Bulan madunya skip aja lah ...
“Ayo, mandi ...,” bujuk Carla. “Sebentar lagi. Aku mengantuk sekali.” Kata-kata Asher dahulu, terngiang dalam benaknya. Asher mungkin benar satu hal, para gadis muda itu sangat bersemangat hingga lupa jika Jake bisa juga lelah. Malam sebelumnya, Jake begadang sampai dini hari. Rick, Shane, dan beberapa teman pria yang lain mengajaknya pesta bujang. Seharian menunggu acara pernikahan dimulai pun, Jake disibukkan oleh banyak hal. Dia juga harus berdiri selama satu jam hingga kakinya pegal. Lalu, setelah bisa merebahkan punggung, Carla terus meminta untuk dilayani. Sang istri tampaknya tak ada tanda-tanda lelah sama sekali. Haruskah dia bertanya kepada Asher, bagaimana caranya menyenangkan istri tanpa lelah? Konyol. Asher pasti akan menghinanya. Tiba-tiba, Jake merasakan hangat rongga mulut Carla memanjakan miliknya di bawah sana. “Ugh, Carla ... apa kau tidak merasakan sakit?” Jake melirik noda darah yang telah mengering di seprai putih. Benar. Carla baru pertama kali melakukan
“Oh, kebetulan aku sedang bicara di telepon dengan Ana waktu dia mengeluh sakit tadi pagi. Noah sedang jalan-jalan pagi bersama istri dan anaknya. Lalu aku ke sana,” terang Enzo tanpa ragu. “Ana?” Asher memicingkan mata curiga. “Kakakmu belum ganti nama, bukan?” Enzo tak mengerti arti tatapan Asher. “Oh! Operasinya sudah selesai!” Dia mengalihkan pandangan ke arah pintu yang terbuka. Asher langsung menanyakan kondisi Ariana dan mengabaikan Enzo kepada sang dokter. Beruntung, Enzo gegas datang menyusul Noah, lalu membawa Ariana ke rumah sakit tepat waktu sehingga tak ada masalah serius yang menyertai. Saat ini, Ariana telah dibawa ke ruang pemulihan dan belum sadarkan diri. Semua orang menunggu di luar sambil membicarakan kondisinya. Hanya Asher saja yang berubah fokus kembali pada temannya yang memanggil Ariana dengan nama. Terlebih lagi, Enzo hanya memanggil pendek nama kakaknya, seperti panggilan sayang. “Apa kau dekat dengan kakakku sampai saling menelepon?” selidik Asher. “T
“Aku langsung datang ke negara ini setelah diberi tahu Noah kalau kau sedang sakit.” Vincent kini duduk di dekat Ariana sambil memandanginya. Ariana tak bisa menatap Vincent terlalu lama. Salah tingkah karena tatapan Vincent mirip dengan saat mereka pertama berkenalan. Dia pun menyadari perubahan mantan suaminya. Vincent tampak lebih kurus dan terlihat goresan di dagunya. Sepertinya, Vincent terburu-buru mencukur rambut halus di wajahnya. “Kenapa kau ke sini?” tanya Ariana ketus. “Mungkin kau tidak akan percaya, tapi aku datang karena mengkhawatirkanmu. Kulihat kau sudah baik-baik saja sekarang.” “Ya. Kau sudah melihatku. Pulanglah sekarang. Aku ingin istirahat.” Sebelum Vincent menjawab, seorang dokter dan dua perawat masuk ke dalam untuk memeriksa kondisi Ariana. Vincent berdiri menjauh selagi mendengarkan penjelasan dokter. Setelah dokter dan para perawat keluar, Vincent kembali duduk di dekat ranjang Ariana. Mereka saling diam tanpa bicara apa pun dalam waktu yang cukup lama
“Kau bilang mau memaafkanku. Tapi, kenapa-” Vincent kembali lesu. Ariana menyela ucapan Vincent, “Memaafkan dan memberi kesempatan itu dua hal yang berbeda, Vin. Aku harap kau menghargai keputusanku. Aku ingin sendiri dulu untuk saat ini, juga membantu Noah dan Alice merawat Aleah.” Sangat mudah memaafkan Vincent di saat Ariana melihat kesungguhan pria itu. Dia tak bohong saat mengatakannya. Tak ada lagi kemarahan setelah melihat Vincent yang sekarang menangis karena dirinya. Ariana justru lega karena Vincent mau berdamai dengan masa lalu, melupakan cinta yang tidak seharusnya menjadi miliknya. Namun, Ariana tetap tak bisa kembali bersama Vincent meskipun masih memiliki perasaan padanya. Cinta tak harus memiliki ... Ariana baru mengerti makna kalimat itu. Bukan berarti mereka tak bisa bersatu, tetapi Ariana belum bisa membuka dirinya kepada Vincent setelah semua yang terjadi. Selain itu, Ariana ingin sekali-kali menikmati hidup, melakukan banyak hal yang dulu tak bisa dilakukannya
Suatu sore, halaman belakang di kediaman Smith yang sangat luas, telah dipenuhi anak-anak kecil yang bermain dan berlarian. Suara mereka terdengar ceria dengan wajah penuh kebahagiaan. Ketika Asher Smith muncul, anak-anak itu terdiam. Mereka bersembunyi di belakang para ibu pengasuh yang berasal dari panti asuhan. Salah satu anak kecil itu bersembunyi di belakang badan Laura. Asher mendekatinya dengan aura yang menurut anak tersebut begitu mengancam. Mata anak itu berkaca-kaca dan semakin mempererat cengkeraman pada gaun Laura. “Sayang, jangan takut. Dia Paman Asher …,” ujar Laura halus sambil menenangkan bocah lelaki berusia enam tahun itu. “Lepaskan istriku,” titah Asher. “Sayang, kau membuatnya takut! Tersenyumlah di depan anak-anak!” tegur Laura. Kemudian mengantar anak tersebut kembali ke rombongan. “Aku hanya tersenyum untukmu dan anak-anakku,” kata Asher sewaktu Laura kembali di sisinya. “Dan, sejak kapan kau berani memerintahku?” “Maaf, Sayang, aku hanya kasihan kepada a
Di tempat yang jauh dari keramaian kota, seorang wanita muda tengah duduk di dekat jendela dengan terali besi. Matanya yang tak bercahaya menatap ke arah luar. Tampak kantong mata hitam menghiasi wajahnya yang tirus dan terlihat lebih tua dari usianya. Wanita yang dulu selalu berpakaian glamor itu, kini hanya mengenakan gaun tipis dan luntur. Tak ada lagi perhiasan menghiasi tubuhnya. Hanya tampak bekas luka menghitam di pergelangan tangan bagian dalam. “Nyonya, Anda sudah dijemput,” ujar seorang perawat yang baru saja datang ke kamarnya. Tangannya putih dan kering tak terawat itu menyentuh pinggiran jendela untuk menumpu tubuhnya yang ingin berdiri. Perawat tadi sigap membantu wanita itu hingga dapat berdiri tegak. Kakinya enggan melangkah ke arah luar. Namun, si perawat terus membimbingnya menuju seseorang yang tak ingin dilihatnya. “Bagaimana keadaannya hari ini?” tanya Victor halus. “Nyonya Nora sudah tidak pernah mengamuk dan lebih tenang, Tuan. Anda bisa membawa Nyonya Nor
Setahu Simon, Nora telah menikah dengan Victor. Dia sudah mengetahui tentang Shane yang bukan ayah kandung Nora, juga perbuatan Nora sehingga membuat keluarga Victor hancur. Laura pun sedikit bercerita jika Nora hidup di bawah kekangan Victor. Akan tetapi, mereka tak menyangka jika keadaan Nora lebih buruk dari dugaan. Meskipun setelah keluar dari rumah sakit jiwa Victor menyediakan pakaian bagus untuknya, Nora terlihat seperti mayat hidup dengan tubuh kurus kering dan seperti tak makan selama berhari-hari. “Nyonya, mari kembali ke tenda.” Pengawal memperingatkan Nora agar segera menjauh dari tiga orang yang berpapasan dengan mereka. Nora mengangguk, lalu mengikuti pengawal. Dia menunduk saat melewati rombongan Laura. Tak ada sapaan atau bahkan hanya sekedar melihat ke arah mantan keluarganya. Nora pun tak menjawab pertanyaan Simon sebelumnya. “Tunggu, Nora!” seru Simon menyusul Nora, lalu menghentikan langkahnya. Dia memegang erat pergelangan tangan Nora. Nora menggeleng-geleng
Victor terkejut melihat kaki Nora lebam dan mengeluarkan darah. “Sejak kapan kau terluka?” Nora sangat ketakutan saat Victor berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terkepal. Yang membuatnya terkejut, Victor tiba-tiba berjongkok memunggungi dirinya. “Naik ke punggungku.” Nora tak bisa menolak perintahnya. ‘Kenapa Victor terlihat khawatir dan tiba-tiba baik padaku?’ “Ini semua gara-gara Asher Smith! Kalau aku tidak melihat mukanya yang menyebalkan itu, aku tidak mungkin marah!” Victor kembali memaki Asher sepanjang perjalanan. Sampai di kaki pegunungan, anak buah Victor sudah menyediakan mobil setelah diberi tahu bahwa kaki Nora sakit. Victor mendudukkan Nora perlahan. Dia pun menahan atap mobil dengan tangannya supaya kepala Nora tak terbentur. Nora sempat tertegun karena perubahan kecil Victor. Akan tetapi, dia tak merasa senang sama sekali. Pikirnya, Victor sedang menginginkan sesuatu darinya. Nora semakin bergidik ngeri selagi membayangkan apa yang akan Victor lakukan nanti s
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang