Cerita Alan Hillary nggak bisa dijadikan bonus karena mereka terlalu bertentangan. Bisa agak panjang jadinya. Mau S4 mereka? 🫢
“Kau … Shane!” Terang saja Ariana mengenal pria itu. Shane merupakan korban lain dari Gilda dan Vincent. ‘Kalau dipikir-pikir, dia juga senasib denganku. Tidak mungkin dia berniat buruk pada cucuku, bukan?’ batin Ariana. Ariana sedang menimbang-nimbang akan mengajak satu dari dua pria itu. Sebab, dia tak mengenal Enzo dan baru pertama kali melihatnya. Ariana tak enak hati meminta pertolongannya. “Jangan ganggu keluargaku, Shane! Dasar sialan! Kenapa kau ada di sini!?” sentak Simon. Meskipun Simon sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi, juga perintah Jake kepada Shane saat menyiksanya, Simon tetap masih marah padanya, dan bukan Jake. “Hoo, siapa ini? Bagaimana kabarmu? Apa kau masih tergila-gila pada Gilda? Astaga, bodoh sekali kau percaya dengan wanita ular sepertinya!” Shane tersenyum menghina. “Kau lebih bodoh lagi karena semua hartamu jatuh di tangannya. Dan setidaknya, aku tidak pernah benar-benar mencintainya. Istriku seribu kali jauh lebih cantik darinya,” balas Simon balas
“Ayo, mandi ...,” bujuk Carla. “Sebentar lagi. Aku mengantuk sekali.” Kata-kata Asher dahulu, terngiang dalam benaknya. Asher mungkin benar satu hal, para gadis muda itu sangat bersemangat hingga lupa jika Jake bisa juga lelah. Malam sebelumnya, Jake begadang sampai dini hari. Rick, Shane, dan beberapa teman pria yang lain mengajaknya pesta bujang. Seharian menunggu acara pernikahan dimulai pun, Jake disibukkan oleh banyak hal. Dia juga harus berdiri selama satu jam hingga kakinya pegal. Lalu, setelah bisa merebahkan punggung, Carla terus meminta untuk dilayani. Sang istri tampaknya tak ada tanda-tanda lelah sama sekali. Haruskah dia bertanya kepada Asher, bagaimana caranya menyenangkan istri tanpa lelah? Konyol. Asher pasti akan menghinanya. Tiba-tiba, Jake merasakan hangat rongga mulut Carla memanjakan miliknya di bawah sana. “Ugh, Carla ... apa kau tidak merasakan sakit?” Jake melirik noda darah yang telah mengering di seprai putih. Benar. Carla baru pertama kali melakukan
“Oh, kebetulan aku sedang bicara di telepon dengan Ana waktu dia mengeluh sakit tadi pagi. Noah sedang jalan-jalan pagi bersama istri dan anaknya. Lalu aku ke sana,” terang Enzo tanpa ragu. “Ana?” Asher memicingkan mata curiga. “Kakakmu belum ganti nama, bukan?” Enzo tak mengerti arti tatapan Asher. “Oh! Operasinya sudah selesai!” Dia mengalihkan pandangan ke arah pintu yang terbuka. Asher langsung menanyakan kondisi Ariana dan mengabaikan Enzo kepada sang dokter. Beruntung, Enzo gegas datang menyusul Noah, lalu membawa Ariana ke rumah sakit tepat waktu sehingga tak ada masalah serius yang menyertai. Saat ini, Ariana telah dibawa ke ruang pemulihan dan belum sadarkan diri. Semua orang menunggu di luar sambil membicarakan kondisinya. Hanya Asher saja yang berubah fokus kembali pada temannya yang memanggil Ariana dengan nama. Terlebih lagi, Enzo hanya memanggil pendek nama kakaknya, seperti panggilan sayang. “Apa kau dekat dengan kakakku sampai saling menelepon?” selidik Asher. “T
“Aku langsung datang ke negara ini setelah diberi tahu Noah kalau kau sedang sakit.” Vincent kini duduk di dekat Ariana sambil memandanginya. Ariana tak bisa menatap Vincent terlalu lama. Salah tingkah karena tatapan Vincent mirip dengan saat mereka pertama berkenalan. Dia pun menyadari perubahan mantan suaminya. Vincent tampak lebih kurus dan terlihat goresan di dagunya. Sepertinya, Vincent terburu-buru mencukur rambut halus di wajahnya. “Kenapa kau ke sini?” tanya Ariana ketus. “Mungkin kau tidak akan percaya, tapi aku datang karena mengkhawatirkanmu. Kulihat kau sudah baik-baik saja sekarang.” “Ya. Kau sudah melihatku. Pulanglah sekarang. Aku ingin istirahat.” Sebelum Vincent menjawab, seorang dokter dan dua perawat masuk ke dalam untuk memeriksa kondisi Ariana. Vincent berdiri menjauh selagi mendengarkan penjelasan dokter. Setelah dokter dan para perawat keluar, Vincent kembali duduk di dekat ranjang Ariana. Mereka saling diam tanpa bicara apa pun dalam waktu yang cukup lama
“Kau bilang mau memaafkanku. Tapi, kenapa-” Vincent kembali lesu. Ariana menyela ucapan Vincent, “Memaafkan dan memberi kesempatan itu dua hal yang berbeda, Vin. Aku harap kau menghargai keputusanku. Aku ingin sendiri dulu untuk saat ini, juga membantu Noah dan Alice merawat Aleah.” Sangat mudah memaafkan Vincent di saat Ariana melihat kesungguhan pria itu. Dia tak bohong saat mengatakannya. Tak ada lagi kemarahan setelah melihat Vincent yang sekarang menangis karena dirinya. Ariana justru lega karena Vincent mau berdamai dengan masa lalu, melupakan cinta yang tidak seharusnya menjadi miliknya. Namun, Ariana tetap tak bisa kembali bersama Vincent meskipun masih memiliki perasaan padanya. Cinta tak harus memiliki ... Ariana baru mengerti makna kalimat itu. Bukan berarti mereka tak bisa bersatu, tetapi Ariana belum bisa membuka dirinya kepada Vincent setelah semua yang terjadi. Selain itu, Ariana ingin sekali-kali menikmati hidup, melakukan banyak hal yang dulu tak bisa dilakukannya
Suatu sore, halaman belakang di kediaman Smith yang sangat luas, telah dipenuhi anak-anak kecil yang bermain dan berlarian. Suara mereka terdengar ceria dengan wajah penuh kebahagiaan. Ketika Asher Smith muncul, anak-anak itu terdiam. Mereka bersembunyi di belakang para ibu pengasuh yang berasal dari panti asuhan. Salah satu anak kecil itu bersembunyi di belakang badan Laura. Asher mendekatinya dengan aura yang menurut anak tersebut begitu mengancam. Mata anak itu berkaca-kaca dan semakin mempererat cengkeraman pada gaun Laura. “Sayang, jangan takut. Dia Paman Asher …,” ujar Laura halus sambil menenangkan bocah lelaki berusia enam tahun itu. “Lepaskan istriku,” titah Asher. “Sayang, kau membuatnya takut! Tersenyumlah di depan anak-anak!” tegur Laura. Kemudian mengantar anak tersebut kembali ke rombongan. “Aku hanya tersenyum untukmu dan anak-anakku,” kata Asher sewaktu Laura kembali di sisinya. “Dan, sejak kapan kau berani memerintahku?” “Maaf, Sayang, aku hanya kasihan kepada a
Di tempat yang jauh dari keramaian kota, seorang wanita muda tengah duduk di dekat jendela dengan terali besi. Matanya yang tak bercahaya menatap ke arah luar. Tampak kantong mata hitam menghiasi wajahnya yang tirus dan terlihat lebih tua dari usianya. Wanita yang dulu selalu berpakaian glamor itu, kini hanya mengenakan gaun tipis dan luntur. Tak ada lagi perhiasan menghiasi tubuhnya. Hanya tampak bekas luka menghitam di pergelangan tangan bagian dalam. “Nyonya, Anda sudah dijemput,” ujar seorang perawat yang baru saja datang ke kamarnya. Tangannya putih dan kering tak terawat itu menyentuh pinggiran jendela untuk menumpu tubuhnya yang ingin berdiri. Perawat tadi sigap membantu wanita itu hingga dapat berdiri tegak. Kakinya enggan melangkah ke arah luar. Namun, si perawat terus membimbingnya menuju seseorang yang tak ingin dilihatnya. “Bagaimana keadaannya hari ini?” tanya Victor halus. “Nyonya Nora sudah tidak pernah mengamuk dan lebih tenang, Tuan. Anda bisa membawa Nyonya Nor
Setahu Simon, Nora telah menikah dengan Victor. Dia sudah mengetahui tentang Shane yang bukan ayah kandung Nora, juga perbuatan Nora sehingga membuat keluarga Victor hancur. Laura pun sedikit bercerita jika Nora hidup di bawah kekangan Victor. Akan tetapi, mereka tak menyangka jika keadaan Nora lebih buruk dari dugaan. Meskipun setelah keluar dari rumah sakit jiwa Victor menyediakan pakaian bagus untuknya, Nora terlihat seperti mayat hidup dengan tubuh kurus kering dan seperti tak makan selama berhari-hari. “Nyonya, mari kembali ke tenda.” Pengawal memperingatkan Nora agar segera menjauh dari tiga orang yang berpapasan dengan mereka. Nora mengangguk, lalu mengikuti pengawal. Dia menunduk saat melewati rombongan Laura. Tak ada sapaan atau bahkan hanya sekedar melihat ke arah mantan keluarganya. Nora pun tak menjawab pertanyaan Simon sebelumnya. “Tunggu, Nora!” seru Simon menyusul Nora, lalu menghentikan langkahnya. Dia memegang erat pergelangan tangan Nora. Nora menggeleng-geleng