Haruskah kita mengakhiri cerita panjang mereka secepatnya? 🥹🥹
Suatu sore, halaman belakang di kediaman Smith yang sangat luas, telah dipenuhi anak-anak kecil yang bermain dan berlarian. Suara mereka terdengar ceria dengan wajah penuh kebahagiaan. Ketika Asher Smith muncul, anak-anak itu terdiam. Mereka bersembunyi di belakang para ibu pengasuh yang berasal dari panti asuhan. Salah satu anak kecil itu bersembunyi di belakang badan Laura. Asher mendekatinya dengan aura yang menurut anak tersebut begitu mengancam. Mata anak itu berkaca-kaca dan semakin mempererat cengkeraman pada gaun Laura. “Sayang, jangan takut. Dia Paman Asher …,” ujar Laura halus sambil menenangkan bocah lelaki berusia enam tahun itu. “Lepaskan istriku,” titah Asher. “Sayang, kau membuatnya takut! Tersenyumlah di depan anak-anak!” tegur Laura. Kemudian mengantar anak tersebut kembali ke rombongan. “Aku hanya tersenyum untukmu dan anak-anakku,” kata Asher sewaktu Laura kembali di sisinya. “Dan, sejak kapan kau berani memerintahku?” “Maaf, Sayang, aku hanya kasihan kepada a
Di tempat yang jauh dari keramaian kota, seorang wanita muda tengah duduk di dekat jendela dengan terali besi. Matanya yang tak bercahaya menatap ke arah luar. Tampak kantong mata hitam menghiasi wajahnya yang tirus dan terlihat lebih tua dari usianya. Wanita yang dulu selalu berpakaian glamor itu, kini hanya mengenakan gaun tipis dan luntur. Tak ada lagi perhiasan menghiasi tubuhnya. Hanya tampak bekas luka menghitam di pergelangan tangan bagian dalam. “Nyonya, Anda sudah dijemput,” ujar seorang perawat yang baru saja datang ke kamarnya. Tangannya putih dan kering tak terawat itu menyentuh pinggiran jendela untuk menumpu tubuhnya yang ingin berdiri. Perawat tadi sigap membantu wanita itu hingga dapat berdiri tegak. Kakinya enggan melangkah ke arah luar. Namun, si perawat terus membimbingnya menuju seseorang yang tak ingin dilihatnya. “Bagaimana keadaannya hari ini?” tanya Victor halus. “Nyonya Nora sudah tidak pernah mengamuk dan lebih tenang, Tuan. Anda bisa membawa Nyonya Nor
Setahu Simon, Nora telah menikah dengan Victor. Dia sudah mengetahui tentang Shane yang bukan ayah kandung Nora, juga perbuatan Nora sehingga membuat keluarga Victor hancur. Laura pun sedikit bercerita jika Nora hidup di bawah kekangan Victor. Akan tetapi, mereka tak menyangka jika keadaan Nora lebih buruk dari dugaan. Meskipun setelah keluar dari rumah sakit jiwa Victor menyediakan pakaian bagus untuknya, Nora terlihat seperti mayat hidup dengan tubuh kurus kering dan seperti tak makan selama berhari-hari. “Nyonya, mari kembali ke tenda.” Pengawal memperingatkan Nora agar segera menjauh dari tiga orang yang berpapasan dengan mereka. Nora mengangguk, lalu mengikuti pengawal. Dia menunduk saat melewati rombongan Laura. Tak ada sapaan atau bahkan hanya sekedar melihat ke arah mantan keluarganya. Nora pun tak menjawab pertanyaan Simon sebelumnya. “Tunggu, Nora!” seru Simon menyusul Nora, lalu menghentikan langkahnya. Dia memegang erat pergelangan tangan Nora. Nora menggeleng-geleng
Victor terkejut melihat kaki Nora lebam dan mengeluarkan darah. “Sejak kapan kau terluka?” Nora sangat ketakutan saat Victor berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terkepal. Yang membuatnya terkejut, Victor tiba-tiba berjongkok memunggungi dirinya. “Naik ke punggungku.” Nora tak bisa menolak perintahnya. ‘Kenapa Victor terlihat khawatir dan tiba-tiba baik padaku?’ “Ini semua gara-gara Asher Smith! Kalau aku tidak melihat mukanya yang menyebalkan itu, aku tidak mungkin marah!” Victor kembali memaki Asher sepanjang perjalanan. Sampai di kaki pegunungan, anak buah Victor sudah menyediakan mobil setelah diberi tahu bahwa kaki Nora sakit. Victor mendudukkan Nora perlahan. Dia pun menahan atap mobil dengan tangannya supaya kepala Nora tak terbentur. Nora sempat tertegun karena perubahan kecil Victor. Akan tetapi, dia tak merasa senang sama sekali. Pikirnya, Victor sedang menginginkan sesuatu darinya. Nora semakin bergidik ngeri selagi membayangkan apa yang akan Victor lakukan nanti s
“Iya, Laura. Papa tidak akan membantu Nora. Jangan marah-marah ....” Simon mendekat, kemudian memeluk Laura. “Papa tidak akan pernah membahayakan putri dan cucu-cucu Papa.” Asher mengamati interaksi ayah dan anak itu dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah memiliki pemikiran sendiri yang tak dapat diungkapkan. “Papa dulu tega padaku sampai tidak pernah mencariku. Apa Papa pernah memikirkanku saat kau mengusirku? Aku mengalami masa-masa sulit karena perbuatan Asher dan Papa justru membenciku!” Laura sungguh merasa terluka hingga hampir menangis. Nora bahkan bukan keluarga Simon lagi. Hubungan mereka bisa terputus karena tak ada ikatan darah. Laura tak terima jika Simon lebih peduli kepada Nora dibanding keselamatannya dan si kembar. Sudah cukup Laura ditelantarkan selama bertahun-tahun karena kesalahpahaman Simon terhadap Callista. “Maafkan Papa. Papa tidak akan mengulangi kesalahan Papa lagi. Hanya kau putri Papa satu-satunya.” Bukan hanya Simon, Asher pun ikut merasa bersala
“Bukan urusan kita. Kalau salah menuduh orang, kita yang akan mendapatkan masalah,” ujar Noah dengan rahang menegang. Noah menggandeng Alice memutar lewat jalan lain. Mereka bisa terlihat jika lewat dari sisi kanan atau depan rumah. “Kalian tidak jadi jalan-jalan ke puncak?” Ariana sedang berbaring di sofa bersama Aleah yang berada di dalam keranjang bayi sebelahnya. “Paman Asher tidak mengizinkan kami ke sana,” keluh Noah, “aku agak lelah. Bisakah Mama menjaga Aleah dulu?” “Dengan senang hati.” Ariana meringis senang. “Kalau perlu, kalian buat anak lagi saja. Mama yang akan jadi mamanya Aleah.” “Melahirkan itu sakit, Mama. Nanti Noah tidak mau menemaniku lagi.” Noah biasanya ikut bercanda dengan kedua wanita yang dicintainya itu. Namun, dia langsung masuk ke kamar tanpa menanggapi. Alice tahu jika Noah masih memikirkan apa yang baru saja mereka saksikan. Terlepas dari kegilaannya terhadap Laura dulu, Noah mudah sekali merasa iba atau terpengaruh oleh orang lain. Alice lantas m
“Tuan Victor! Apa Anda tidak waras!?” pekik Noah. Walau dalam kondisi terdesak pun, dia masih berusaha bicara sopan dengan tidak mengatakan gila. Victor mengayunkan tongkat golf ke arah Noah. Namun, Noah berkelit ke kanan dan kiri hingga keduanya terengah-engah. “Tuan Victor! Hentikan! Dasar gila!” teriak Ariana selagi melepaskan sandal rumah dari kakinya. Victor hanya melihat ke arah Ariana sekilas. Tak peduli dan terus menyerang Noah. Ariana melesat ke belakang Victor dan mulai memukulnya dengan sandal. “Hentikan! Jangan lukai anakku!” “Mama! Jangan ikut campur!” sergah Noah. Noah hilang konsentrasi saat berkelit dari serangan Victor karena melihat ayunan tangan Victor hampir mengenai ibunya. Alhasil, satu pukulan tongkat golf mendarat tepat di bahunya. “Argh!!” Noah segera menangkap tangan Victor ketika hendak memukulnya lagi. “Lepaskan! Kau lelaki brengsek! Kau mengikuti kami dan ingin mencuri istriku, bukan!?” Para bawahan Victor tak berani mencegah tuannya. Mereka hanya
Berkat kebaikan Laura, Noah, Alice, Ariana, dan Aleah menginap di rumahnya. Asher mengatakan jika pemilik rumah ingin menggunakan rumah tersebut secara mendadak. Tak ingin melihat bayi Noah ke sana kemari dalam waktu yang singkat, Laura akhirnya memaksa mereka tinggal di rumahnya untuk sementara waktu, sekaligus menghabiskan waktu liburan mereka. Asher pun tak begitu mempermasalahkan keberadaan Noah di sekitar Laura lagi. Dia sangat tahu karakter keponakannya. Noah benar-benar sudah berubah dan hanya memedulikan keluarga kecilnya. Dia pun juga tahu jika Noah justru tampak tak nyaman ketika makan bersama mereka. Noah sesekali melirik Alice, seolah ingin memastikan jika sang istri tak cemburu kepada Laura. “Istrimu tidak akan menghilang lagi, kenapa kau terlihat khawatir seperti itu?” tegur Asher. “Noah kenapa, Paman?” Alice tak tahu menahu ketika dirinya terus dipandangi sang suami. Dia sibuk makan dan sesekali bermain dengan bayinya yang berada di kereta bayi sebelahnya. “Aku tid