Jake atau Hillary?
Beberapa hari ini, Jake kehilangan konsentrasi setiap melakukan sesuatu. Apalagi, ketika dirinya sedang makan. Semua hidangan yang disajikan untuknya, dari Shane hingga koki ternama, tak ada satu pun yang sesuai dengan lidahnya. “Gawat, apa jangan-jangan, Carla memasukkan bumbu rahasia yang membuat lidahku kebas saat merasakan makanan lain?” Jake panik dan khawatir. Dia gegas pergi ke dokter untuk memeriksakan diri. Namun, tak ada yang salah dengan kondisi kesehatannya. “Kondisi Anda sangat bagus, Tuan Jake. Tidak ada yang salah dengan hasil pemeriksaan darah, MRI, urin, dan lainnya.” Jake bernapas lega. Dia sebenarnya tak perlu melakukan pemeriksaan lengkap hanya karena lidahnya bermasalah. Namun, siapa tahu dia mengidap penyakit serius yang mematikan? Setelah pulang dari rumah sakit, Jake mengajak Shane dan Rick makan di restoran Asher. Dia tak pernah kecewa dengan semua menu makanan di sana, tetapi tidak untuk kali ini. “Kau tidak mau memakan itu, Jake?” tanya Shane sambil m
“Berhenti, Paman!” Hillary menyentak tangannya sebelum mereka sampai mobil. “Aku bukan Carla!” Jake mengusap kasar wajahnya. Melihat gadis yang ada dalam bayangannya beberapa hari ini, membuatnya gugup ketika berhadapan langsung. Kalimat penolakan Carla terngiang di benaknya ketika menatap matanya. Jake belum pernah ditolak sebelumnya. Mentalnya mendadak turun begitu menghadapi orang yang telah menolak dirinya. “Kenapa aku jadi seperti ini? Sepertinya aku sudah gila,” gumam Jake. “Jangan bilang ... Paman gugup? Astaga! Kau bilang pernah punya beberapa wanita!” Hillary memukul-mukul lengan Jake. “Sia-sia punya badan besar seperti ini kalau menghadapi wanita saja takut!” “Siapa yang takut!?” sergah Jake, tak terima. “Kalau begitu, ayo kita susul mereka!” Hillary tak mau menyia-nyiakan saham yang akan diberikan Jake untuknya. Dia sudah untung banyak saat membantu Asher berpura-pura jadi tunangan Alan. Dan tak mau melewatkan keuntungan lain yang tak kalah besar. Di saat yang sama,
Carla terus menyesali keputusannya menolak tawaran Jake. Sudah hampir lima menit dia berjalan jauh, tetapi jalanan besar yang terdapat halte bus belum terlihat. Kakinya terasa lelah dan nyeri. Apalagi, dia memakai sepatu pantofel kulit sehingga membuat tungkai kakinya nyeri dan lecet. Dia sesekali melihat ke arah belakang. Kenapa mobil Jake Wilson belum terlihat? Lalu kenapa jika mobil Jake lewat? ‘Kau sudah menolak tawarannya, bodoh! Apa kau akan menghentikan mobilnya dan menumpang sampai halte bus?’ batin Carla kesal pada diri sendiri. Sementara itu, Jake masih di parkiran. Dia merenung sambil menggenggam kemudi dengan erat. “Menyerahlah .... Jika dia tidak ingin diantar, dia pasti benar-benar tidak menginginkannya. Jangan membuat Carla tidak nyaman,” gumam Jake. Jake membuang napas kasar, lalu mulai menghidupkan mesin mobil. Dia berkendara di arah yang sama dengan Carla. Dari kejauhan, dia melihat Carla berjalan pelan dan sesekali membuka sepatu untuk memijat tungkai kakinya
“Angkat kakimu,” titah Jake. Carla refleks menaikkan sedikit kakinya. Jake segera melepas sepatu lusuh Carla, lalu memasangnya dengan sepatu baru yang lebih nyaman. Jake diam-diam tersenyum. Dia dapat mendengar dengan jelas semua ucapan Carla. Carla tiba-tiba ikut berjongkok. Dia mengambil sepatu lainnya dan memasang sendiri ke kakinya. “Aku bisa sendiri-” ucapan Carla tersekat di tenggorokan. Carla sangat malu. Entah berapa kali dia mempermalukan diri karena prasangka yang terlalu berlebihan. “Dave pasti sudah menunggu. Aku ingin pulang sekarang.” Setelah memasang sepatu, dia langsung mendorong troli barang. Carla dapat bernapas lega karena Jake tak membahas kata-katanya hingga sampai rumah. Suasana di supermarket agak berisik karena musik, Carla pikir, Jake memang tak mendengarnya bicara. “Kak Jake, ayo makan malam bersama,” ajak Dave. “Tentu saja. Pergilah ke depan dengan Fionna, aku akan membantu kakakmu memasak.” Carla tak berusaha mengusir Jake. Dia tahu diri, semua bah
Carla selalu saja menuduh Jake yang tidak-tidak. Padahal, dia tulus ingin membantu Dave yang ingin memiliki badan kuat seperti dirinya. Dave tak mau lagi ditindas teman-temannya di sekolah. Meskipun Dave sebenarnya juga banyak memukul mereka. Tentu saja, Jake langsung menyetujui kemauan keras remaja lelaki itu. Pun, Jake tak bohong ketika mengatakan bahwa dirinya telah menganggap Dave sudah seperti adiknya sendiri. Seumur hidup, Jake ingin merasakan memiliki adik-adik pintar dan patuh seperti Dave dan Fionna. Namun, Joanna tak pernah mau memberikan adik untuknya. Tinggal bersama Dave dan Fionna saja sudah cukup untuk menemani Jake yang selalu kesepian dan ingin membina rumah tangga. Tak dapat dipungkiri, Jake juga senang bisa bertemu dengan Carla setiap hari. Dia pun masih berharap jika Carla mau dijadikan istri. Kendati demikian, Jake tak mau terburu-buru ataupun memaksa sesuka hati. Kini, Carla benar-benar menarik Jake hingga pada batas kesabarannya. Wajah semerah tomat gadis it
“Jadi, kau marah-marah seperti ini hanya karena sepatu itu hadiah pertama dariku?” Jake tersenyum kecil. Dia membuang muka ke arah lain untuk menutupi pipinya yang menghangat dan pastinya sedang bersemu merah. “Maksudku … sepatu itu sangat nyaman digunakan. Aku hanya mau sepatuku kembali. Di mana kau membuangnya? Truk sampah mungkin belum mengambilnya.” Jake semakin besar kepala karena Carla sampai akan berbuat sejauh itu untuk mencari barang pemberiannya. Tak ada yang tak senang ketika pemberiannya dihargai orang lain, apalagi oleh gadis yang disukainya. Jake berdeham. Lidahnya terasa kelu saat ingin bicara sesuatu. Rasanya seperti bocah remaja yang baru pertama kali ingin mengutarakan sesuatu yang sangat besar dan spesial. “Tidak perlu dicari lagi,” kata Jake sambil menyusul Carla keluar. “Ayo, kita beli lagi. Sepatu itu sudah kotor. Masih banyak sepatu yang lebih nyaman dipakai. Aku hanya membelikan sembarang untukmu waktu itu.” “Sepatu itu mahal sekali. Mana mungkin aku tega m
Telinga Jake berkedut-kedut mendengar suara menggoda gadis di hadapannya. ‘Carla mau melakukan itu sekarang?’ Seperti pria yang hendak pergi ke medan perang, semangat Jake meluap-luap. Pria mana yang akan menolak tawaran menggiurkan itu? Jake langsung mendekati Carla. Dia menarik pergelangan tangan Carla hingga bangun, lalu membimbingnya ke kamar gadis itu. ‘Tunggu … Dave bisa pulang sewaktu-waktu,’ batin Jake. Masa bodoh! Ketika sampai di kamar itu, Jake langsung mengunci pintu. Carla tersentak dan menunduk. Jake berbalik dan langsung mengusap rambut Carla, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Kemudian melepaskan kancing kemejanya sendiri. Mata Carla bergerak naik-turun dari dada Jake ke wajahnya berulang-ulang. “Kenapa kau melepas baju?” “Bagaimana kita bisa melakukan itu kalau masih memakai pakaian?” Jake menggoda Carla dengan bibirnya yang mengambang di depan wajah gadis itu. Suaranya rendah dan sedikit berbisik, membuat wajah Carla semakin merah padam. Akan tetapi,
“Oh, kalian semua berkumpul di sini. Wah, Emma sudah pulang rupanya.” Ariana mengambil barangnya yang terjatuh. “Nyonya Ariana ...,” sapa Emma canggung. “Kau membuatku kaget.” Ariana seolah tak mendengar kata-kata Jake barusan. “Kau banyak sekali berubah.” Emma tersenyum kikuk. “Ya, di sana cuacanya lumayan panas.” Mereka terdiam, tak tahu harus bicara apa lagi. Semua orang tahu jika Ariana sering mengamati Jake Wilson dan menduga bahwa dia menyukai pria itu. “Aku membelikan baju untuk Claus dan Collin. Aku akan menaruhnya di kamar mereka.” Ariana sekalian pamit pulang. “Terima kasih, Oma Joanna, sudah mengantarku belanja.” Joanna terlihat seperti orang yang telah berbuat dosa besar pada Ariana. Dia menepuk lembut punggung Ariana sambil mengangguk dengan senyuman. Asher mengikuti kakaknya menuju kamar si kembar. “Kau mendengar ucapan Jake?” tanya Asher, di saat mereka sampai di kamar. “Ya,” jawab Ariana sambil mengeluarkan barang belanjaan dan menatanya di meja. “Apa ini cukup
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang