mencari-cari sesuatu. “Nyari apa kamu?” Sri malah balik bertanya. “HP,” sahutnya.“Kan semalam kamu cas, tuh di sana!” Sri menunjuk sudut ruangan dimana Dewo meletakkan ponselnya semalam dalam keadaan mati dan mengisi daya sebelum akhirnya dia membaringkan tubuhnya masih dengan pakaian lengkap. “Aku capek banget. Tolong jangan ganggu aku ya? Aku mau langsung tidur,” ucap laki-laki itu semalam.Sri yang sudah cukup senang Dewo langsung pulang ke rumahnya setelah dari bepergian jauh, tak ingin banyak bertanya. Dia hanya ingin Dewo tak merasa terganggu di rumahnya. Makanya dia biarkan saja lelaki itu berbuat semaunya
Sri berbinar saat pagi itu Dewo mengajaknya ke rumah. “Memangnya istrimu tidak ada di rumah?” tanya Sri penasaran di sela-sela perjalanan mereka menuju ke rumah Dewo. “Ada,” sahut Dewo santai, membuat dahi Sri berkerut. “Trus ngapain kamu ajak aku ke sana?” “Ngapain lagi? Aku pengen dia tahu bukan cuma dia saja yang bisa membawa lelaki lain ke rumah.”“Apa?!” Sri tahu betapa dirinya sangat membenci istri Dewo itu. Tapi selama ini dia selalu menganggap wanita itu lebih terhormat dibanding dirinya. Terutama dalam hal berlaku pada laki-laki. Jadi, saat mendengar Dewo mengatakan bahwa istrinya membawa laki-laki lain ke rumah mereka, Sri hampir tak bisa mempercayai pendengarannya. “Kamu jangan bercanda, Wo. Istrimu memasukkan lelaki ke rumah kalian?” Bibir wanita itu hampir tertawa, tapi ditahannya.“Kenapa memangnya? Kamu tidak percaya? Kamu mau menertawakanku? Silahkan saja!” Kalimat Dewo terdengar begitu menyedihkan di telinga Sri, tapi tetap saja, wanita itu belum bisa percaya tanp
“Maaf Mbak Agni, aku telat. Tadi harus nunggu anakku mau ditinggal dulu. Agak rewel tadi di sekolah, Mbak.” Dengan sedikit ngos-ngosan, Mirna langsung memeluk kakak iparnya dengan akrab. Hari itu keduanya memang sepakat bertemu usai mengantar anak-anak mereka ke sekolah.“Nggak apa-apa, Mir. Aqilla tadi juga agak rewel, maunya pulang sekolah dijemput sama ayahnya. Padahal Mas Dewo bilang hari ini ada rapat penting di kantornya,” jelas Agnia.“Beneran rapat itu, Mbak? Jangan-jangan cuma mau ke tempatnya Sri aja?” Mirna terlihat tak percaya.“Entahlah, Mir. Aku udah nggak mau capek mikirin itu lagi,” jawab Agnia usai menghela nafas panjang. “Jadi beneran mas-ku selingkuh, Mbak?”“Kemarin dia malah mengajak wanita itu ke rumah, pas anak-anak masih di sekolah. Sehabis aku telpon kamu itu, Mir,” jelas Agnia akhirnya. Sebenarnya selama ini dia bukan tipe orang yang gampang menceritakan masalah pribadinya pada orang lain. Tapi kali ini dia tak ingin sendirian melawan Dewo. Dia tahu betapa
“Apa?! Bercerai, Ni?” Bu Wira terperangah mendengar penuturan anak perempuannya. Tak beda jauh dengan Pak Wira yang lebih memilih menyalakan sebatang rokok untuk meredam ketegangannya. “Apa semua ini gara-gara laki-laki yang waktu itu ke sini? Yang membuat suamimu marah padamu waktu itu?”Bu Wira menutup muka dengan kedua telapak tangannya. Perceraian adalah sesuatu yang paling dihindari dalam hidupnya. Bukan saja dalam perkawinannya saja, wanita itu bahkan selalu menanamkan pada tiga anak perempuannya betapa tabunya bercerai setelah mereka menikah dan punya anak. “Agni tahu ini berat, Bu. Tapi ini semua tidak ada hubungannya dengan orang yang ibu sebutkan tadi. Mungkin Agni pernah melakukan kesalahan fatal, tapi Mas Dewo pun telah melakukan hal yang demikian kejam padaku, Bu.”“Maksud kamu apa, Ni? Coba kamu jelaskan yang benar. Bapak tidak bisa paham dengan kata-katamu.” Pak Wira yang nampak sudah bisa mengendalikan diri, mulai bicara.“Selama ini Mas Dewo sering melakukan kekerasa
“Narendra! Dimana Narendra?!”Seisi rumah megah itu mendadak panik usai sebuah mobil mewah yang menjemput Celine dari bandara terparkir. Lalu terlihat wanita itu berjalan tergesa ke dalam rumah sambil berteriak memanggil-manggil nama suaminya. Dua orang pelayan tergopoh-gopoh menghampirinya. Salah satu diantaranya segera mengambil koper besar yang baru saja diseret dan dibanting Celine di lantai ruang tamu. Sementara salah seorang lagi segera menghampiri sang majikan untuk bertanya. “Nyonya sudah pulang?” Wajahnya pucat melihat raut kemarahan di wajah sang majikan.“Dimana Narendra?!” Sekali lagi wanita lima puluh tahun dengan penampilan berkelas itu bertanya. Dengan takut-takut pelayan muda itu pun menjawab, “Bapak … belum pulang, Nyonya.”Tak menunggu kalimat selanjutnya, Celine pun segera berlari ke lantai atas menuju ke kamarnya setelah sebelumnya memerintahkan pelayan tadi mengikutinya.“Ambil koper! Masukkan baju-bajunya dan taruh di teras!” perintahnya lagi saat keduanya samp
“Mau saya siapkan sesuatu untuk makan malam, Nyonya?” Seorang pelayan masuk ke kamar Celine usai mengetuk pintu yang memang dalam kondisi terbuka itu tiga kali. “Aku belum lapar,” ujar Celine yang sedang duduk dengan tatapan kosong tanpa sedikit pun menatap pada sang pelayan. “Nyonya harus makan. Nanti Nyonya bisa sakit,” ujar pelayan itu. Celine tetap tak bereaksi, pun tak juga menunjukkan rasa kesalnya. Wanita yang mengajaknya bicara itu adalah kepala pelayan yang memang sudah cukup dekat dengan keluarga Celine selama ini. Dia sudah dianggap seperti keluarga sendiri dan selayaknya bibi bagi anak-anak Celine. Namanya Irma.Melihat majikannya tak bergeming, Irma pun mulai mendudukkan diri di tepi ranjang. Tangannya mulai memijit-mijit bahu Celine yang duduk bersandar pada headboard tempat tidurnya. “Jangan pernah merasa bersalah, Nyonya. Nyonya sudah terlalu baik pada Pak Narendra selama ini. Seharusnya dia lebih bisa bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang, bukan malah mempe