Waduh waduh ... ada yang patah hati 💔💔
“Oh, kalian semua berkumpul di sini. Wah, Emma sudah pulang rupanya.” Ariana mengambil barangnya yang terjatuh. “Nyonya Ariana ...,” sapa Emma canggung. “Kau membuatku kaget.” Ariana seolah tak mendengar kata-kata Jake barusan. “Kau banyak sekali berubah.” Emma tersenyum kikuk. “Ya, di sana cuacanya lumayan panas.” Mereka terdiam, tak tahu harus bicara apa lagi. Semua orang tahu jika Ariana sering mengamati Jake Wilson dan menduga bahwa dia menyukai pria itu. “Aku membelikan baju untuk Claus dan Collin. Aku akan menaruhnya di kamar mereka.” Ariana sekalian pamit pulang. “Terima kasih, Oma Joanna, sudah mengantarku belanja.” Joanna terlihat seperti orang yang telah berbuat dosa besar pada Ariana. Dia menepuk lembut punggung Ariana sambil mengangguk dengan senyuman. Asher mengikuti kakaknya menuju kamar si kembar. “Kau mendengar ucapan Jake?” tanya Asher, di saat mereka sampai di kamar. “Ya,” jawab Ariana sambil mengeluarkan barang belanjaan dan menatanya di meja. “Apa ini cukup
“Oma, Carla punya dua adik yang masih sekolah. Sejak orang tuanya meninggal, Carla jadi tulang punggung keluarga. Dia sangat dewasa, dan aku yakin dia bisa menjadi istri yang baik untuk Paman Jake.” Laura terpaksa ikut campur karena Paman dan omanya terlihat diliputi amarah. “Dia juga sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya. Bayangkan saja, Oma, banyak sekali perempuan di luar sana dengan usia matang, tetapi masih sering bertingkah kekanakan,” lanjutnya. Asher Smith menatap Laura kecewa. “Diam saja kau, Sayang,” geram Asher tertahan. “Laura benar. Apa Mama lebih suka aku menikah dengan sembarang wanita, yang bisa saja hanya ingin mengincar hartaku?” Jake senang keponakannya sangat pengertian. Joanna tetap tak setuju dengan rencana itu. Masih ada perempuan usia matang yang lebih cocok dengan Jake, contohnya Ariana. “Aku tahu, Mama ingin aku menikah dengan Kak Ariana, bukan?” Jake sengaja memanggil Ariana dengan sebutan itu agar Joanna ingat jika Ariana tak lagi muda, juga merupa
Simon lekas membopong Joanna menuju kamarnya. Berteriak kepada pelayan untuk memanggilkan dokter segera. “Apa yang terjadi? Kenapa Mama tiba-tiba pingsan? Apa karena kata-kataku?” Simon sibuk menghubungi Jake yang tak kunjung mengangkat telepon. Sementara itu, kesadaran Joanna telah kembali. Dia dapat melihat keresahan Simon lebih jelas sekarang, bukan hanya sekedar sandiwara. Simon mondar-mandir di dekat ranjang dengan ponsel melekat di telinga. “Ke mana kau Jake?” gumam Simon. Joanna mungkin baru paham alasan Callista bisa tergila-gila kepada pria itu. Simon sebenarnya sangat pengertian dan hangat kepada keluarga, jika bukan karena pengaruh orang-orang yang memfitnah Callista. Sayangnya, kematian Callista masih belum dapat diterima sepenuhnya sehingga dia tak bisa membuka hati atau sekedar bersikap baik kepada Simon. Saat ini pun, Joanna masih memejamkan mata, tak mau mendengar kekhawatiran Simon, yang mungkin dapat melunakkan hatinya, dan akan membuatnya lupa pada penderitaan C
Jake Wilson, pria yang mengenakan setelan mahal dan sepatu kulit mengilat, saat ini sedang duduk di sudut pasar. Dia menanti Carla selesai bekerja dengan sabar. Beberapa orang menatap Jake keheranan. Bukan hanya penampilan yang menarik perhatian, Jake sejak tadi senyum-senyum sendirian. Dari kejauhan, Carla tampak begitu indah di tengah-tengah daging yang menggantung di tokonya. Terkadang, Jake mengernyit sebal ketika melihat beberapa pria menggoda kekasihnya. “Kurang ajar!” geram Jake. “Tuan, bisakah kau pergi dari depan tokoku? Kau menakuti semua orang yang mau membeli di sini!” usir pria si pemilik kursi yang diduduki Jake. Jake mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya. Dia bahkan tak menghitung jumlahnya, lalu memberikan kepada pemilik toko itu. Tatapannya hanya fokus pada sang gadis yang telah mengisi hatinya. “Jangan berisik selama aku duduk di sini!” kecam Jake. Pemilik toko itu langsung merebut uang dari tangan Jake dengan wajah berseri-seri. “Silakan duduk di sini
Beberapa jam sebelum Alan pergi ke toko daging Paulo, Hillary tiba-tiba datang menemui Alan di kantor. Menimbulkan keributan karena dia meminta langsung pada atasan Alan supaya bisa membawa pria itu pergi saat jam kerja. “Enak sekali kau mau putus sekarang! Tugasmu sebagai calon tunanganku masih banyak, Alan Ruiz!” sergah Hillary sambil berkacak pinggang. Sudah minggu lalu Alan memutuskan pertunangan dengan Hillary. Karena wanita itu sedang sibuk dan banyak pergi ke luar kota, Alan hanya menyampaikan kepada orang tua Hillary. Tak ada yang memedulikan hubungan mereka, di mana orang tua kedua pasangan itu tahu jika pertunangan mereka hanya sebagian dari rencana Asher untuk mendapatkan Laura. “Terserah kau. Aku sudah bilang kepada orang tuamu. Mau kau suka atau tidak, hubungan kita sudah berakhir. Lagi pula, ada wanita yang ingin aku dekati.” Alan sedikit pun tak mau melihat Hillary. Wanita itu dua kali memporak-porandakan hubungannya dengan wanita. Alan sebenarnya ingin memutuskan h
Carla membicarakan masa depan bersama Jake dengan santai karena berpikir bahwa mereka hanya sedang berangan-angan. Namun, betapa terkejut dirinya ketika Jake membelokkan pembicaraan mereka secara drastis, dengan lamaran yang mengejutkan. Jake mencium bibir Carla yang sedikit terbuka. Betapa lucunya wajah terkejut Carla sekarang di mata Jake. Dia memang sengaja bicara santai agar suasana tak tegang dan terkesan formal. Namun, Carla ternyata tetap sangat kaget dan gugup. “Apa kau berubah pikiran dan tidak mau menikah denganku?” Jake mencium singkat bibir Carla sekali lagi untuk membangunkan gadis itu dari keterkejutan. “K-kau ... bagaimana bisa kau lincah sekali mengubah topik pembicaraan?” Jake tersenyum ringan sambil menggosok hidungnya. “Lalu apa jawabanmu?” Wajah Carla bersemu merah selagi menyodorkan telapak tangan yang mengarah ke bawah. “Pakaikan.” Dia berpaling muka begitu mengatakannya. Jake menyelipkan cincin di jari manis Carla secara perlahan. “Kau juga perlu memakaik
Jake Wilson kini terang-terangan mengantarkan Carla ke tempat kerja. Pria penjaga toko yang dijumpainya kemarin, melambaikan tangan ke arahnya dengan ceria. “Kau mengenal orang itu?” “Oh, aku pernah bertemu dengannya saat menunggumu pulang kerja kemarin.” Jake tak berniat menyembunyikan perbuatannya. Lagi pula, dia memang mencintai Carla dan ingin selalu melihatnya. Tak perlu malu ataupun tak mau mengakui bahwa dirinyalah yang mengejar cinta Carla. Jake Wilson bukanlah Asher Smith. “Kau menungguku? Kenapa tidak langsung menemuiku saja?” Carla berlagak tak tahu. Dalam hati, dia sangat senang karena Jake pria jujur dan berterus terang. “Aku tidak mau mengganggumu bekerja.” Jake mengusap lembut rambut Carla tatkala mereka sampai di depan toko daging. “Telepon aku kalau sudah pulang. Nanti malam, kita akan menemui mamaku untuk membicarakan pernikahan kita.” DEG! Carla terkejut bukan main. Kenapa secepat ini Jake mengajaknya bicara dengan Joanna? Dia perlu menata hati dan bersiap un
Jake ingin menjadi seperti Rick? “Mama bisa punya banyak cucu sekaligus jika Jake berubah jadi seperti Rick,” bisik Simon menakuti. Tak ada seorang pun dari Keluarga Wilson yang tak tahu tingkah laku Rick. Bahkan, Joanna tak putus menasihati pria itu. Joanna memijat tengkuknya kala membayangkan putra satu-satunya akan membawa pulang gadis yang berbeda-beda setiap malam. Melajang seumur hidup seratus kali lebih baik daripada menebar benih di mana saja! Sialnya, kata-kata Simon membuat Joanna ketakutan. Joanna mungkin bisa memiliki banyak cucu dari wanita-wanita yang tak jelas asal-usulnya. Belum lagi, pasti ada wanita yang akan mengaku-ngaku dihamili putranya. “Siapa bilang aku tidak merestui kalian!? Apa aku tidak boleh bertanya!?” sergah Joanna. Carla dan Jake menghela napas lega hampir bersamaan. Mereka langsung bertatapan sambil melemparkan senyuman. “Mama akan memanggil keluarga kita yang lain supaya ikut membantu mengurus pernikahan kalian,” sambung Joanna. Meskipun Joann
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang