Shane atau Enzo? Jangan-jangan ... Vincent pulang?
“Oh, kebetulan aku sedang bicara di telepon dengan Ana waktu dia mengeluh sakit tadi pagi. Noah sedang jalan-jalan pagi bersama istri dan anaknya. Lalu aku ke sana,” terang Enzo tanpa ragu. “Ana?” Asher memicingkan mata curiga. “Kakakmu belum ganti nama, bukan?” Enzo tak mengerti arti tatapan Asher. “Oh! Operasinya sudah selesai!” Dia mengalihkan pandangan ke arah pintu yang terbuka. Asher langsung menanyakan kondisi Ariana dan mengabaikan Enzo kepada sang dokter. Beruntung, Enzo gegas datang menyusul Noah, lalu membawa Ariana ke rumah sakit tepat waktu sehingga tak ada masalah serius yang menyertai. Saat ini, Ariana telah dibawa ke ruang pemulihan dan belum sadarkan diri. Semua orang menunggu di luar sambil membicarakan kondisinya. Hanya Asher saja yang berubah fokus kembali pada temannya yang memanggil Ariana dengan nama. Terlebih lagi, Enzo hanya memanggil pendek nama kakaknya, seperti panggilan sayang. “Apa kau dekat dengan kakakku sampai saling menelepon?” selidik Asher. “T
“Aku langsung datang ke negara ini setelah diberi tahu Noah kalau kau sedang sakit.” Vincent kini duduk di dekat Ariana sambil memandanginya. Ariana tak bisa menatap Vincent terlalu lama. Salah tingkah karena tatapan Vincent mirip dengan saat mereka pertama berkenalan. Dia pun menyadari perubahan mantan suaminya. Vincent tampak lebih kurus dan terlihat goresan di dagunya. Sepertinya, Vincent terburu-buru mencukur rambut halus di wajahnya. “Kenapa kau ke sini?” tanya Ariana ketus. “Mungkin kau tidak akan percaya, tapi aku datang karena mengkhawatirkanmu. Kulihat kau sudah baik-baik saja sekarang.” “Ya. Kau sudah melihatku. Pulanglah sekarang. Aku ingin istirahat.” Sebelum Vincent menjawab, seorang dokter dan dua perawat masuk ke dalam untuk memeriksa kondisi Ariana. Vincent berdiri menjauh selagi mendengarkan penjelasan dokter. Setelah dokter dan para perawat keluar, Vincent kembali duduk di dekat ranjang Ariana. Mereka saling diam tanpa bicara apa pun dalam waktu yang cukup lama
“Kau bilang mau memaafkanku. Tapi, kenapa-” Vincent kembali lesu. Ariana menyela ucapan Vincent, “Memaafkan dan memberi kesempatan itu dua hal yang berbeda, Vin. Aku harap kau menghargai keputusanku. Aku ingin sendiri dulu untuk saat ini, juga membantu Noah dan Alice merawat Aleah.” Sangat mudah memaafkan Vincent di saat Ariana melihat kesungguhan pria itu. Dia tak bohong saat mengatakannya. Tak ada lagi kemarahan setelah melihat Vincent yang sekarang menangis karena dirinya. Ariana justru lega karena Vincent mau berdamai dengan masa lalu, melupakan cinta yang tidak seharusnya menjadi miliknya. Namun, Ariana tetap tak bisa kembali bersama Vincent meskipun masih memiliki perasaan padanya. Cinta tak harus memiliki ... Ariana baru mengerti makna kalimat itu. Bukan berarti mereka tak bisa bersatu, tetapi Ariana belum bisa membuka dirinya kepada Vincent setelah semua yang terjadi. Selain itu, Ariana ingin sekali-kali menikmati hidup, melakukan banyak hal yang dulu tak bisa dilakukannya
Suatu sore, halaman belakang di kediaman Smith yang sangat luas, telah dipenuhi anak-anak kecil yang bermain dan berlarian. Suara mereka terdengar ceria dengan wajah penuh kebahagiaan. Ketika Asher Smith muncul, anak-anak itu terdiam. Mereka bersembunyi di belakang para ibu pengasuh yang berasal dari panti asuhan. Salah satu anak kecil itu bersembunyi di belakang badan Laura. Asher mendekatinya dengan aura yang menurut anak tersebut begitu mengancam. Mata anak itu berkaca-kaca dan semakin mempererat cengkeraman pada gaun Laura. “Sayang, jangan takut. Dia Paman Asher …,” ujar Laura halus sambil menenangkan bocah lelaki berusia enam tahun itu. “Lepaskan istriku,” titah Asher. “Sayang, kau membuatnya takut! Tersenyumlah di depan anak-anak!” tegur Laura. Kemudian mengantar anak tersebut kembali ke rombongan. “Aku hanya tersenyum untukmu dan anak-anakku,” kata Asher sewaktu Laura kembali di sisinya. “Dan, sejak kapan kau berani memerintahku?” “Maaf, Sayang, aku hanya kasihan kepada a
Di tempat yang jauh dari keramaian kota, seorang wanita muda tengah duduk di dekat jendela dengan terali besi. Matanya yang tak bercahaya menatap ke arah luar. Tampak kantong mata hitam menghiasi wajahnya yang tirus dan terlihat lebih tua dari usianya. Wanita yang dulu selalu berpakaian glamor itu, kini hanya mengenakan gaun tipis dan luntur. Tak ada lagi perhiasan menghiasi tubuhnya. Hanya tampak bekas luka menghitam di pergelangan tangan bagian dalam. “Nyonya, Anda sudah dijemput,” ujar seorang perawat yang baru saja datang ke kamarnya. Tangannya putih dan kering tak terawat itu menyentuh pinggiran jendela untuk menumpu tubuhnya yang ingin berdiri. Perawat tadi sigap membantu wanita itu hingga dapat berdiri tegak. Kakinya enggan melangkah ke arah luar. Namun, si perawat terus membimbingnya menuju seseorang yang tak ingin dilihatnya. “Bagaimana keadaannya hari ini?” tanya Victor halus. “Nyonya Nora sudah tidak pernah mengamuk dan lebih tenang, Tuan. Anda bisa membawa Nyonya Nor
Setahu Simon, Nora telah menikah dengan Victor. Dia sudah mengetahui tentang Shane yang bukan ayah kandung Nora, juga perbuatan Nora sehingga membuat keluarga Victor hancur. Laura pun sedikit bercerita jika Nora hidup di bawah kekangan Victor. Akan tetapi, mereka tak menyangka jika keadaan Nora lebih buruk dari dugaan. Meskipun setelah keluar dari rumah sakit jiwa Victor menyediakan pakaian bagus untuknya, Nora terlihat seperti mayat hidup dengan tubuh kurus kering dan seperti tak makan selama berhari-hari. “Nyonya, mari kembali ke tenda.” Pengawal memperingatkan Nora agar segera menjauh dari tiga orang yang berpapasan dengan mereka. Nora mengangguk, lalu mengikuti pengawal. Dia menunduk saat melewati rombongan Laura. Tak ada sapaan atau bahkan hanya sekedar melihat ke arah mantan keluarganya. Nora pun tak menjawab pertanyaan Simon sebelumnya. “Tunggu, Nora!” seru Simon menyusul Nora, lalu menghentikan langkahnya. Dia memegang erat pergelangan tangan Nora. Nora menggeleng-geleng
Victor terkejut melihat kaki Nora lebam dan mengeluarkan darah. “Sejak kapan kau terluka?” Nora sangat ketakutan saat Victor berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terkepal. Yang membuatnya terkejut, Victor tiba-tiba berjongkok memunggungi dirinya. “Naik ke punggungku.” Nora tak bisa menolak perintahnya. ‘Kenapa Victor terlihat khawatir dan tiba-tiba baik padaku?’ “Ini semua gara-gara Asher Smith! Kalau aku tidak melihat mukanya yang menyebalkan itu, aku tidak mungkin marah!” Victor kembali memaki Asher sepanjang perjalanan. Sampai di kaki pegunungan, anak buah Victor sudah menyediakan mobil setelah diberi tahu bahwa kaki Nora sakit. Victor mendudukkan Nora perlahan. Dia pun menahan atap mobil dengan tangannya supaya kepala Nora tak terbentur. Nora sempat tertegun karena perubahan kecil Victor. Akan tetapi, dia tak merasa senang sama sekali. Pikirnya, Victor sedang menginginkan sesuatu darinya. Nora semakin bergidik ngeri selagi membayangkan apa yang akan Victor lakukan nanti s
“Iya, Laura. Papa tidak akan membantu Nora. Jangan marah-marah ....” Simon mendekat, kemudian memeluk Laura. “Papa tidak akan pernah membahayakan putri dan cucu-cucu Papa.” Asher mengamati interaksi ayah dan anak itu dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah memiliki pemikiran sendiri yang tak dapat diungkapkan. “Papa dulu tega padaku sampai tidak pernah mencariku. Apa Papa pernah memikirkanku saat kau mengusirku? Aku mengalami masa-masa sulit karena perbuatan Asher dan Papa justru membenciku!” Laura sungguh merasa terluka hingga hampir menangis. Nora bahkan bukan keluarga Simon lagi. Hubungan mereka bisa terputus karena tak ada ikatan darah. Laura tak terima jika Simon lebih peduli kepada Nora dibanding keselamatannya dan si kembar. Sudah cukup Laura ditelantarkan selama bertahun-tahun karena kesalahpahaman Simon terhadap Callista. “Maafkan Papa. Papa tidak akan mengulangi kesalahan Papa lagi. Hanya kau putri Papa satu-satunya.” Bukan hanya Simon, Asher pun ikut merasa bersala