Rangga biasa balas pesan dengan "Ya" atau "Tidak". Masih mending bukan Y aja...
Sebelum Rangga mendatangi Asher dan Vina, dia memberi tahu istri Asher lebih dulu. Rangga sangat kasihan kepada Laura karena Asher mencoba menggoda istrinya yang cantik. Rangga sangat yakin jika Vina tak mungkin memulai. Asher pasti yang merayu Vina atau menggunakan tipu muslihat sehingga Vina diam-diam pergi tanpa berpamitan lebih dulu. Mustahil Vina akan berpaling darinya! [Nyonya Laura, suami Anda sedang di hotel bersama istri saya.] Kalimat Rangga yang selalu singkat dan ambigu tersebut membuat si penerima pesan langsung marah besar. Laura hampir saja membanting ponsel ketika membacanya. Pikiran Laura langsung tertuju pada aroma sabun asing yang kemarin dihirup dari tubuh sang suami. Semua yang pernah Asher lakukan untuknya tertutup oleh api cemburu dan prasangka. Apakah Asher telah melakukan perbuatan hina itu dengan Vina? Sejak kapan dan berapa kali mereka melakukannya? Apakah dirinya tak menarik lagi di mata Asher Smith? Laura perlu memastikan secara langsung! “Carlos!
Laura yang melihat Asher saat melirik Vina jadi semakin cemburu. “Kau tidak bisa menjawabnya?” Rangga juga penasaran menunggu salah satu dari Asher dan Vina menjawab. Akan tetapi, mereka berdua justru diam membisu. Asher pergi ke samping Laura. “Kita bicara berdua saja. Aku akan mengatakan padamu,” bujuk Asher. “Kenapa harus bicara berdua? Selagi ada orang-orang yang bersangkutan, jawab saja pertanyaanku!” Vina terpaksa memperlihatkan kejutan untuk sang suami demi mengakhiri kesalahpahaman mereka. “Rencana kejutanku gagal sudah,” gumamnya. Rangga yang peka melihat gerak bibir Vina pun langsung berpaling saat Laura mengambil rancangan cincin dan jam tangan yang dipesan Vina. Tak mau melihat istrinya kecewa karena sudah susah payah memberinya kejutan, Rangga memutuskan pergi dulu dari sana. “Aku akan ke toilet sebentar.” Rangga sengaja memberikan privasi untuk sang istri. Setelah Rangga pergi, Vina lantas menceritakan segalanya kepada Laura. “Cincin yang dipakai Nyonya Vina itu ha
Asher menahan gejolak amarah sekuat tenaga. Mendengar kata ‘lumayan’ dari mulut anak bau kencur itu membuat dirinya ingin meremas-remasnya seperti kertas, lalu memasukkan ke saku celana supaya jera, dan memohon ampun padanya. Namun, jika dia menunjukkan kemarahan kepada bocah seusia Rachel, dirinya akan dipermalukan oleh orang-orang di sekitarnya. Asher meredam amarah dengan meremas tangan dengan kepalan kuat di bawah meja. “Iya, Paman hanya lumayan tampan.” Sungguh Asher ingin meninju bibirnya karena mencemooh diri sendiri. “Jadi, seleramu yang seperti Dave, bukan? Kau pandai sekali menilai lelaki tampan,” balasnya. Bibir Rachel berkedut-kedut ingin mengutuk Asher. Dia ingin membuat ayahnya memarahi Asher. Sebab, Asher telah memprovokasi Rangga dengan menjodohkan dirinya dengan Dave. Tetapi, Asher dengan lihai membalas ucapannya. ‘Bocah tengik, kau pikir bisa mengalahkanku?’ batin Asher seraya melipat tangan di depan dada dengan gaya berwibawa. Asher bangga pada diri sendiri kare
“Sudah ... hentikan, Sayang! Aku bisa hamil lagi kalau kau melakukannya berlebihan.” Laura mendorong kepala Asher. Bibir Asher masih berusaha menggigit kecil leher Laura. Namun, Laura segera memutar badan dan memungut pakaiannya, lalu berlari menuju kamar mandi. Asher melesat dengan kencang menyusul Laura. “Kau suka kejar-kejaran dulu? Mau jadi seperti kucing, huh?” “Ahh!!” Laura memekik ketika tubuhnya melayang. Asher memeluk Laura dari belakang dan mengangkatnya tinggi. “Lepaskan aku! Aku tidak mau lagi! Badanku sudah lelah!” “Lelah dari mana!? Kau hanya terlentang dan aku sendiri yang bekerja sejak tadi! Sekarang, giliranmu memanjakanku!” titah Asher. “Ngh ... Sayang ... jangan dari belakang!” “Ough, Sayang! Kau benar-benar luar biasa nikmat!” seru Asher gemas. Dari kamar Claus dan Collin, Simon dan Hanna yang sedang menemani si kembar tidur jadi canggung dan salah tingkah. Simon berdeham berulang-ulang saat erangan dan seruan nakal Asher terdengar samar. “K-kau tidurlah, Ha
Laura meninggalkan kedua putranya bersama Asher dan Rachel sejenak. Dia menghampiri Hanna dan menyentuh bahunya. Namun, justru Simon yang tersentak kaget. “Ikut denganku sebentar, Hanna,” perintah Laura halus. ‘Kenapa Laura tiba-tiba mau bicara dengan Hanna? Apa dia mendengar percakapanku semalam dari CCTV?’ batin Simon. Asher tentu saja menaruh kamera pengawas di kamar putra-putranya supaya bisa mengawasi di mana pun dia berada. Selain itu, melihat si kembar dan Laura saat lelah bekerja membuat beban di pundaknya terasa ringan. Akan tetapi, Asher tak peduli dengan gelagat Simon semalam. Dia menganggap wajar interaksi antara Simon dan Hanna yang terlihat seperti biasa. Sayangnya, Simon tak berpikir demikian. Dia takut Laura menyadari gerak-gerik anehnya semalam. Simon tak mau Laura sampai menyangka dirinya akan mengkhianati Callista lagi. Dia jadi merasa sangat bersalah karena berpikir yang tidak-tidak kepada Hanna. ‘Ini semua gara-gara suara Asher!’ Simon hanya bisa memaki Ashe
“Sayang, sekarang masih siang!” pekik Laura. “Siapa yang bilang sekarang sudah malam?” balas Asher. Wajah Laura berpaling ke kanan dan kiri setiap kali Asher hendak menciumnya. “Semakin kau berkelit, semakin aku menginginkanmu,” ujar Asher dengan suara berat. Mudah sekali dia terpancing gairah saat menyentuh tubuh Laura. Namun, Laura tak menyerah. Dia tak mau hamil lagi dengan jarak hanya satu tahun. Dia pun masih ingat bagaimana sakitnya melahirkan bayi kembar, apalagi anak kedua mereka terlahir caesar, dan itu begitu menyakitkan setelah operasi. Laura baru teringat kata-kata dokter yang membantu persalinan. Dia kemudian sedikit mengubahnya, “Sayang! Aku tidak boleh hamil sekarang! Kau lupa kata-kata dokter dulu saat aku melahirkan? Aku perlu menjeda paling tidak dua tahun sebelum hamil lagi!” Asher langsung berhenti menyerang Laura. Dia mengingat-ingat kembali kata dokter tersebut. Sialnya, Asher sangat khawatir waktu itu sehingga tak mengingat apa pun. “Argh!” Asher menegakka
“Dan kau, Simon, menikahlah jika kau kesepian. Callista tidak akan bisa kembali menemuimu lagi,” tutur Joanna tanpa ekspresi. Laura dan Asher terkejut hingga menatap Joanna bersamaan. Namun, Simon-lah yang paling kaget di antara mereka semua. ‘Jadi, Mama Joanna mendengarkan sejak awal ...,’ batin Simon malu setengah mati. “Tetapi, jangan memilih istri seperti perempuan jahat itu,” sambung Joanna. “Oma, kenapa tiba-tiba menyuruh Papa menikah lagi?” Laura berpaling ke arah Simon. “Papa kesepian? Bukankah setiap hari Papa sibuk bermain dengan Claus dan Collin?” Laura tak tahu keresahan Simon. Joanna juga belum menceritakan kepada siapa pun. Simon lantas menjawab dengan cepat, sebelum Joanna mempermalukannya, “Tidak, Mama. Aku akan menanti waktuku berakhir dan berkumpul bersama Callista. Dosaku kepada Callista sudah terlalu banyak dan aku tidak mau menambah dosa lainnya lagi.” Joanna berdecak sambil mengerling sinis. “Dosamu akan bertambah jika kau tidak bisa menjaga pandangan dan p
Kabar duka datang dari Keluarga Cakrawala. Bibi pebisnis kecil saingan Asher tersebut meninggal dunia setelah lama berperang melawan kanker. Asher dan Laura mengenakan setelan serba hitam dan bersiap melayat di kediaman Cakrawala. Dia menitipkan Claus dan Collin kepada Joanna dan kedua pelayan setia. “Sampaikan belasungkawa Oma kepada Rangga. Dia dulu beberapa kali mampir di rumah Oma, dan berhubungan baik dengan Jake. Mendiang kakeknya juga rekan bisnis kakekmu, Lau,” kata Joanna. “Baik, Oma. Maaf merepotkan Oma dengan menjaga Claus dan Collin. Kami hanya sebentar karena mendiang adik Nyonya Vina akan dibawa pulang ke negaranya,” balas Laura. Joanna mengangguk. “Hati-hati.” Simon pun ikut melayat bersama Laura dan Asher. Sampai di kediaman Cakrawala, mereka bergabung dengan Jake, Theo, dan orang tua Asher. Emma dan Carla sengaja tak diajak para suami karena sedang mengandung. Keluarga Asher tersebut mengucap belasungkawa kepada keluarga mendiang. Laura mendekat kepada Vina yang
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang