Nggak-nya perempuan, belum tentu enggak beneran 🤔
Carla terus menyesali keputusannya menolak tawaran Jake. Sudah hampir lima menit dia berjalan jauh, tetapi jalanan besar yang terdapat halte bus belum terlihat. Kakinya terasa lelah dan nyeri. Apalagi, dia memakai sepatu pantofel kulit sehingga membuat tungkai kakinya nyeri dan lecet. Dia sesekali melihat ke arah belakang. Kenapa mobil Jake Wilson belum terlihat? Lalu kenapa jika mobil Jake lewat? ‘Kau sudah menolak tawarannya, bodoh! Apa kau akan menghentikan mobilnya dan menumpang sampai halte bus?’ batin Carla kesal pada diri sendiri. Sementara itu, Jake masih di parkiran. Dia merenung sambil menggenggam kemudi dengan erat. “Menyerahlah .... Jika dia tidak ingin diantar, dia pasti benar-benar tidak menginginkannya. Jangan membuat Carla tidak nyaman,” gumam Jake. Jake membuang napas kasar, lalu mulai menghidupkan mesin mobil. Dia berkendara di arah yang sama dengan Carla. Dari kejauhan, dia melihat Carla berjalan pelan dan sesekali membuka sepatu untuk memijat tungkai kakinya
“Angkat kakimu,” titah Jake. Carla refleks menaikkan sedikit kakinya. Jake segera melepas sepatu lusuh Carla, lalu memasangnya dengan sepatu baru yang lebih nyaman. Jake diam-diam tersenyum. Dia dapat mendengar dengan jelas semua ucapan Carla. Carla tiba-tiba ikut berjongkok. Dia mengambil sepatu lainnya dan memasang sendiri ke kakinya. “Aku bisa sendiri-” ucapan Carla tersekat di tenggorokan. Carla sangat malu. Entah berapa kali dia mempermalukan diri karena prasangka yang terlalu berlebihan. “Dave pasti sudah menunggu. Aku ingin pulang sekarang.” Setelah memasang sepatu, dia langsung mendorong troli barang. Carla dapat bernapas lega karena Jake tak membahas kata-katanya hingga sampai rumah. Suasana di supermarket agak berisik karena musik, Carla pikir, Jake memang tak mendengarnya bicara. “Kak Jake, ayo makan malam bersama,” ajak Dave. “Tentu saja. Pergilah ke depan dengan Fionna, aku akan membantu kakakmu memasak.” Carla tak berusaha mengusir Jake. Dia tahu diri, semua bah
Carla selalu saja menuduh Jake yang tidak-tidak. Padahal, dia tulus ingin membantu Dave yang ingin memiliki badan kuat seperti dirinya. Dave tak mau lagi ditindas teman-temannya di sekolah. Meskipun Dave sebenarnya juga banyak memukul mereka. Tentu saja, Jake langsung menyetujui kemauan keras remaja lelaki itu. Pun, Jake tak bohong ketika mengatakan bahwa dirinya telah menganggap Dave sudah seperti adiknya sendiri. Seumur hidup, Jake ingin merasakan memiliki adik-adik pintar dan patuh seperti Dave dan Fionna. Namun, Joanna tak pernah mau memberikan adik untuknya. Tinggal bersama Dave dan Fionna saja sudah cukup untuk menemani Jake yang selalu kesepian dan ingin membina rumah tangga. Tak dapat dipungkiri, Jake juga senang bisa bertemu dengan Carla setiap hari. Dia pun masih berharap jika Carla mau dijadikan istri. Kendati demikian, Jake tak mau terburu-buru ataupun memaksa sesuka hati. Kini, Carla benar-benar menarik Jake hingga pada batas kesabarannya. Wajah semerah tomat gadis it
“Jadi, kau marah-marah seperti ini hanya karena sepatu itu hadiah pertama dariku?” Jake tersenyum kecil. Dia membuang muka ke arah lain untuk menutupi pipinya yang menghangat dan pastinya sedang bersemu merah. “Maksudku … sepatu itu sangat nyaman digunakan. Aku hanya mau sepatuku kembali. Di mana kau membuangnya? Truk sampah mungkin belum mengambilnya.” Jake semakin besar kepala karena Carla sampai akan berbuat sejauh itu untuk mencari barang pemberiannya. Tak ada yang tak senang ketika pemberiannya dihargai orang lain, apalagi oleh gadis yang disukainya. Jake berdeham. Lidahnya terasa kelu saat ingin bicara sesuatu. Rasanya seperti bocah remaja yang baru pertama kali ingin mengutarakan sesuatu yang sangat besar dan spesial. “Tidak perlu dicari lagi,” kata Jake sambil menyusul Carla keluar. “Ayo, kita beli lagi. Sepatu itu sudah kotor. Masih banyak sepatu yang lebih nyaman dipakai. Aku hanya membelikan sembarang untukmu waktu itu.” “Sepatu itu mahal sekali. Mana mungkin aku tega m
Telinga Jake berkedut-kedut mendengar suara menggoda gadis di hadapannya. ‘Carla mau melakukan itu sekarang?’ Seperti pria yang hendak pergi ke medan perang, semangat Jake meluap-luap. Pria mana yang akan menolak tawaran menggiurkan itu? Jake langsung mendekati Carla. Dia menarik pergelangan tangan Carla hingga bangun, lalu membimbingnya ke kamar gadis itu. ‘Tunggu … Dave bisa pulang sewaktu-waktu,’ batin Jake. Masa bodoh! Ketika sampai di kamar itu, Jake langsung mengunci pintu. Carla tersentak dan menunduk. Jake berbalik dan langsung mengusap rambut Carla, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Kemudian melepaskan kancing kemejanya sendiri. Mata Carla bergerak naik-turun dari dada Jake ke wajahnya berulang-ulang. “Kenapa kau melepas baju?” “Bagaimana kita bisa melakukan itu kalau masih memakai pakaian?” Jake menggoda Carla dengan bibirnya yang mengambang di depan wajah gadis itu. Suaranya rendah dan sedikit berbisik, membuat wajah Carla semakin merah padam. Akan tetapi,
“Oh, kalian semua berkumpul di sini. Wah, Emma sudah pulang rupanya.” Ariana mengambil barangnya yang terjatuh. “Nyonya Ariana ...,” sapa Emma canggung. “Kau membuatku kaget.” Ariana seolah tak mendengar kata-kata Jake barusan. “Kau banyak sekali berubah.” Emma tersenyum kikuk. “Ya, di sana cuacanya lumayan panas.” Mereka terdiam, tak tahu harus bicara apa lagi. Semua orang tahu jika Ariana sering mengamati Jake Wilson dan menduga bahwa dia menyukai pria itu. “Aku membelikan baju untuk Claus dan Collin. Aku akan menaruhnya di kamar mereka.” Ariana sekalian pamit pulang. “Terima kasih, Oma Joanna, sudah mengantarku belanja.” Joanna terlihat seperti orang yang telah berbuat dosa besar pada Ariana. Dia menepuk lembut punggung Ariana sambil mengangguk dengan senyuman. Asher mengikuti kakaknya menuju kamar si kembar. “Kau mendengar ucapan Jake?” tanya Asher, di saat mereka sampai di kamar. “Ya,” jawab Ariana sambil mengeluarkan barang belanjaan dan menatanya di meja. “Apa ini cukup
“Oma, Carla punya dua adik yang masih sekolah. Sejak orang tuanya meninggal, Carla jadi tulang punggung keluarga. Dia sangat dewasa, dan aku yakin dia bisa menjadi istri yang baik untuk Paman Jake.” Laura terpaksa ikut campur karena Paman dan omanya terlihat diliputi amarah. “Dia juga sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya. Bayangkan saja, Oma, banyak sekali perempuan di luar sana dengan usia matang, tetapi masih sering bertingkah kekanakan,” lanjutnya. Asher Smith menatap Laura kecewa. “Diam saja kau, Sayang,” geram Asher tertahan. “Laura benar. Apa Mama lebih suka aku menikah dengan sembarang wanita, yang bisa saja hanya ingin mengincar hartaku?” Jake senang keponakannya sangat pengertian. Joanna tetap tak setuju dengan rencana itu. Masih ada perempuan usia matang yang lebih cocok dengan Jake, contohnya Ariana. “Aku tahu, Mama ingin aku menikah dengan Kak Ariana, bukan?” Jake sengaja memanggil Ariana dengan sebutan itu agar Joanna ingat jika Ariana tak lagi muda, juga merupa
Simon lekas membopong Joanna menuju kamarnya. Berteriak kepada pelayan untuk memanggilkan dokter segera. “Apa yang terjadi? Kenapa Mama tiba-tiba pingsan? Apa karena kata-kataku?” Simon sibuk menghubungi Jake yang tak kunjung mengangkat telepon. Sementara itu, kesadaran Joanna telah kembali. Dia dapat melihat keresahan Simon lebih jelas sekarang, bukan hanya sekedar sandiwara. Simon mondar-mandir di dekat ranjang dengan ponsel melekat di telinga. “Ke mana kau Jake?” gumam Simon. Joanna mungkin baru paham alasan Callista bisa tergila-gila kepada pria itu. Simon sebenarnya sangat pengertian dan hangat kepada keluarga, jika bukan karena pengaruh orang-orang yang memfitnah Callista. Sayangnya, kematian Callista masih belum dapat diterima sepenuhnya sehingga dia tak bisa membuka hati atau sekedar bersikap baik kepada Simon. Saat ini pun, Joanna masih memejamkan mata, tak mau mendengar kekhawatiran Simon, yang mungkin dapat melunakkan hatinya, dan akan membuatnya lupa pada penderitaan C