Undangan pernikahan? 🙄
“Undangan apa? Dia tak memberi tahu apa pun padaku ….” Laura mendadak kecewa setelah disodorkan undangan, bahkan sebelum membacanya. “Jangan cemberut dulu. Bacalah ….” Laura membuka undangan itu dengan air muka kesal. Namun, wajahnya berubah dalam sekejap. “Ya ampun, Sayang, ini gawat! Aku melupakan ulang tahun Paman Ben!” seru Laura panik. “Memangnya kenapa? Aku sudah membelikan mobil keluaran terbaru sebagai hadiah sejak membaca undangan itu. Kau tinggal menulis kartu ucapan untuknya.” Laura terkekeh geli. Membayangkan mobil itu dibungkus dengan menyelipkan kertas kecil di dalamnya. “Kau ada-ada, Sayang. Apa kita harus mengajak Claus dan Collin? Aku akan memberi tahu Hanna dulu ….” “Tidak perlu mengajak anak-anak, Sayang. Mereka bisa lelah nanti.” Laura mengangguk dan segera menyiapkan gaun untuk nanti malam. Alaina dan Alanis ikut membantu Laura menyiapkan beberapa gaun baru yang telah dipesan Asher sebelumnya.Selagi mencoba gaun-gaun itu, Laura berusaha menghubungi Emma, t
“Nyonya Pamela yang mengundang saya, Tuan. Maaf jika saya tidak memberi tahu Anda.” Theo menjadi salah tingkah tiba-tiba bertemu Asher. “Kenapa kau harus minta maaf? Kau punya kehidupan pribadimu sendiri. Aku hanya terkejut. Nikmatilah pestanya.” Asher menepuk bahu Theo, kemudian menggandeng Laura pergi. Pasangan suami istri itu selalu bertingkah seperti dua orang yang sedang dimabuk cinta. Asher tak segan-segan menunjukkan perhatian di depan banyak orang. Sebab, Asher sama sekali tak melihat sekelilingnya. Hanya ada Laura yang ada di matanya.“Tunggu sebentar, Sayang. Ada noda minuman di sudut bibirmu,” ucap Asher. Laura hendak mengusap bibirnya, tetapi Asher langsung mencegah tangannya. Asher tiba-tiba mendekatkan wajah dan memajukan bibirnya ke sudut mulut Laura. Dengan cepat dia menjilat noda itu. “Sayang! Banyak orang di sini!” Laura menyeka mulutnya dengan punggung tangan. “Aku hanya membersihkan bibirmu. Salah siapa tidak menyediakan tisu?” kilah Asher. “Bibirmu manis seka
Emma Ruiz menggeliat di atas ranjang. Kepalanya terasa pusing saat dia berusaha bangun. “Ugh ….” Emma duduk sambil menekan kedua matanya yang masih terasa lengket. Matanya mengerjap ketika melihat cahaya matahari yang masuk melalui sela tirai jendela yang tak tertutup rapat. Dengan enggan, dia turun dari ranjang dan langsung menuju kamar mandi. Jam pagi hari ini terasa lambat karena rasa malas yang tiba-tiba menggodanya untuk meliburkan diri dari rutinitas. Akan tetapi, teriakan Pamela segera menyadarkan dirinya. “Em, kau masih tidur?! Semua orang sudah mau pergi! Kau sudah bosan bekerja?!” Pamela berseru sambil menata tempat tidur Emma dengan satu pelayan. “Iya, Mama!” Emma balas berteriak dari dalam kamar mandi. Emma menyelesaikan rutinitas paginya dengan cepat. Dia pergi ke kantor tanpa sarapan lebih dulu karena sudah terlambat. Di kantor, dia telah ditunggu Judith, sekretarisnya yang telah bersiap untuk pergi ke suatu tempat. “Kau mau ke mana?” “Anda lupa? Kita harus menemu
“Judith, kau kembali ke kantor dulu pakai taksi. Aku akan mengantar dokumen ini sebentar.” “Baik, Nona, jangan lama-lama. Pekerjaan kita masih banyak.” Emma berkomat-kamit tanpa suara menanggapi Judith. Ada saja pesan atau teguran setiap kali dia bicara dengan sang sekretaris.Dia kemudian masuk ke mobilnya. Kemudian menyuruh sopir untuk mengantar ke alamat yang dimaksud. Sampai di depan gedung apartemen mewah, Emma menghubungi nomor pria itu. Namun, pria itu tak menjawab panggilan telepon. Emma lalu masuk ke dalam, menuju ke lantai sesuai yang diberitahu oleh karyawan di kantor Asher Smith. Selama di dalam elevator, Emma terus mempertanyakan diri sendiri, kenapa tidak menyuruh Judith saja yang mengantarnya? Apa dia ingin bertemu dengan pria itu.Dada Emma mendadak berdebar-debar kencang tatkala elevator yang membawanya naik telah sampai di tujuan. Dia mendadak ragu untuk melangkah keluar elevator, tetapi dalam sekejap kakinya sudah ada di luar. ‘Kenapa aku ke sini? Aku seharusnya
Mata Emma melebar tatkala Theo melahap bibirnya dengan rakus. Dia mendorong-dorong Theo sekuat tenaga, tetapi pria itu jauh lebih kuat darinya. “Emph …!” Emma memekik tertahan. Theo semakin erat merengkuh tubuhnya. Jadi, seperti ini rasanya bibir perempuan … Theo baru kali ini merasakannya. Dia mulai memasukkan lidahnya ke rongga mulut Emma. Dengan memejamkan mata, dia menikmati setiap gerakan kasar Emma yang berusaha menggigit lidahnya. Akan tetapi, setiap kali Emma memberontak, Theo justru semakin bergairah dibuatnya. Dia berkelit dari setiap gigitan Emma. Hingga lidahnya melesak sangat dalam dan membuat Emma hampir kehilangan napasnya. “Hentikan!” Emma menampar pipi Theo dengan keras, segera setelah Theo melepaskan bibirnya. Napasnya terengah-engah selagi berusaha menghirup udara dengan cepat. Theo justru sangat menyukainya. Akal sehatnya hilang sepenuhnya. Gambaran percintaan yang biasa Asher lakukan bersama Laura memenuhi benaknya. Jika Asher bisa mendapatkan wanita seperti
Emma mengangguk dengan cepat tanda setuju. “Aku janji ... akan menurutimu. B-biarkan aku pergi dari sini.” Theo mengambil handuknya yang tergeletak di lantai, lalu memakainya. “Ikut denganku.” Emma turun dari meja. Kakinya terasa lemas hingga membuatnya hampir terjatuh. Beruntung, kedua tangannya masih memegang erat tepi meja. Dia segera memunguti pakaian dan memakainya dengan cepat. Tak peduli jika penampilannya acak-acakan karena asal memakai baju.Dengan langkah cepat, dia bergegas menyusul Theo. Degup kencang dari dalam dadanya kembali terdengar keras. Theo masuk ke dalam kamar, tetapi Emma tak berani mengikutinya. ‘Apa yang ingin dia lakukan? Kenapa mengajakku ke kamarnya?’ Emma masih ingat sosok Theo yang menjadi buas sebelumnya.“Kau tidak mau masuk?” Walaupun Theo hanya bertanya, Emma menganggap sebagai ancaman.Emma menelan ludah bulat-bulat. Kakinya terasa lemas tatkala menapak lantai dingin di kamar itu. Karena gerakan lambatnya, Theo berbalik, lalu mengangkat tubuh Emm
"Berhati-hati denganku?"Kemunculan Theo mengejutkan Emma. Darah di wajahnya seakan tersedot keluar hingga terlihat pucat pasi.Laura mengamati perubahan wajah sahabatnya yang tampak ketakutan. Di lain sisi, Theo terlihat seperti biasanya, tanpa ekspresi. 'Apa yang terjadi di antara mereka berdua?' batin Laura penasaran.Sementara itu, Asher justru tersenyum samar. Dia pikir, Theo sudah berhasil membuat Emma gugup hingga terlihat takut-takut saat berhadapan dengannya.Bukankah Laura dulu juga seperti itu? Pura-pura takut dan malu, ternyata sangat mau."Kenapa Tuan Asher dan Nyonya Laura harus berhati-hati denganku?" Theo mengulang pertanyaan sekali lagi.Emma membisu. Rongga mulutnya terasa mengering dan lengket hingga tak dapat mengucap sepatah kata pun."Kenapa kau jadi tegang sekali?" Asher berniat menggoda Emma. Namun, mata Emma malah berkaca-kaca. "Ada apa, Theo? Apa yang kau lakukan pada sahabat istriku?"Theo menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Saya mengajak Nona Emma berkenca
‘Paman Jake mengajakku makan malam?!’ Emma menjerit-jerit dalam hati. Senyuman lebar terbit di bibirnya. Emma tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya hingga tak sadar di mana dirinya sekarang. Berulang kali dia membaca pesan itu pun, isinya tetap sama! [Jika ada waktu setelah bekerja, aku ingin mengajakmu makan malam.] Namun, tunggu … kenapa Jake tiba-tiba bersikap baik padanya? Bukankah kemarin, Jake jelas-jelas sudah menolak dirinya? Sikap Jake pun sangat dingin dan formal.‘Apakah Paman Jake menyesal sudah menolakku? Dia ingin minta maaf dan … ahhh!!!’ Emma menangkup wajahnya dengan perasaan bahagia oleh angan-angan.Sesaat kemudian, pertanyaan Emma langsung terjawab. Pesan singkat lain muncul dan langsung dibukanya. [Maaf, aku lupa masih memakai ponsel Jake. Aku yang mengirim pesan sebelumnya. Rick.] Wajah Emma sontak berubah menjadi seperti bunga layu. Ternyata, kecurigaannya benar. Tak mungkin Jake tiba-tiba mengajaknya berkencan!Dunia Emma yang sebelumnya bercahaya terang,