Emma bukan Laura yang iya-iya tetap iya, Theo 😶🌫️
"Berhati-hati denganku?"Kemunculan Theo mengejutkan Emma. Darah di wajahnya seakan tersedot keluar hingga terlihat pucat pasi.Laura mengamati perubahan wajah sahabatnya yang tampak ketakutan. Di lain sisi, Theo terlihat seperti biasanya, tanpa ekspresi. 'Apa yang terjadi di antara mereka berdua?' batin Laura penasaran.Sementara itu, Asher justru tersenyum samar. Dia pikir, Theo sudah berhasil membuat Emma gugup hingga terlihat takut-takut saat berhadapan dengannya.Bukankah Laura dulu juga seperti itu? Pura-pura takut dan malu, ternyata sangat mau."Kenapa Tuan Asher dan Nyonya Laura harus berhati-hati denganku?" Theo mengulang pertanyaan sekali lagi.Emma membisu. Rongga mulutnya terasa mengering dan lengket hingga tak dapat mengucap sepatah kata pun."Kenapa kau jadi tegang sekali?" Asher berniat menggoda Emma. Namun, mata Emma malah berkaca-kaca. "Ada apa, Theo? Apa yang kau lakukan pada sahabat istriku?"Theo menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Saya mengajak Nona Emma berkenca
‘Paman Jake mengajakku makan malam?!’ Emma menjerit-jerit dalam hati. Senyuman lebar terbit di bibirnya. Emma tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya hingga tak sadar di mana dirinya sekarang. Berulang kali dia membaca pesan itu pun, isinya tetap sama! [Jika ada waktu setelah bekerja, aku ingin mengajakmu makan malam.] Namun, tunggu … kenapa Jake tiba-tiba bersikap baik padanya? Bukankah kemarin, Jake jelas-jelas sudah menolak dirinya? Sikap Jake pun sangat dingin dan formal.‘Apakah Paman Jake menyesal sudah menolakku? Dia ingin minta maaf dan … ahhh!!!’ Emma menangkup wajahnya dengan perasaan bahagia oleh angan-angan.Sesaat kemudian, pertanyaan Emma langsung terjawab. Pesan singkat lain muncul dan langsung dibukanya. [Maaf, aku lupa masih memakai ponsel Jake. Aku yang mengirim pesan sebelumnya. Rick.] Wajah Emma sontak berubah menjadi seperti bunga layu. Ternyata, kecurigaannya benar. Tak mungkin Jake tiba-tiba mengajaknya berkencan!Dunia Emma yang sebelumnya bercahaya terang,
Theo tersadar dalam sekejap. Dia tak mengerti, kenapa dirinya tiba-tiba marah? Dan kenapa langsung bertindak secara impulsif seperti sekarang?"Anda sudah datang ...," Theo bicara sekenanya."Ya?" Emma tampak kebingungan. Rasa takutnya menghilang dengan adanya Jake di sisinya."Anda tadi menyuruhku ke sini." "Kau juga mengundang Theo?" Rick terlihat bingung dan kecewa. Apakah Emma takut pergi dengan dua pria dewasa itu?"A-ah, iya." Jake melirik ke arah Emma. Dia dapat menebak jika Emma sekarang sedang berbohong. Namun, Jake tak dapat membaca ekspresi wajah Theo. Kenapa Emma harus berbohong dan menyetujui kata-kata Theo?Ada yang mencurigakan, pikirnya. Kenapa Emma yang biasanya sering mengolok-olok Theo, justru mengajaknya keluar? Apakah Emma berniat membuat dirinya cemburu?Akan tetapi, Jake segera menyangkal dugaannya sendiri. Emma bisa menggunakan Rick, alih-alih Theo yang tak begitu dekat dengan Jake.Tatkala Theo bergabung di meja mereka, Emma tampak lebih gelisah dari sebelum
Meskipun tak ingin bertatap muka, tetapi mereka tetap harus menghadiri acara yang sama. Karena Asher Smith menyerahkan kerja sama dengan perusahaan Emma sepenuhnya. Di pagi hari yang mendung, Theo telah duduk menanti di kantor Emma. Pria itu tak datang sendiri. Dia sedang mendiskusikan sebuah dokumen bersama dengan Carla. Meskipun hanya Theo yang fokus dengan pekerjaan mereka, sedangkan Carla sibuk mengagumi ketampanannya. Sementara itu, Emma baru saja sampai di depan gedung kantornya. Kantor itu masih baru dan tak begitu besar, tak ada pula parkir di dalam Dia harus berlari-lari melewati gerimis yang mulai menitik dari langit. Berangkat terburu-buru, Emma tak begitu memperhatikan penampilannya pagi ini. Kemeja putihnya cukup tipis sehingga gerimis berhasil membuat pakaian dalam hitamnya sedikit terlihat.“Nona, kenapa kau tidak memakai payung? Kau juga datang terlambat sepuluh menit. Perwakilan Smith Group sudah sampai sejak tadi,” omel Judith. Sang sekretaris tak tahu, atasanny
‘Apa yang baru saja aku katakan?!’ Emma membeliakkan mata, tetapi tak melepaskan Theo. Suara detak jantung Theo terdengar jelas di telinganya. Normal, tidak sekencang irama jantungnya. ‘Jadi, dia benar-benar hanya mengancamku dan tidak merasakan apa pun saat menyentuhku?’ Entah mengapa, Emma kecewa saat mengetahui kenyataan dari buat pikirnya sendiri. Theo melepaskan jas tanpa memedulikan pelukan Emma. Kemudian menyampirkan jas itu di pundak wanita yang kian erat memeluknya. Emma sangat malu hingga dia membeku. Ingin melepas pelukan, tetapi takut melihat reaksi Theo. Alhasil, dia diam saja dan menunggu Theo menyentak tangannya seperti sebelumnya. “Masih dingin?” ‘Tidak sedingin kau!’ Selama beberapa menit, mereka tetap ada di posisi yang sama. Hingga terdengar langkah kaki para pekerja kian mendekat. Emma langsung mendorong Theo dengan sangat kencang. Namun, Theo tak bergeming, tetap berdiri dengan gagah. Justru Emma yang terhuyung hingga jatuh ke tanah.“Aww!!” Emma langsung b
Mata Emma terpejam erat. Wajahnya merah padam begitu aroma kulit basah Theo menyeruak masuk ke lubang hidungnya. Sekujur tubuhnya menggelenyar di saat Theo menggenggam pergelangan tangannya. Theo kemudian menarik Emma masuk ke kamar. Tanpa membuka mata, Emma mengikuti Theo dengan pasrah. Sesekali dia menubruk badan Theo karena tak melihat jalan. Emma tak berusaha memberontak. Lagi pula, jika Theo ingin melakukan sesuatu padanya, dia tak akan dapat mencegah. Theo menghentikan langkahnya seraya berbalik. Emma kembali menabrak Theo. Dia dapat merasakan wajahnya menempel di dada pria itu. Kepala Emma mendongak. Bibirnya sedikit mengerucut, bersiap menerima serangan Theo. Namun, sudah menunggu selama beberapa detik, dia tak merasakan apa pun. “Cepat mandi. Aku juga sudah kedinginan. Di kamar tamu tidak ada air hangat.” Emma sontak membuka mata ketika Theo melepaskan tangannya. ‘Hanya itu?’ Dia agak bingung memberikan reaksi. “Kau ingin aku memandikanmu?” Emma langsung lari terbirit
Emma menyesap bibir hangat dan lembab yang terasa menyegarkan. Dia menangkup pipi Theo supaya mulutnya terbuka. Namun, Theo tak membalas ciumannya. Di saat itu pula, Emma tersadar telah melakukan kesalahan besar. Dia menjauhkan wajahnya, tetapi Theo mencegah kepalanya bergerak. Telapak tangan pria itu menempel erat di tengkuknya. “I-ini tidak-” suara Emma tersekat di tenggorokan. “Aku bukan Jake,” ucap Theo lirih. ‘Apa maksudnya kau bukan Paman Jake? Apa hubungannya? Kenapa kau diam saja? Apa kau tidak menginginkanku? Dan … kenapa aku bisa berbuat hal gila seperti ini?’ Banyak pertanyaan menggema di kepala Emma. Namun, dia tak dapat berpikir dengan jernih untuk mencari jawabannya.‘Apa aku terlalu banyak minum tadi?’ Tak mungkin dia mencium Theo dengan kesadaran penuh. Tidak. Emma bahkan tak merasakan mabuk sedikit pun. Dia hanya menyesap alkohol hanya untuk menghangatkan badan dan tak berlebihan meminumnya. Manik hazel itu bergerak ke kanan-kiri, menghindari tatapan Theo yang
Asher Smith tengah duduk menghadap jendela sambil melamun. Dia masih tak menyangka jika tangan kanannya, orang yang sangat dia percayai, tega mengkhianati dirinya. Pagi tadi, Theo tiba-tiba datang membicarakan masalah kamera tersembunyi yang dia tanam di boneka pemberian Noah. Tak heran, Asher tak dapat menemukan pelakunya, bahkan setelah menelusuri gerak-gerik Noah hari itu. ‘Saya pikir, Anda akan mengembalikan barang pemberian Tuan Noah, jadi saya bisa mencari tahu rencana Tuan Noah kepada Anda dan Nyonya Laura.’ Begitu alasan Theo setelah mengakui perbuatannya. Theo tak mengatakan tentang kekaguman, atau kegemarannya mengumpulkan segala sesuatu mengenai Smith. Meskipun demikian, Asher tetap marah besar. Jika memang Theo ingin memata-matai Noah, dia bisa memberi tahu Asher tentang kamera tersebut. Tetapi, Theo bungkam dan malah ikut menyelidiki Noah yang dipikir Asher merupakan pelaku satu-satunya. Karena itu, Asher menyuruh Theo mengurusi bisnisnya di luar negeri. Dia tak bisa