Dikit-dikit dicemburui memang nggak nyaman ...
Asher membuang napas kasar. Dia selalu bisa membaca jalan pikiran Laura. Oleh karena itu, dia menceritakan kegiatannya bersama Rachel tanpa ditutup-tutupi. Yang membuat Asher kesal hanya satu hal. Kecemburuan Laura terlalu berlebihan kali ini. “Aku tidak bermaksud membandingkanmu dengan Rachel. Kau seharusnya lebih mengerti karena lebih dewasa dari Rachel. Jangan bersikap seperti anak kecil ....” Laura melemparkan tubuhnya ke samping. Kemudian memutar badan memunggungi Asher. Asher memijat pelipisnya yang berdenyut-denyut. Biasanya, dia akan merayu Laura yang sedang marah atau cemburu. Namun, kali ini Asher tak melakukannya. Laura justru semakin marah karena Asher telah berubah semenjak kedatangan Rachel. Dugaan-dugaan yang tadinya selalu disanggah, kini menjadi lebih kuat bersarang di benaknya. Dia mendengar Asher menghela napas berulang-ulang, tetapi tak kunjung mendekati dirinya. Karena Asher tetap diam, Laura beranjak dari kasur, lalu memutuskan akan pindah tidur ke kamar Cla
Asher menatap tajam pria itu. “Siapa kau? Beraninya ikut campur urusan orang!” Pria itu tersenyum miring selagi berdiri dengan percaya diri. “Hanya pria lewat yang memberi saran kepada pria lain yang gelisah sampai mencurahkan hati di tempat umum.” Asher hendak membalas perkataan pria itu. Namun, pria itu lebih dulu berbalik pergi sambil melambaikan tangan sekali tanpa menoleh lagi ke belakang. “Siapa orang kurang ajar itu!?” geram Asher. “Saya belum pernah melihatnya. Tetapi, jika dia bisa masuk ke tempat ini, pasti dia bukan orang biasa.” Asher menyeringai dengan aura menyeramkan. “Bukan orang biasa, huh?” Pria itu membuat suasana hati Asher menjadi semakin buruk. Dia mengajak Theo pulang setelah menghabiskan waktu berendam selama satu jam. Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Asher teralihkan oleh kata-kata pria itu. Dia menggerutu tiada henti karena diberi saran yang membuatnya semakin kesal. Sampai di rumah, bukan mendapat sambutan hangat, Laura lagi-lagi menatap sinis dir
‘Tidak bisakah kau menuruti keinginanku satu kali ini saja?’ Satu kalimat sederhana yang diucapkan dengan suara halus, tetapi sangat menyakitkan bagi Asher. Jadi, selama ini Laura tak pernah melihat atau menghargai usahanya .... “Baik,” balas Asher datar. “Maaf karena aku menghabiskan waktu dengan gadis yang sudah aku anggap sebagai anak perempuanku. Juga karena aku hanya ingin jujur dan memberi tahu kegiatanku bersama Rachel. Aku akan mengatakan kepada Dave dan Rachel supaya tidak perlu belajar lagi di rumah kita.” Asher tak menunjukkan lagi emosinya. Dia tahu jika Laura menunggu kata maaf darinya. Dan karena semua yang dia lakukan dan berikan kepada Laura selama ini tak pernah dianggap, maka dia akan mengabulkan permintaan Laura ‘sekali’ saja. “Kau tidak terdengar menyesal sama sekali. Dan kenapa Dave tidak boleh datang ke rumah? Aku hanya membicarakan Rachel!” “Ya, hanya Rachel yang tidak boleh datang.” Dua pramusaji yang datang mengantarkan hidangan menyela percakapan mereka.
“Nyonya, di mana Tuan Asher?” Carlos celingukan ke sana-kemari mencari keberadaan tuannya. “Kau antar aku pulang dulu. Asher sedang bersenang-senang bersama Rachel di hotel.” Laura membanting pintu mobil hingga membuat Carlos terlonjak kaget. Melihat dari mata sembab Laura, Carlos tahu jika Laura baru saja menangis. Dia tak banyak berkomentar dan segera masuk ke mobil untuk mengantar Laura pulang. Sampai di rumah, Joanna dan Simon sedang duduk di ruang tamu. Simon tampak panik menjelaskan sesuatu kepada Joanna. Laura pun langsung melewati mereka tanpa menyapa lebih dulu. “Laura!” seru Simon. Laura menghentikan langkahnya. “Di mana Asher? Kenapa kau tidak menyapa Oma Joanna lebih dulu?” tegur Simon. “Asher sedang bersenang-senang dengan Rachel di hotel.” Laura berbalik dan melanjutkan langkahnya. Sesaat kemudian, Carlos datang dengan wajah cemas. “Tuan Simon, Tuan Asher sedang berkelahi dengan orang di hotel.” Laura masih mendengar mereka bicara. Dia tersenyum miris oleh tindak
Asher tak menunggu Rachel sampai siuman karena akan memakan waktu berjam-jam. Meski masih marah karena ketidakpedulian Laura, Asher selama ini tak pernah pulang larut malam. Dia juga ingin bicara baik-baik dengan Laura sekali lagi. Alhasil, dia menyerahkan masalah Rachel kepada Theo. “Mereka sedang ada masalah apa?” tanya Emma selepas Asher dan Simon pergi. “Tuan Asher dan Laura? Atau Nona Rachel? Bicaramu selalu tidak jelas!” Theo mencubit gemas pipi Emma. “Asher dan Laura! Bukankah kau sudah cerita tentang Rachel,” gerutu Emma. “Kau teman Laura. Kenapa kau tidak tahu? Sahabatmu itu cemburu kepada Tuan Asher karena Rachel. Tuan Asher awalnya berniat menjadikan Rachel menjadi anak asuhnya, tetapi Laura mengira mereka berselingkuh?” Theo tak begitu yakin dan malah balik bertanya. “Ah ... pantas saja wajah Asher kelihatan kusut. Tapi, kenapa bisa Laura cemburu terhadap Rachel? Kau juga anak asuh Asher, bukan? Bukankah dia mendirikan yayasan untuk menampung anak-anak muda berbakat y
Kali ini, Laura menurut dan duduk berhadapan dengan Simon. “Aku tidak mau mendengar nasihatmu.” “Kau tidak belajar dari kesalahan Papa? Apa kau ingin nasibmu jadi seperti Papa? Kehilangan Callista karena sifat burukku, iya!?” “Jangan bawa-bawa Mama!” Laura menatap nyalang sang ayah. Simon menghela napas supaya beban di dadanya terasa ringan meskipun tak berhasil. Setiap kali mengingat kesalahannya, hatinya terasa pilu, tetapi dia perlu menyadarkan Laura jika tindakannya sekarang sangat mirip dengannya. “Asher Smith bukan Callista, Laura. Papa tidak yakin Asher memiliki kesabaran seperti mamamu, terlebih lagi dia seorang pria.” Simon merendahkan nada suaranya. Laura mendesah malas. Tak mau mendengar nasihat dari pria yang pernah melakukan kesalahan yang lebih besar dari Asher. “Kau boleh membenciku karena kesalahanku di masa lalu. Tapi, apa kau juga mau Asher lama-lama membencimu karena rasa cemburumu yang tidak sehat itu?” Laura sontak tersinggung. “Tidak sehat? Papa menganggapk
Selagi Laura masih ada di rumah Emma, Simon memberanikan diri bicara dengan Asher. Dia sudah beberapa menit berdiri di depan ruang kerja Asher meyakinkan diri sendiri. ‘Kau pasti bisa!’ Simon memutar cincin di jari manisnya. ‘Callista, beri aku kekuatan menghadapi menantu kita ....’ Laura tak sepenuhnya salah. Di samping tak suka melihat Laura emosi di depan kedua cucu kembarnya, Simon juga ragu memulai pembicaraan dengan Asher tentang masalah serius, dan mungkin akan menyinggung sang menantu. “Aku harusnya bicara saja malam itu, waktu tidak sengaja bertemu dengan Asher di halaman belakang,” keluh Simon lirih. ‘Tidak! Demi kebahagiaan Laura, aku harus bicara dengan Asher!’ Simon menepuk-nepuk dada kirinya penuh semangat, lalu mencium cincinnya. Dia menarik napas selagi memutar pintu ruang kerja Asher. “Menantuku ... kau ada di sini? Apa yang sedang kau lakukan?” sapa Simon dengan suara mendayu-dayu dan bibir melengkung membentuk senyuman. Simon terkesiap mendapati seorang wanita
Theo terlambat. Rachel sudah berdiri di depan Laura. Dia menatap sang istri dan memberi isyarat supaya menjauhkan Rachel dari Laura. Namun, Emma hanya mengendikkan bahu. Theo memelototi Emma karena mengira tak tahu maksud dari gerakan kecilnya. ‘Bawa Rachel masuk sekarang!’ maksud Theo. Emma membalas dengan anggukan kecil. ‘Iya, aku juga mencintaimu.’ Mereka gagal berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Emma justru berjalan kembali ke rumah, membiarkan Laura dan Rachel bicara berdua. Di sisi lain, Laura masih terkejut melihat Rachel tiba-tiba memanggilnya. Apakah Rachel ingin menentang keputusan Asher yang tak akan lagi menemuinya? “Rachel, apa kau marah padaku karena aku meminta Asher untuk menjauhiku?” Sudah terlanjur bertemu, Laura ingin menegaskan jika Asher dan Rachel tak perlu berhubungan lagi. Biarpun Rachel sedang tertimpa musibah, dia memiliki keluarga hebat yang mampu melindunginya. Tak perlu Asher yang melakukannya. Di lain sisi, Rachel belum mendengar apa pun dari Ashe
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang