🌟🤓🌟 Ada satu tokoh kesayangan V yg selalu gagal mendapatkan cinta. Namanya Billy Volker. Mau menikah seratus kali pun, V akan membuat Billy jadi lajang lagi.
Asher tak menunggu Rachel sampai siuman karena akan memakan waktu berjam-jam. Meski masih marah karena ketidakpedulian Laura, Asher selama ini tak pernah pulang larut malam. Dia juga ingin bicara baik-baik dengan Laura sekali lagi. Alhasil, dia menyerahkan masalah Rachel kepada Theo. “Mereka sedang ada masalah apa?” tanya Emma selepas Asher dan Simon pergi. “Tuan Asher dan Laura? Atau Nona Rachel? Bicaramu selalu tidak jelas!” Theo mencubit gemas pipi Emma. “Asher dan Laura! Bukankah kau sudah cerita tentang Rachel,” gerutu Emma. “Kau teman Laura. Kenapa kau tidak tahu? Sahabatmu itu cemburu kepada Tuan Asher karena Rachel. Tuan Asher awalnya berniat menjadikan Rachel menjadi anak asuhnya, tetapi Laura mengira mereka berselingkuh?” Theo tak begitu yakin dan malah balik bertanya. “Ah ... pantas saja wajah Asher kelihatan kusut. Tapi, kenapa bisa Laura cemburu terhadap Rachel? Kau juga anak asuh Asher, bukan? Bukankah dia mendirikan yayasan untuk menampung anak-anak muda berbakat y
Kali ini, Laura menurut dan duduk berhadapan dengan Simon. “Aku tidak mau mendengar nasihatmu.” “Kau tidak belajar dari kesalahan Papa? Apa kau ingin nasibmu jadi seperti Papa? Kehilangan Callista karena sifat burukku, iya!?” “Jangan bawa-bawa Mama!” Laura menatap nyalang sang ayah. Simon menghela napas supaya beban di dadanya terasa ringan meskipun tak berhasil. Setiap kali mengingat kesalahannya, hatinya terasa pilu, tetapi dia perlu menyadarkan Laura jika tindakannya sekarang sangat mirip dengannya. “Asher Smith bukan Callista, Laura. Papa tidak yakin Asher memiliki kesabaran seperti mamamu, terlebih lagi dia seorang pria.” Simon merendahkan nada suaranya. Laura mendesah malas. Tak mau mendengar nasihat dari pria yang pernah melakukan kesalahan yang lebih besar dari Asher. “Kau boleh membenciku karena kesalahanku di masa lalu. Tapi, apa kau juga mau Asher lama-lama membencimu karena rasa cemburumu yang tidak sehat itu?” Laura sontak tersinggung. “Tidak sehat? Papa menganggapk
Selagi Laura masih ada di rumah Emma, Simon memberanikan diri bicara dengan Asher. Dia sudah beberapa menit berdiri di depan ruang kerja Asher meyakinkan diri sendiri. ‘Kau pasti bisa!’ Simon memutar cincin di jari manisnya. ‘Callista, beri aku kekuatan menghadapi menantu kita ....’ Laura tak sepenuhnya salah. Di samping tak suka melihat Laura emosi di depan kedua cucu kembarnya, Simon juga ragu memulai pembicaraan dengan Asher tentang masalah serius, dan mungkin akan menyinggung sang menantu. “Aku harusnya bicara saja malam itu, waktu tidak sengaja bertemu dengan Asher di halaman belakang,” keluh Simon lirih. ‘Tidak! Demi kebahagiaan Laura, aku harus bicara dengan Asher!’ Simon menepuk-nepuk dada kirinya penuh semangat, lalu mencium cincinnya. Dia menarik napas selagi memutar pintu ruang kerja Asher. “Menantuku ... kau ada di sini? Apa yang sedang kau lakukan?” sapa Simon dengan suara mendayu-dayu dan bibir melengkung membentuk senyuman. Simon terkesiap mendapati seorang wanita
Theo terlambat. Rachel sudah berdiri di depan Laura. Dia menatap sang istri dan memberi isyarat supaya menjauhkan Rachel dari Laura. Namun, Emma hanya mengendikkan bahu. Theo memelototi Emma karena mengira tak tahu maksud dari gerakan kecilnya. ‘Bawa Rachel masuk sekarang!’ maksud Theo. Emma membalas dengan anggukan kecil. ‘Iya, aku juga mencintaimu.’ Mereka gagal berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Emma justru berjalan kembali ke rumah, membiarkan Laura dan Rachel bicara berdua. Di sisi lain, Laura masih terkejut melihat Rachel tiba-tiba memanggilnya. Apakah Rachel ingin menentang keputusan Asher yang tak akan lagi menemuinya? “Rachel, apa kau marah padaku karena aku meminta Asher untuk menjauhiku?” Sudah terlanjur bertemu, Laura ingin menegaskan jika Asher dan Rachel tak perlu berhubungan lagi. Biarpun Rachel sedang tertimpa musibah, dia memiliki keluarga hebat yang mampu melindunginya. Tak perlu Asher yang melakukannya. Di lain sisi, Rachel belum mendengar apa pun dari Ashe
‘Tuan, bisakah Anda pulang sekarang? Nyonya Laura tidak bisa dihubungi sejak tadi. Tuan Muda Collin menangis keras dan tidak mau ditenangkan. Saya sudah memberi susu, mengganti popok, mengajak jalan-jalan, serta ada beberapa pelayan yang membantu pun, Tuan Muda tetap tidak mau berhenti menangis.’ ‘Di mana mamanya?’ ‘Nyonya Laura ke kantor bersama Tuan Simon sejak pagi.’ Percakapan dengan Hanna melalui telepon beberapa menit lalu masih terngiang di kepala Asher. Dia baru melihat pesan singkat dari Laura saat dalam perjalanan pulang. Seperti kata Hanna, Laura tak menjawab teleponnya. Simon pun sama saja. Asisten mereka mengatakan jika Simon sedang menemui klien, sedangkan Laura bertemu dengan model baru perusahaan untuk memberikan kontrak kerja sama. Asher tak punya waktu menjemput Laura dan menyuruh Carlos agar bergegas mengantar sampai rumah. Di sana, Hanna telah menanti bersama pelayan lain selagi menggendong Collin. “Tuan ….” Hanna segera menghampiri Asher. Asher mencuci tanga
Laura menghela napas panjang. “Kau mengatakan itu supaya aku menyesal dan minta maaf kepada tuanmu itu, bukan? Kau sama saja, Theo. Membela Asher tanpa tahu duduk perkaranya.” “Tidak. Aku mengatakan apa adanya. Tuan Asher memang ingin mengajakmu liburan. Dia selalu membicarakanmu dan merencanakan banyak hal untuk membahagiakanmu. Bahkan, Tuan Asher sampai ingin melakukan operasi plastik agar kau tidak bosan dengannya.” “Tuan Asher juga pernah menanyakan padaku cara membe-” Theo pun hampir mengungkap rahasia lelaki yang tak patut diketahui para istri. Theo menelan ludah susah payah. Dia tak seharusnya mengatakan masalah operasi plastik. Asher bisa membunuhnya! Asher tak pernah membicarakan langsung masalah itu. Namun, Theo tahu dari komputer yang digunakan Asher untuk mencari tahu tentang prosedur operasi plastik. Bahkan, Asher sempat konsultasi dengan dokter secara daring. Dan itu menggunakan namanya! Karena itu, Theo perlu menyelidikinya. Bukan karena dia masih ingin mengintip k
“Apa kau kucing?” Pertanyaan Asher Smith mengguncang kesadaran Theo yang saat ini sedang memindahkan data di komputer Asher. “Kucing? Apa maksud Anda?” Asher menyeringai dengan tampang bengis. “Kau sepertinya punya sembilan nyawa.” Theo bergidik ngeri. Wajah itu biasanya hanya ditunjukkan kepada para musuh Asher Smith yang membuatnya murka. Namun, kenapa Asher menatapnya seperti itu? “A-Ada masalah apa, Tuan?” tanya Theo gugup, tetapi ekspresinya masih datar seolah tak ada yang terjadi. Asher berputar mengelilingi meja kerja, lalu berhenti di belakang tempat duduk Theo. Tangannya mendarat keras di punggung kursi. Terdengar seperti pukulan. Theo sedikit terlonjak. Dia akan berdiri, namun tangan Asher menekan kedua bahunya dari belakang. “Kau mengotak-atik komputerku di kantor? Atau ... kau masih mengintaiku?” Suara rendah Asher berhasil membuat Theo gemetar. “T-tidak, T-Tuan .... Saya ... bersumpah ....” Asher menyeret kursi yang terletak tak jauh dari meja kerja hingga membuat
Asher terlonjak kaget. Dia mengusap kasar telinga kanannya. Begitu pula dengan Laura dan Hanna. Mereka berdua seakan baru saja ketahuan berbuat sesuatu yang buruk. Dua pria yang sedang bicara dengan Laura dan Hanna mengangguk sopan kepada Asher dan Simon yang berjalan mendekat. “Papa, biarkan saja. Laura bisa mengamuk lagi.” Asher menggertakkan gigi agar tak membentak Simon. Gendang telinganya hampir pecah karena suara keras Simon memanggil Laura. Asher seharusnya yang marah karena melihat Laura tampak bersenang-senang dengan pria lain. Akan tetapi, dia tak mau menunjukkan kecemburuan berlebihan, karena dia juga merasakan betapa tak nyaman dan menyebalkan dicemburui atau tak dipercaya. “Keterlaluan mereka! Pagi-pagi sudah menggoda pria-pria muda! Kau harus menegur mereka, Ash!” geram Simon. Namun, kenapa justru Simon yang marah besar? Laura tak melakukan apa pun dengan kedua pria itu. Tak ada salahnya mengobrol dengan orang, bukan? Apalagi, Asher mengenal dua pria itu. Kevin dan