Beberapa kali Agnia melirik ke arah spion, memindai jalanan di belakang taksi online dengan gelisah. Setelah yakin bahwa Narendra tidak membuntuti, wanita itu baru bisa sedikit bernafas lega.“Ada apa sih, Bu? Apa Om tadi itu orang jahat?” Suara Aqilla segera mengurai kekhawatirannya. Menurutnya, saat ini sepertinya jauh lebih penting memberi pengertian pada anak-anaknya bahwa tidak pernah ada kejadian apapun beberapa saat yang lalu dengan orang asing dibanding harus mengkhawatirkan keberadaan Narendra mengganggu pikirannya.“Ibu nggak tahu, Sayang. Ibu juga nggak kenal kok siapa orang tadi,” bohongnya. Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini, dia harus memastikan bahwa anak-anaknya tidak akan membahas pertemuan mereka dengan Narendra pada ayahnya saat lelaki itu pulang dari luar kota nanti. “Oh, aku kira tadi temannya Ibu.” Kali ini Naya yang bicara. Tatap tajam mata anak itu sedikit membuat Agnia khawatir. Dibanding adiknya, Naya tentu lebih paham dengan apa yang sedang terja
“Bagaimana mungkin? Kita pernah satu sekolah?” Mata Agnia membelalak lebar. Rasanya dia tak mungkin bisa percaya jika saja tak dilihat dengan mata kepalanya sendiri namanya dan nama Alfa berada dalam satu halaman di sebuah buku kenangan sebuah Sekolah Dasar yang terletak di dekat tempat kediaman orang tuanya.“Itu buktinya kan?” Lelaki di depannya justru terkekeh. Dahi Agnia pun makin mengernyit sambil terus memandangi buku dan pemiliknya itu secara bergantian.“Tapi kenapa aku tak bisa mengingat apapun ya?” Wanita itu lalu bergumam.“Mungkin kenangan di antara kita tidak ada yang spesial untukmu, makanya kamu tidak ingat.”Karena tak enak hati dengan ucapan sebelumnya, Agnia pun segera meralat. ”Bukan begitu maksudku, Alfa. Mungkin kamu bisa mengatakan sesuatu yang bisa mengingatkanku tentang kita?” Dia mengumbar senyuman demi membuat lelaki di depannya tak tersinggung dengan ucapannya. Namun rupanya Agnia salah, karena Alfa bukan orang yang mudah meradang hanya dengan sebuah ucapan.
Di sela kegiatan meetingnya, Dewo mendadak terganggu dengan beberapa kali getar notifikasi di ponselnya. Tangannya pun kemudian segera meraih benda yang sekian waktu tergeletak di atas meja di depannya itu. Melihat nama Simon yang ternyata sedang mengirimkan beberapa pesan, wajahnya langsung berubah merah padam. Tanpa harus membuka pesan itu pun, sebenarnya dia sudah tahu bahwa pesan-pesan itu pastilah tentang istrinya yang saat ini mungkin sedang bersama pria lain. Gigi-giginya mulai gemeretak menahan amarah, bahkan sebelum sempat mengetahui isi yang ada di dalam pesan itu. Tak ada kalimat apapun yang dituliskan Simon dalam pesannya. Hanya beberapa foto dan video yang beberapa di antaranya membuat dahi Dewo berkerut parah. Sebuah video menunjukkan padanya saat Istri dan kedua anaknya sedang berada di depan gedung sekolah. Lalu seorang pria yang sangat dikenalnya menghampiri mereka. Walau tak melihat sedikit pun keakraban yang terjadi antara istrinya dengan lelaki yang diketahuin
Sebuah mobil berhenti di depan rumah dengan pelataran luas. Setelah menempuh perjalanan lumayan jauh, akhirnya Sri sampai juga di tempat tersebut. Dengan diantar seorang teman wanita yang selama ini menjadi tempatnya berkelu kesahnya tentang Dewo, mata Sri menatap lega rumah besar yang terletak di daerah pesisir itu. “Benar ini rumahnya, Tun?” Sri bertanya sebelum keduanya turun dari mobil yang mereka sewa dari sebuah jasa persewaan transportasi tak jauh dari Rumah Makan Sri. “Bu, saya nunggu dimana?” Suara si sopir terdengar saat kedua wanita itu hampir melangkahkan kaki menuju ke arah pagar rumah besar dan megah di depan mereka.“Kami mungkin agak lama. Masnya cari makan dulu di sekitaran sini. Setauku ada beberapa warung kok. Kalau bingung, tanya warga saja,” sahut Atun pada lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan itu.Tanpa banyak tanya lagi, lelaki itu pun bergegas meninggalkan tempat itu dengan mobil majikannya. Sejak perjalanan menjemput dua penyewanya tadi, lelaki itu ras
“Sudah, kamu manut saja to, Sri. Kalau kamu ragu-ragu, usaha kita nggak akan berhasil.” Di dalam mobil, berulang kali Atun mencoba meyakinkan Sri dalam perjalanan pulang.Sebenarnya Sri memang ragu, gara-gara si dukun mengatakan hal yang tak masuk akal tentang Dewo tadi. Tapi dia sudah kepalang basah. Dia tak mau perjalanannya yang jauh itu tak membawa hasil apa-apa. Lagipula, keinginannya untuk melenyapkan istrinya Dewo itu begitu kuat. Apapun yang terjadi, dia harus berhasil. Atun merapatkan diri ke tubuh sahabatnya, lalu menggenggam tangan Sri dengan erat. Sementara tangan yang digenggam itu justru mendekap tas di dadanya. Sesuai pesan dari si dukun bernama Karno tadi, Sri harus menjaga benda pemberian itu hingga sampai di tempat tujuan. Sri tidak tahu benda apa sebenarnya yang diberikan oleh si dukun tadi, tapi dia memang harus yakin bahwa itulah nanti yang akan membuat tujuannya berhasil.“Aku cuma bingung, Tun,” katanya kemudian. Mulutnya mengerucut menyiratkan isi pikirannya
Pagi itu Agnia bangun dengan gelisah. Apalagi saat menyadari bahwa ternyata Dewo benar-benar belum pulang ke rumah. Naya dan Aqilla pun mulai merengek menanyakan keberadaan ayah mereka.“Ibu juga belum tahu, Sayang. Kalian tenang dulu ya, biar ibu coba hubungi ayah.” Demi membuat anak-anaknya tenang, akhirnya Agnia mengalah. Hal yang sudah beberapa waktu terakhir ini sangat dihindarinya, yaitu menelpon suaminya itu jika tidak mendesak, terpaksa dilakukannya saat ini.Naya dan Aqilla langsung tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres saat melihat melihat raut muka ibunya yang sedikit pucat. Beberapa kali sambungan telepon itu dialihkan. HP Dewo tidak aktif.“HP ayah mati,” ujar wanita itu kemudian pada dua anaknya yang duduk menunggu dengan gelisah di meja makan. Wajah dua gadis kecil itu pun ikut pucat. “Telepon polisi aja, Bu.” Aqilla mulai menyeletuk dengan gaya khasnya yang sok dewasa. Jantung Agnia tiba-tiba berdebar mendengar kata ‘polisi’ disebut oleh anak bungsunya. Mungkinkah m
“Wo, nggak bangun kamu? Nggak ke kantor?”Sri masuk ke dalam kamar dengan dandanan sudah rapi. Tangannya membawa sebuah nampan berisi dua cangkir kopi yang aromanya seketika menguar ke setiap sudut kamar, membuat hidung Dewo langsung kembang kempis saat membuka mata. “Jam berapa ini?” tanyanya sembari mengucek mata. Tangan kanannya segera meraba-raba sekitar kasur untuk mencari-cari sesuatu. “Nyari apa kamu?” Sri malah balik bertanya. “HP,” sahutnya.“Kan semalam kamu cas, tuh di sana!” Sri menunjuk sudut ruangan dimana Dewo meletakkan ponselnya semalam dalam keadaan mati dan mengisi daya sebelum akhirnya dia membaringkan tubuhnya masih dengan pakaian lengkap. “Aku capek banget. Tolong jangan ganggu aku ya? Aku mau langsung tidur,” ucap laki-laki itu semalam.Sri yang sudah cukup senang Dewo langsung pulang ke rumahnya setelah dari bepergian jauh, tak ingin banyak bertanya. Dia hanya ingin Dewo tak merasa terganggu di rumahnya. Makanya dia biarkan saja lelaki itu berbuat semaunya
Sri berbinar saat pagi itu Dewo mengajaknya ke rumah. “Memangnya istrimu tidak ada di rumah?” tanya Sri penasaran di sela-sela perjalanan mereka menuju ke rumah Dewo. “Ada,” sahut Dewo santai, membuat dahi Sri berkerut. “Trus ngapain kamu ajak aku ke sana?” “Ngapain lagi? Aku pengen dia tahu bukan cuma dia saja yang bisa membawa lelaki lain ke rumah.”“Apa?!” Sri tahu betapa dirinya sangat membenci istri Dewo itu. Tapi selama ini dia selalu menganggap wanita itu lebih terhormat dibanding dirinya. Terutama dalam hal berlaku pada laki-laki. Jadi, saat mendengar Dewo mengatakan bahwa istrinya membawa laki-laki lain ke rumah mereka, Sri hampir tak bisa mempercayai pendengarannya. “Kamu jangan bercanda, Wo. Istrimu memasukkan lelaki ke rumah kalian?” Bibir wanita itu hampir tertawa, tapi ditahannya.“Kenapa memangnya? Kamu tidak percaya? Kamu mau menertawakanku? Silahkan saja!” Kalimat Dewo terdengar begitu menyedihkan di telinga Sri, tapi tetap saja, wanita itu belum bisa percaya tanp