[Apa kabar kamu?] Pesan di messenger itu menyambutnya saat benda pipih di depannya menyala dengan sempurna. Dengan penuh sesal, Agnia pun segera mengetikkan balasan ke akun itu.[Maaf Al, aku sepertinya melewatkan beberapa pekerjaanku. Aku agak sibuk di dunia nyata] tulis wanita itu diikuti emoticon menepuk dahi. [Aku tidak sedang menagih pekerjaanmu.] Alfa tertawa di akhir kalimatnya. [Apa kamu baik-baik saja?] tulisnya lagi saat tak ada respon dari wanita yang diajaknya berbalas chat.. [Aku baik. Jangan khawatir.] balas Agnia akhirnya.[Tapi kok aku merasa kamu lagi nggak baik ya.][Jangan sok tahu kamu, Al] Agnia mengirimkan stiker tawa lebar. [Apa kamu lagi butuh bantuan, Agnia Prameswari?]Alfa Wiradharma. Begitulah nama akrab lelaki itu di aplikasi pertemanan berwarna biru. Lelaki yang dikenalnya beberapa tahun lalu itu memang selalu sok tahu. Tapi anehnya, terkadang apa yang dia katakan sangat relate dengan yang sedang dirasakannya selama ini. Jari-jari Agnia sudah siap m
Pagi itu, seperti biasa keluarga kecil itu berkumpul untuk sarapan. Dan seperti biasa pula, Bimo hanya menikmati secangkir kopinya sambil menunggui dua putrinya selesai menghabiskan makanan mereka. Sebelah tangannya sibuk dengan ponsel dan sebelahnya lagi sebatang rokok."Nggak sarapan sekalian, Mas?" tanya Agnia ragu. Dulu pertanyaan seperti itu selalu dilontarkannya saat keempatnya sedang ada di meja makan. Meski Agnia tahu jawaban Bimo akan selalu menolak. Seingatnya, lelaki itu memang sudah jarang mau sarapan sejak beberapa tahun yang lalu. Jika tak salah ingat, mungkin saat dirinya sedang mengandung Naya. Entahlah, mungkin saat itu Dewo sudah mulai menjalin hubungan dengan wanita bernama Sri itu. Bukankah wanita itu punya warung makan yang dekat dengan kantornya?Dewo hanya melirik istrinya sekilas. Sepertinya dia kaget Agnia masih mau berbasa-basi lagi dengannya setelah apa yang terjadi di antara mereka. Sejenak lelaki itu seperti sedang berpikir. Lalu mulai menurunkan ponsel d
"Sudah Re, jangan bicara apa-apa lagi. Pergilah! Kalau suamiku pulang, kita bisa mati." Agnia mendorong keras tubuh lelaki itu. Narendra yang tak siap dengan perlawanan Agnia sedikit terhuyung ke belakang. "Apa-apaan sih?" Kekagetan itu hampir membuatnya marah. Tapi saat sadar emosinya hanya akan membuat wanita di depannya itu takut dan semakin menolaknya, Narendra langsung melembutkan tatapannya. "Kamu kenapa kasar gitu sih, Sayang?" Tangannya berusaha meraih bahu Agnia, tapi wanita itu mundur untuk menghindarinya."Pergilah, Re! Pergi atau aku akan teriak minta tolong," ancamnya. Dan ternyata itu berhasil menghentikan langkahnya mendekat. Narendra dengan hasrat yang masih menggebu terlihat sangat kesal dengan penolakan itu. Sejenak lelaki itu hanya diam mengamati wanita di depannya yang sudah bersiap untuk melawan. "Kamu benar-benar mau kita pisah?" tanyanya lagi dengan tatap mata tajam yang menghujam."Iya!" Tanpa pikir panjang, Agnia langsung menyahut. "Oke! Aku pergi! Tapi in
"Apa-apaan kamu, Mas?! Mana anak-anak?" Agnia terkejut saat siang itu tiba-tiba Dewo datang dengan penuh amarah. Lelaki itu bahkan belum sempat mematikan mesin mobilnya saat turun dari roda empatnya dan berjalan cepat ke dalam rumah. Agnia yang sempat melihat itu dari kamar tamu terhenyak. Rasa penasaran segera menyerbu saat tak dilihatnya dua putrinya bersama dengan sang suami. Belum hilang rasa penasaran, Agnia dikejutkan kembali oleh tubuh kekar Bimo yang merangsek masuk dan langsung menyeretnya ke dalam kamar. Beberapa detik kemudian, lelaki itu membanting tubuhnya di atas kasur. "Masih mau bilang kalau kamu nggak berbuat mesum di rumahku, Jal*ng?!" Wajah lelaki itu sudah terlihat merah, membuat Agnia begitu takut. Namun kalimat itu rasanya sudah cukup untuk menjelaskan penyebab lelaki itu murka. Dewo ternyata sudah tahu kedatangan Narendra beberapa jam yang lalu ke rumah mereka. "Mak-sud kamu apa, Mas?" Agnia yang masih dalam kondisi kaget, bertanya dengan gugup."Jangan pur
Sungguh, Dewo pun sejujurnya kaget Agnia sampai seperti itu. Emosinya meledak begitu saja, tidak sempat ia kendalikan. Tindakannya itu benar-benar diluar kehendaknya, spontanitas, wujud kemarahan dan kecemburuannya yang besar terhadap sang istri. "Sial! Aku kebablasan! Padahal aku hanya bermaksud memberinya pelajaran. Kenapa malah jadi seperti ini?" Bayang-bayang ketakutan Dewo semakin membesar. Lama sekali Dokter tidak kunjung keluar dari ruangan. Lampu gawat darurat juga masih menyala. Dewo pun memutuskan untuk kembali duduk. Dia terlihat mulai lelah karena dari tadi terus mondar-mandir menunggu selesainya pemeriksaan. Tepat di saat Dewo hendak melesakkan tubuhnya ke kursi tunggu, lampu gawat darurat menunjukkan perubahan warna, pertanda kalau pemeriksaan Agnia sudah selesai. Bersamaan dengan itu pula, dokter baru saja keluar. Dengan langkah tergesa, Dewo pun menghampiri sang dokter. "Bagaimana keadaan istri saya, dok?" tanyanya dengan wajah cemas. Dokter itu nampak tersenyu
Beberapa saat setelah menelpon mertuanya, Dewo langsung pamit pergi. Inginnya dia segera membawa orangtua Agnia ke rumah sakit agar dia bisa segera beristirahat di rumah bersama dua putrinya. Sejujurnya hatinya masih sangat sakit jika melihat wajah istrinya. Walau hubungannya dengan Sri sudah terjadi jauh sebelum dia mengenal Agnia, tetap saja dia tak mau mengakui bahwa dirinya sendiri juga sudah mengkhianati wanita itu. Rasanya saat ini memandang wajah cantik yang selalu dipujanya itu membuatnya ingin muntah saja. Roda empatnya pun kini bergerak cepat meninggalkan rumah sakit. Semakin cepat pergi, semakin baik. Dia akan menjemput anak-anaknya, kemudian mertuanya. Setelah itu, dia akan mengajak dua anak itu pulang bersamanya. "Biar saja orangtuanya yang menjaganya," ucapnya dalam hati. Meski ada sedikit keraguan jika nanti Agnia tidak akan bisa menjaga omongannya di depan kedua orangtuanya, tapi Dewo tetap memilih untuk meninggalkannya. Toh, dia sudah mengancam wanita itu unt
Selama ini Dewo mengira Aqilla hanyalah anak polos yang tidak menyadari saat Ibunya pernah diperlakukannya dengan kasar. Dewo memang tahu, kalau Aqilla dan Naya telah beberapa kali melihat saat dirinya sedang berbuat kasar pada istrinya itu. Namun Dewo tidak terpikir kalau anak-anak seusia mereka sudah dikatakan cukup mengerti dengan hubungan buruknya dengan sang Istri. "Ka-Kamu pernah mukulin Agnia, Wo? Apa benar itu yang dibilang Aqilla?!" Suara Ibu mertuanya terdengar meninggi.Dewo bungkam di belakang kemudi. Dia benar-benar bingung harus menjawab apa.“Dewo! Kenapa kamu diam saja? Jawab ibu!" Ibunda Agnia terlihat mulai emosi, sementara sang suami di sampingnya terlihat bingung harus berbuat apa. Dewo diam bukan tanpa alasan, melainkan sedang berpikir keras mencari alasan untuk membela diri dan mengalihkan tuduhan Aqilla. Dia tentu tidak mau sampai orang tua Agnia mengetahui tabiat buruknya. "Ee …." Saat Dewo merasa sudah mendapatkan alasan yang tepat, sebuah senyuman terkem
"Pulang ... kerumah Ibu?" Dewo mengulang perkataan Ibu mertuanya, seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Pikiran buruk Dewo mulai muncul. Sekarang ia jadi yakin kalau Ibunya Agnia menyadari ada yang tidak beres dengan anaknya. Seharusnya memang Dewo tidak meremehkan insting seorang Ibu pada anaknya. "Iya Wo, biar Agnia nanti ibu dan bapak yang rawat dulu. Kamu juga nggak perlu mengantar. Kami bisa pesan taksi saja besok. Kamu jaga anak-anak saja dulu," ucap wanita baya itu. "Ehmm … tapi, Bu." Dewo terlihat bingung. Digaruknya kepalanya berkali-kali, tapi sepertinya ibu mertuanya tak begitu memperhatikan. Justru Agnia yang langsung paham dengan kegelisahan suaminya itu."Kamu nggak perlu khawatir, Mas. Paling aku cuma sebentar di rumah ibu. Kalau sudah membaik, aku akan langsung pulang," ujarnya dengan mata langsung menusuk manik mata sang suami. Ada rasa puas melihat Dewo gelisah dan takut seperti itu. Itu artinya, masih ada hal yang ditakuti oleh lelaki itu dalam hi