Untungnya pelampiasan Laura nggak seperti Simon ... atau belum? 🫥
‘Tidak bisakah kau menuruti keinginanku satu kali ini saja?’ Satu kalimat sederhana yang diucapkan dengan suara halus, tetapi sangat menyakitkan bagi Asher. Jadi, selama ini Laura tak pernah melihat atau menghargai usahanya .... “Baik,” balas Asher datar. “Maaf karena aku menghabiskan waktu dengan gadis yang sudah aku anggap sebagai anak perempuanku. Juga karena aku hanya ingin jujur dan memberi tahu kegiatanku bersama Rachel. Aku akan mengatakan kepada Dave dan Rachel supaya tidak perlu belajar lagi di rumah kita.” Asher tak menunjukkan lagi emosinya. Dia tahu jika Laura menunggu kata maaf darinya. Dan karena semua yang dia lakukan dan berikan kepada Laura selama ini tak pernah dianggap, maka dia akan mengabulkan permintaan Laura ‘sekali’ saja. “Kau tidak terdengar menyesal sama sekali. Dan kenapa Dave tidak boleh datang ke rumah? Aku hanya membicarakan Rachel!” “Ya, hanya Rachel yang tidak boleh datang.” Dua pramusaji yang datang mengantarkan hidangan menyela percakapan mereka.
“Nyonya, di mana Tuan Asher?” Carlos celingukan ke sana-kemari mencari keberadaan tuannya. “Kau antar aku pulang dulu. Asher sedang bersenang-senang bersama Rachel di hotel.” Laura membanting pintu mobil hingga membuat Carlos terlonjak kaget. Melihat dari mata sembab Laura, Carlos tahu jika Laura baru saja menangis. Dia tak banyak berkomentar dan segera masuk ke mobil untuk mengantar Laura pulang. Sampai di rumah, Joanna dan Simon sedang duduk di ruang tamu. Simon tampak panik menjelaskan sesuatu kepada Joanna. Laura pun langsung melewati mereka tanpa menyapa lebih dulu. “Laura!” seru Simon. Laura menghentikan langkahnya. “Di mana Asher? Kenapa kau tidak menyapa Oma Joanna lebih dulu?” tegur Simon. “Asher sedang bersenang-senang dengan Rachel di hotel.” Laura berbalik dan melanjutkan langkahnya. Sesaat kemudian, Carlos datang dengan wajah cemas. “Tuan Simon, Tuan Asher sedang berkelahi dengan orang di hotel.” Laura masih mendengar mereka bicara. Dia tersenyum miris oleh tindak
Asher tak menunggu Rachel sampai siuman karena akan memakan waktu berjam-jam. Meski masih marah karena ketidakpedulian Laura, Asher selama ini tak pernah pulang larut malam. Dia juga ingin bicara baik-baik dengan Laura sekali lagi. Alhasil, dia menyerahkan masalah Rachel kepada Theo. “Mereka sedang ada masalah apa?” tanya Emma selepas Asher dan Simon pergi. “Tuan Asher dan Laura? Atau Nona Rachel? Bicaramu selalu tidak jelas!” Theo mencubit gemas pipi Emma. “Asher dan Laura! Bukankah kau sudah cerita tentang Rachel,” gerutu Emma. “Kau teman Laura. Kenapa kau tidak tahu? Sahabatmu itu cemburu kepada Tuan Asher karena Rachel. Tuan Asher awalnya berniat menjadikan Rachel menjadi anak asuhnya, tetapi Laura mengira mereka berselingkuh?” Theo tak begitu yakin dan malah balik bertanya. “Ah ... pantas saja wajah Asher kelihatan kusut. Tapi, kenapa bisa Laura cemburu terhadap Rachel? Kau juga anak asuh Asher, bukan? Bukankah dia mendirikan yayasan untuk menampung anak-anak muda berbakat y
Kali ini, Laura menurut dan duduk berhadapan dengan Simon. “Aku tidak mau mendengar nasihatmu.” “Kau tidak belajar dari kesalahan Papa? Apa kau ingin nasibmu jadi seperti Papa? Kehilangan Callista karena sifat burukku, iya!?” “Jangan bawa-bawa Mama!” Laura menatap nyalang sang ayah. Simon menghela napas supaya beban di dadanya terasa ringan meskipun tak berhasil. Setiap kali mengingat kesalahannya, hatinya terasa pilu, tetapi dia perlu menyadarkan Laura jika tindakannya sekarang sangat mirip dengannya. “Asher Smith bukan Callista, Laura. Papa tidak yakin Asher memiliki kesabaran seperti mamamu, terlebih lagi dia seorang pria.” Simon merendahkan nada suaranya. Laura mendesah malas. Tak mau mendengar nasihat dari pria yang pernah melakukan kesalahan yang lebih besar dari Asher. “Kau boleh membenciku karena kesalahanku di masa lalu. Tapi, apa kau juga mau Asher lama-lama membencimu karena rasa cemburumu yang tidak sehat itu?” Laura sontak tersinggung. “Tidak sehat? Papa menganggapk
Selagi Laura masih ada di rumah Emma, Simon memberanikan diri bicara dengan Asher. Dia sudah beberapa menit berdiri di depan ruang kerja Asher meyakinkan diri sendiri. ‘Kau pasti bisa!’ Simon memutar cincin di jari manisnya. ‘Callista, beri aku kekuatan menghadapi menantu kita ....’ Laura tak sepenuhnya salah. Di samping tak suka melihat Laura emosi di depan kedua cucu kembarnya, Simon juga ragu memulai pembicaraan dengan Asher tentang masalah serius, dan mungkin akan menyinggung sang menantu. “Aku harusnya bicara saja malam itu, waktu tidak sengaja bertemu dengan Asher di halaman belakang,” keluh Simon lirih. ‘Tidak! Demi kebahagiaan Laura, aku harus bicara dengan Asher!’ Simon menepuk-nepuk dada kirinya penuh semangat, lalu mencium cincinnya. Dia menarik napas selagi memutar pintu ruang kerja Asher. “Menantuku ... kau ada di sini? Apa yang sedang kau lakukan?” sapa Simon dengan suara mendayu-dayu dan bibir melengkung membentuk senyuman. Simon terkesiap mendapati seorang wanita
Theo terlambat. Rachel sudah berdiri di depan Laura. Dia menatap sang istri dan memberi isyarat supaya menjauhkan Rachel dari Laura. Namun, Emma hanya mengendikkan bahu. Theo memelototi Emma karena mengira tak tahu maksud dari gerakan kecilnya. ‘Bawa Rachel masuk sekarang!’ maksud Theo. Emma membalas dengan anggukan kecil. ‘Iya, aku juga mencintaimu.’ Mereka gagal berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Emma justru berjalan kembali ke rumah, membiarkan Laura dan Rachel bicara berdua. Di sisi lain, Laura masih terkejut melihat Rachel tiba-tiba memanggilnya. Apakah Rachel ingin menentang keputusan Asher yang tak akan lagi menemuinya? “Rachel, apa kau marah padaku karena aku meminta Asher untuk menjauhiku?” Sudah terlanjur bertemu, Laura ingin menegaskan jika Asher dan Rachel tak perlu berhubungan lagi. Biarpun Rachel sedang tertimpa musibah, dia memiliki keluarga hebat yang mampu melindunginya. Tak perlu Asher yang melakukannya. Di lain sisi, Rachel belum mendengar apa pun dari Ashe
‘Tuan, bisakah Anda pulang sekarang? Nyonya Laura tidak bisa dihubungi sejak tadi. Tuan Muda Collin menangis keras dan tidak mau ditenangkan. Saya sudah memberi susu, mengganti popok, mengajak jalan-jalan, serta ada beberapa pelayan yang membantu pun, Tuan Muda tetap tidak mau berhenti menangis.’ ‘Di mana mamanya?’ ‘Nyonya Laura ke kantor bersama Tuan Simon sejak pagi.’ Percakapan dengan Hanna melalui telepon beberapa menit lalu masih terngiang di kepala Asher. Dia baru melihat pesan singkat dari Laura saat dalam perjalanan pulang. Seperti kata Hanna, Laura tak menjawab teleponnya. Simon pun sama saja. Asisten mereka mengatakan jika Simon sedang menemui klien, sedangkan Laura bertemu dengan model baru perusahaan untuk memberikan kontrak kerja sama. Asher tak punya waktu menjemput Laura dan menyuruh Carlos agar bergegas mengantar sampai rumah. Di sana, Hanna telah menanti bersama pelayan lain selagi menggendong Collin. “Tuan ….” Hanna segera menghampiri Asher. Asher mencuci tanga
Laura menghela napas panjang. “Kau mengatakan itu supaya aku menyesal dan minta maaf kepada tuanmu itu, bukan? Kau sama saja, Theo. Membela Asher tanpa tahu duduk perkaranya.” “Tidak. Aku mengatakan apa adanya. Tuan Asher memang ingin mengajakmu liburan. Dia selalu membicarakanmu dan merencanakan banyak hal untuk membahagiakanmu. Bahkan, Tuan Asher sampai ingin melakukan operasi plastik agar kau tidak bosan dengannya.” “Tuan Asher juga pernah menanyakan padaku cara membe-” Theo pun hampir mengungkap rahasia lelaki yang tak patut diketahui para istri. Theo menelan ludah susah payah. Dia tak seharusnya mengatakan masalah operasi plastik. Asher bisa membunuhnya! Asher tak pernah membicarakan langsung masalah itu. Namun, Theo tahu dari komputer yang digunakan Asher untuk mencari tahu tentang prosedur operasi plastik. Bahkan, Asher sempat konsultasi dengan dokter secara daring. Dan itu menggunakan namanya! Karena itu, Theo perlu menyelidikinya. Bukan karena dia masih ingin mengintip k