Ketemu siapa nih?
“Bukankah kau Carla, sekretaris Asher, dan teman Emma? Kenapa kau ada di sini?” Carla langsung berdiri menghadap pria itu dengan sopan. “Tuan Alan ....” Carla beberapa kali bertemu dengan Alan Ruiz dan mereka jarang berinteraksi. Tetapi, Carla tahu jika Alan merupakan tunangan dari Hillary Smith. Mendadak, dia jadi canggung. Apakah Alan akan memberi tahu tunangannya jika dirinya ada di sini. Hillary bisa saja mengadu kepada Asher. Dan Asher yang marah padanya, mungkin akan membuat Carla diberhentikan dari pekerjaan. Bukankah Asher pernah membuat orang sampai terusir dari negara ini karena mengkhianatinya? Carla menggeleng pelan. Dia tak mau berprasangka buruk kepada mantan atasannya. Asher memang bisa berbuat apa pun. Tetapi, siapa dirinya sehingga membuat Asher Smith mau menghabiskan waktu hanya untuk membuat hidupnya sengsara? “Aku tidak bermaksud menyombongkan bisnis keluargaku, tetapi tempat ini memang sangat luas. Apa kau tersesat? Aku akan mengantarmu ke perkebunan.” Carl
Beberapa hari ini, Jake kehilangan konsentrasi setiap melakukan sesuatu. Apalagi, ketika dirinya sedang makan. Semua hidangan yang disajikan untuknya, dari Shane hingga koki ternama, tak ada satu pun yang sesuai dengan lidahnya. “Gawat, apa jangan-jangan, Carla memasukkan bumbu rahasia yang membuat lidahku kebas saat merasakan makanan lain?” Jake panik dan khawatir. Dia gegas pergi ke dokter untuk memeriksakan diri. Namun, tak ada yang salah dengan kondisi kesehatannya. “Kondisi Anda sangat bagus, Tuan Jake. Tidak ada yang salah dengan hasil pemeriksaan darah, MRI, urin, dan lainnya.” Jake bernapas lega. Dia sebenarnya tak perlu melakukan pemeriksaan lengkap hanya karena lidahnya bermasalah. Namun, siapa tahu dia mengidap penyakit serius yang mematikan? Setelah pulang dari rumah sakit, Jake mengajak Shane dan Rick makan di restoran Asher. Dia tak pernah kecewa dengan semua menu makanan di sana, tetapi tidak untuk kali ini. “Kau tidak mau memakan itu, Jake?” tanya Shane sambil m
“Berhenti, Paman!” Hillary menyentak tangannya sebelum mereka sampai mobil. “Aku bukan Carla!” Jake mengusap kasar wajahnya. Melihat gadis yang ada dalam bayangannya beberapa hari ini, membuatnya gugup ketika berhadapan langsung. Kalimat penolakan Carla terngiang di benaknya ketika menatap matanya. Jake belum pernah ditolak sebelumnya. Mentalnya mendadak turun begitu menghadapi orang yang telah menolak dirinya. “Kenapa aku jadi seperti ini? Sepertinya aku sudah gila,” gumam Jake. “Jangan bilang ... Paman gugup? Astaga! Kau bilang pernah punya beberapa wanita!” Hillary memukul-mukul lengan Jake. “Sia-sia punya badan besar seperti ini kalau menghadapi wanita saja takut!” “Siapa yang takut!?” sergah Jake, tak terima. “Kalau begitu, ayo kita susul mereka!” Hillary tak mau menyia-nyiakan saham yang akan diberikan Jake untuknya. Dia sudah untung banyak saat membantu Asher berpura-pura jadi tunangan Alan. Dan tak mau melewatkan keuntungan lain yang tak kalah besar. Di saat yang sama,
Carla terus menyesali keputusannya menolak tawaran Jake. Sudah hampir lima menit dia berjalan jauh, tetapi jalanan besar yang terdapat halte bus belum terlihat. Kakinya terasa lelah dan nyeri. Apalagi, dia memakai sepatu pantofel kulit sehingga membuat tungkai kakinya nyeri dan lecet. Dia sesekali melihat ke arah belakang. Kenapa mobil Jake Wilson belum terlihat? Lalu kenapa jika mobil Jake lewat? ‘Kau sudah menolak tawarannya, bodoh! Apa kau akan menghentikan mobilnya dan menumpang sampai halte bus?’ batin Carla kesal pada diri sendiri. Sementara itu, Jake masih di parkiran. Dia merenung sambil menggenggam kemudi dengan erat. “Menyerahlah .... Jika dia tidak ingin diantar, dia pasti benar-benar tidak menginginkannya. Jangan membuat Carla tidak nyaman,” gumam Jake. Jake membuang napas kasar, lalu mulai menghidupkan mesin mobil. Dia berkendara di arah yang sama dengan Carla. Dari kejauhan, dia melihat Carla berjalan pelan dan sesekali membuka sepatu untuk memijat tungkai kakinya
“Angkat kakimu,” titah Jake. Carla refleks menaikkan sedikit kakinya. Jake segera melepas sepatu lusuh Carla, lalu memasangnya dengan sepatu baru yang lebih nyaman. Jake diam-diam tersenyum. Dia dapat mendengar dengan jelas semua ucapan Carla. Carla tiba-tiba ikut berjongkok. Dia mengambil sepatu lainnya dan memasang sendiri ke kakinya. “Aku bisa sendiri-” ucapan Carla tersekat di tenggorokan. Carla sangat malu. Entah berapa kali dia mempermalukan diri karena prasangka yang terlalu berlebihan. “Dave pasti sudah menunggu. Aku ingin pulang sekarang.” Setelah memasang sepatu, dia langsung mendorong troli barang. Carla dapat bernapas lega karena Jake tak membahas kata-katanya hingga sampai rumah. Suasana di supermarket agak berisik karena musik, Carla pikir, Jake memang tak mendengarnya bicara. “Kak Jake, ayo makan malam bersama,” ajak Dave. “Tentu saja. Pergilah ke depan dengan Fionna, aku akan membantu kakakmu memasak.” Carla tak berusaha mengusir Jake. Dia tahu diri, semua bah
Carla selalu saja menuduh Jake yang tidak-tidak. Padahal, dia tulus ingin membantu Dave yang ingin memiliki badan kuat seperti dirinya. Dave tak mau lagi ditindas teman-temannya di sekolah. Meskipun Dave sebenarnya juga banyak memukul mereka. Tentu saja, Jake langsung menyetujui kemauan keras remaja lelaki itu. Pun, Jake tak bohong ketika mengatakan bahwa dirinya telah menganggap Dave sudah seperti adiknya sendiri. Seumur hidup, Jake ingin merasakan memiliki adik-adik pintar dan patuh seperti Dave dan Fionna. Namun, Joanna tak pernah mau memberikan adik untuknya. Tinggal bersama Dave dan Fionna saja sudah cukup untuk menemani Jake yang selalu kesepian dan ingin membina rumah tangga. Tak dapat dipungkiri, Jake juga senang bisa bertemu dengan Carla setiap hari. Dia pun masih berharap jika Carla mau dijadikan istri. Kendati demikian, Jake tak mau terburu-buru ataupun memaksa sesuka hati. Kini, Carla benar-benar menarik Jake hingga pada batas kesabarannya. Wajah semerah tomat gadis it
“Jadi, kau marah-marah seperti ini hanya karena sepatu itu hadiah pertama dariku?” Jake tersenyum kecil. Dia membuang muka ke arah lain untuk menutupi pipinya yang menghangat dan pastinya sedang bersemu merah. “Maksudku … sepatu itu sangat nyaman digunakan. Aku hanya mau sepatuku kembali. Di mana kau membuangnya? Truk sampah mungkin belum mengambilnya.” Jake semakin besar kepala karena Carla sampai akan berbuat sejauh itu untuk mencari barang pemberiannya. Tak ada yang tak senang ketika pemberiannya dihargai orang lain, apalagi oleh gadis yang disukainya. Jake berdeham. Lidahnya terasa kelu saat ingin bicara sesuatu. Rasanya seperti bocah remaja yang baru pertama kali ingin mengutarakan sesuatu yang sangat besar dan spesial. “Tidak perlu dicari lagi,” kata Jake sambil menyusul Carla keluar. “Ayo, kita beli lagi. Sepatu itu sudah kotor. Masih banyak sepatu yang lebih nyaman dipakai. Aku hanya membelikan sembarang untukmu waktu itu.” “Sepatu itu mahal sekali. Mana mungkin aku tega m
Telinga Jake berkedut-kedut mendengar suara menggoda gadis di hadapannya. ‘Carla mau melakukan itu sekarang?’ Seperti pria yang hendak pergi ke medan perang, semangat Jake meluap-luap. Pria mana yang akan menolak tawaran menggiurkan itu? Jake langsung mendekati Carla. Dia menarik pergelangan tangan Carla hingga bangun, lalu membimbingnya ke kamar gadis itu. ‘Tunggu … Dave bisa pulang sewaktu-waktu,’ batin Jake. Masa bodoh! Ketika sampai di kamar itu, Jake langsung mengunci pintu. Carla tersentak dan menunduk. Jake berbalik dan langsung mengusap rambut Carla, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Kemudian melepaskan kancing kemejanya sendiri. Mata Carla bergerak naik-turun dari dada Jake ke wajahnya berulang-ulang. “Kenapa kau melepas baju?” “Bagaimana kita bisa melakukan itu kalau masih memakai pakaian?” Jake menggoda Carla dengan bibirnya yang mengambang di depan wajah gadis itu. Suaranya rendah dan sedikit berbisik, membuat wajah Carla semakin merah padam. Akan tetapi,