Sekali selingkuh, kebaikan mereka akan menghilang? 🫥
“Nyonya,” panggil Hanna. Laura terbangun dari lamunan. Apakah pikirannya terlalu berlebihan? Setiap kali Asher bersikap mencurigakan, Laura tak bisa mengenyahkan rasa cemburu dan curiga. Biarpun dia tahu jika Asher tak mungkin berselingkuh dengan Rachel, tetapi hati Laura tak bisa tenang. “Hanna, apa aku terlalu posesif? Seperti katamu ... pria dan wanita yang tidak ada hubungan darah, tetapi mereka sangat akrab. Bisa jadi ....” Laura menggantung ucapannya. Hanna tahu maksud Laura bicara seperti itu. Meski baru satu hari pulang di kediaman Asher, Hanna telah mendengar dari para pelayan tentang Rachel. Bahkan, Asher menyiapkan kamar besar untuk gadis itu. “Asher juga tidak punya kerja sama apa pun dengan Tuan Rangga. Dia bahkan menganggap Rachel sebagai saingan pada mulanya. Aku tidak tahu kenapa Asher tiba-tiba ingin mengasuh Rachel. Atau mungkin ....” Laura sekali lagi tak melanjutkan kata-katanya. “Saya belum benar-benar mengenal Nona Rachel, tetapi dia masih SMA, Nyonya. Menur
Asher membuang napas kasar. Dia selalu bisa membaca jalan pikiran Laura. Oleh karena itu, dia menceritakan kegiatannya bersama Rachel tanpa ditutup-tutupi. Yang membuat Asher kesal hanya satu hal. Kecemburuan Laura terlalu berlebihan kali ini. “Aku tidak bermaksud membandingkanmu dengan Rachel. Kau seharusnya lebih mengerti karena lebih dewasa dari Rachel. Jangan bersikap seperti anak kecil ....” Laura melemparkan tubuhnya ke samping. Kemudian memutar badan memunggungi Asher. Asher memijat pelipisnya yang berdenyut-denyut. Biasanya, dia akan merayu Laura yang sedang marah atau cemburu. Namun, kali ini Asher tak melakukannya. Laura justru semakin marah karena Asher telah berubah semenjak kedatangan Rachel. Dugaan-dugaan yang tadinya selalu disanggah, kini menjadi lebih kuat bersarang di benaknya. Dia mendengar Asher menghela napas berulang-ulang, tetapi tak kunjung mendekati dirinya. Karena Asher tetap diam, Laura beranjak dari kasur, lalu memutuskan akan pindah tidur ke kamar Cla
Asher menatap tajam pria itu. “Siapa kau? Beraninya ikut campur urusan orang!” Pria itu tersenyum miring selagi berdiri dengan percaya diri. “Hanya pria lewat yang memberi saran kepada pria lain yang gelisah sampai mencurahkan hati di tempat umum.” Asher hendak membalas perkataan pria itu. Namun, pria itu lebih dulu berbalik pergi sambil melambaikan tangan sekali tanpa menoleh lagi ke belakang. “Siapa orang kurang ajar itu!?” geram Asher. “Saya belum pernah melihatnya. Tetapi, jika dia bisa masuk ke tempat ini, pasti dia bukan orang biasa.” Asher menyeringai dengan aura menyeramkan. “Bukan orang biasa, huh?” Pria itu membuat suasana hati Asher menjadi semakin buruk. Dia mengajak Theo pulang setelah menghabiskan waktu berendam selama satu jam. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Asher teralihkan oleh kata-kata pria itu. Dia menggerutu tiada henti karena diberi saran yang membuatnya semakin kesal. Sampai di rumah, bukan mendapat sambutan hangat, Laura lagi-lagi menatap sinis dir
‘Tidak bisakah kau menuruti keinginanku satu kali ini saja?’ Satu kalimat sederhana yang diucapkan dengan suara halus, tetapi sangat menyakitkan bagi Asher. Jadi, selama ini Laura tak pernah melihat atau menghargai usahanya .... “Baik,” balas Asher datar. “Maaf karena aku menghabiskan waktu dengan gadis yang sudah aku anggap sebagai anak perempuanku. Juga karena aku hanya ingin jujur dan memberi tahu kegiatanku bersama Rachel. Aku akan mengatakan kepada Dave dan Rachel supaya tidak perlu belajar lagi di rumah kita.” Asher tak menunjukkan lagi emosinya. Dia tahu jika Laura menunggu kata maaf darinya. Dan karena semua yang dia lakukan dan berikan kepada Laura selama ini tak pernah dianggap, maka dia akan mengabulkan permintaan Laura ‘sekali’ saja. “Kau tidak terdengar menyesal sama sekali. Dan kenapa Dave tidak boleh datang ke rumah? Aku hanya membicarakan Rachel!” “Ya, hanya Rachel yang tidak boleh datang.” Dua pramusaji yang datang mengantarkan hidangan menyela percakapan mereka.
“Nyonya, di mana Tuan Asher?” Carlos celingukan ke sana-kemari mencari keberadaan tuannya. “Kau antar aku pulang dulu. Asher sedang bersenang-senang bersama Rachel di hotel.” Laura membanting pintu mobil hingga membuat Carlos terlonjak kaget. Melihat dari mata sembab Laura, Carlos tahu jika Laura baru saja menangis. Dia tak banyak berkomentar dan segera masuk ke mobil untuk mengantar Laura pulang. Sampai di rumah, Joanna dan Simon sedang duduk di ruang tamu. Simon tampak panik menjelaskan sesuatu kepada Joanna. Laura pun langsung melewati mereka tanpa menyapa lebih dulu. “Laura!” seru Simon. Laura menghentikan langkahnya. “Di mana Asher? Kenapa kau tidak menyapa Oma Joanna lebih dulu?” tegur Simon. “Asher sedang bersenang-senang dengan Rachel di hotel.” Laura berbalik dan melanjutkan langkahnya. Sesaat kemudian, Carlos datang dengan wajah cemas. “Tuan Simon, Tuan Asher sedang berkelahi dengan orang di hotel.” Laura masih mendengar mereka bicara. Dia tersenyum miris oleh tindak
Asher tak menunggu Rachel sampai siuman karena akan memakan waktu berjam-jam. Meski masih marah karena ketidakpedulian Laura, Asher selama ini tak pernah pulang larut malam. Dia juga ingin bicara baik-baik dengan Laura sekali lagi. Alhasil, dia menyerahkan masalah Rachel kepada Theo. “Mereka sedang ada masalah apa?” tanya Emma selepas Asher dan Simon pergi. “Tuan Asher dan Laura? Atau Nona Rachel? Bicaramu selalu tidak jelas!” Theo mencubit gemas pipi Emma. “Asher dan Laura! Bukankah kau sudah cerita tentang Rachel,” gerutu Emma. “Kau teman Laura. Kenapa kau tidak tahu? Sahabatmu itu cemburu kepada Tuan Asher karena Rachel. Tuan Asher awalnya berniat menjadikan Rachel menjadi anak asuhnya, tetapi Laura mengira mereka berselingkuh?” Theo tak begitu yakin dan malah balik bertanya. “Ah ... pantas saja wajah Asher kelihatan kusut. Tapi, kenapa bisa Laura cemburu terhadap Rachel? Kau juga anak asuh Asher, bukan? Bukankah dia mendirikan yayasan untuk menampung anak-anak muda berbakat y
Kali ini, Laura menurut dan duduk berhadapan dengan Simon. “Aku tidak mau mendengar nasihatmu.” “Kau tidak belajar dari kesalahan Papa? Apa kau ingin nasibmu jadi seperti Papa? Kehilangan Callista karena sifat burukku, iya!?” “Jangan bawa-bawa Mama!” Laura menatap nyalang sang ayah. Simon menghela napas supaya beban di dadanya terasa ringan meskipun tak berhasil. Setiap kali mengingat kesalahannya, hatinya terasa pilu, tetapi dia perlu menyadarkan Laura jika tindakannya sekarang sangat mirip dengannya. “Asher Smith bukan Callista, Laura. Papa tidak yakin Asher memiliki kesabaran seperti mamamu, terlebih lagi dia seorang pria.” Simon merendahkan nada suaranya. Laura mendesah malas. Tak mau mendengar nasihat dari pria yang pernah melakukan kesalahan yang lebih besar dari Asher. “Kau boleh membenciku karena kesalahanku di masa lalu. Tapi, apa kau juga mau Asher lama-lama membencimu karena rasa cemburumu yang tidak sehat itu?” Laura sontak tersinggung. “Tidak sehat? Papa menganggapk
Selagi Laura masih ada di rumah Emma, Simon memberanikan diri bicara dengan Asher. Dia sudah beberapa menit berdiri di depan ruang kerja Asher meyakinkan diri sendiri. ‘Kau pasti bisa!’ Simon memutar cincin di jari manisnya. ‘Callista, beri aku kekuatan menghadapi menantu kita ....’ Laura tak sepenuhnya salah. Di samping tak suka melihat Laura emosi di depan kedua cucu kembarnya, Simon juga ragu memulai pembicaraan dengan Asher tentang masalah serius, dan mungkin akan menyinggung sang menantu. “Aku harusnya bicara saja malam itu, waktu tidak sengaja bertemu dengan Asher di halaman belakang,” keluh Simon lirih. ‘Tidak! Demi kebahagiaan Laura, aku harus bicara dengan Asher!’ Simon menepuk-nepuk dada kirinya penuh semangat, lalu mencium cincinnya. Dia menarik napas selagi memutar pintu ruang kerja Asher. “Menantuku ... kau ada di sini? Apa yang sedang kau lakukan?” sapa Simon dengan suara mendayu-dayu dan bibir melengkung membentuk senyuman. Simon terkesiap mendapati seorang wanita