Loh? Katanya benci 😂
‘Apa yang baru saja aku katakan?!’ Emma membeliakkan mata, tetapi tak melepaskan Theo. Suara detak jantung Theo terdengar jelas di telinganya. Normal, tidak sekencang irama jantungnya. ‘Jadi, dia benar-benar hanya mengancamku dan tidak merasakan apa pun saat menyentuhku?’ Entah mengapa, Emma kecewa saat mengetahui kenyataan dari buat pikirnya sendiri. Theo melepaskan jas tanpa memedulikan pelukan Emma. Kemudian menyampirkan jas itu di pundak wanita yang kian erat memeluknya. Emma sangat malu hingga dia membeku. Ingin melepas pelukan, tetapi takut melihat reaksi Theo. Alhasil, dia diam saja dan menunggu Theo menyentak tangannya seperti sebelumnya. “Masih dingin?” ‘Tidak sedingin kau!’ Selama beberapa menit, mereka tetap ada di posisi yang sama. Hingga terdengar langkah kaki para pekerja kian mendekat. Emma langsung mendorong Theo dengan sangat kencang. Namun, Theo tak bergeming, tetap berdiri dengan gagah. Justru Emma yang terhuyung hingga jatuh ke tanah.“Aww!!” Emma langsung b
Mata Emma terpejam erat. Wajahnya merah padam begitu aroma kulit basah Theo menyeruak masuk ke lubang hidungnya. Sekujur tubuhnya menggelenyar di saat Theo menggenggam pergelangan tangannya. Theo kemudian menarik Emma masuk ke kamar. Tanpa membuka mata, Emma mengikuti Theo dengan pasrah. Sesekali dia menubruk badan Theo karena tak melihat jalan. Emma tak berusaha memberontak. Lagi pula, jika Theo ingin melakukan sesuatu padanya, dia tak akan dapat mencegah. Theo menghentikan langkahnya seraya berbalik. Emma kembali menabrak Theo. Dia dapat merasakan wajahnya menempel di dada pria itu. Kepala Emma mendongak. Bibirnya sedikit mengerucut, bersiap menerima serangan Theo. Namun, sudah menunggu selama beberapa detik, dia tak merasakan apa pun. “Cepat mandi. Aku juga sudah kedinginan. Di kamar tamu tidak ada air hangat.” Emma sontak membuka mata ketika Theo melepaskan tangannya. ‘Hanya itu?’ Dia agak bingung memberikan reaksi. “Kau ingin aku memandikanmu?” Emma langsung lari terbirit
Emma menyesap bibir hangat dan lembab yang terasa menyegarkan. Dia menangkup pipi Theo supaya mulutnya terbuka. Namun, Theo tak membalas ciumannya. Di saat itu pula, Emma tersadar telah melakukan kesalahan besar. Dia menjauhkan wajahnya, tetapi Theo mencegah kepalanya bergerak. Telapak tangan pria itu menempel erat di tengkuknya. “I-ini tidak-” suara Emma tersekat di tenggorokan. “Aku bukan Jake,” ucap Theo lirih. ‘Apa maksudnya kau bukan Paman Jake? Apa hubungannya? Kenapa kau diam saja? Apa kau tidak menginginkanku? Dan … kenapa aku bisa berbuat hal gila seperti ini?’ Banyak pertanyaan menggema di kepala Emma. Namun, dia tak dapat berpikir dengan jernih untuk mencari jawabannya.‘Apa aku terlalu banyak minum tadi?’ Tak mungkin dia mencium Theo dengan kesadaran penuh. Tidak. Emma bahkan tak merasakan mabuk sedikit pun. Dia hanya menyesap alkohol hanya untuk menghangatkan badan dan tak berlebihan meminumnya. Manik hazel itu bergerak ke kanan-kiri, menghindari tatapan Theo yang
Asher Smith tengah duduk menghadap jendela sambil melamun. Dia masih tak menyangka jika tangan kanannya, orang yang sangat dia percayai, tega mengkhianati dirinya. Pagi tadi, Theo tiba-tiba datang membicarakan masalah kamera tersembunyi yang dia tanam di boneka pemberian Noah. Tak heran, Asher tak dapat menemukan pelakunya, bahkan setelah menelusuri gerak-gerik Noah hari itu. ‘Saya pikir, Anda akan mengembalikan barang pemberian Tuan Noah, jadi saya bisa mencari tahu rencana Tuan Noah kepada Anda dan Nyonya Laura.’ Begitu alasan Theo setelah mengakui perbuatannya. Theo tak mengatakan tentang kekaguman, atau kegemarannya mengumpulkan segala sesuatu mengenai Smith. Meskipun demikian, Asher tetap marah besar. Jika memang Theo ingin memata-matai Noah, dia bisa memberi tahu Asher tentang kamera tersebut. Tetapi, Theo bungkam dan malah ikut menyelidiki Noah yang dipikir Asher merupakan pelaku satu-satunya. Karena itu, Asher menyuruh Theo mengurusi bisnisnya di luar negeri. Dia tak bisa
Asher baru menyadari banyak kejanggalan atas sikap Laura. Saat berada di rumah liburan Simon, Laura tampak tenang setelah Asher pergi malam-malam sampai hampir dini hari. Baru saja, Laura juga menyatakan bahwa dirinya tahu mengenai Theo yang ditugaskan ke luar negeri.Dan satu-satunya orang yang tahu mengenai masalah itu hanya satu orang. Carlos … pria yang sekarang sedang berdiri sambil menunduk di depan meja kerjanya.“Berapa banyak Laura membayarmu? Apa kau ingin jadi pengkhianat?” Asher tak seperti sedang bertanya, tetapi memberikan tuduhan. “Katakan sekarang, aku akan memberimu pesangon jika kau ingin menusukku dari belakang.”Bukan tanpa sebab Asher marah seperti itu. Baru tadi pagi dia mendengar pengkhianatan yang dilakukan orang kepercayaannya. Sekarang, dia tahu, ada satu tikus lagi yang diam-diam memata-matai dirinya.“Maaf, Tuan, saya tidak bermaksud mengkhianati Anda.” Carlos langsung tahu arah pembicaraan Asher. Dia tak marah kepada Laura karena ketahuan memberikan inform
Pukul sembilan malam, Emma telah berbaring tenang di ranjangnya. Namun, sebelum terpejam, ponselnya bergetar.Emma mengambil ponselnya di nakas, lalu menghela napas setelah melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya siang tadi."Apa maumu sebenarnya?" tanya Emma begitu menerima panggilan.Tentu saja, si penelepon tak akan pernah menjawab.Berapa kali pun Emma memutuskan sambungan telepon, nomor itu akan menghubunginya lagi. Pun, dia tak bisa mematikan daya ponselnya karena Judith harus membangunkan pagi-pagi sekali.Para pelayan Emma tak bisa membangunkan dirinya seperti Judith. Orang tuanya pun sedang berada luar kota.Alhasil, Emma membiarkan sambungan telepon tetap menyala. Dari seberang telepon, tak ada suara apa pun. Hanya sesekali terdengar deru napas yang jelas milik seorang pria."Aku sadar diri kalau aku cantik. Orang tuaku pun selalu mengatakan hal yang sama. Kau pasti jatuh cinta padaku dan tidak berani langsung bicara denganku. Aku bisa memahami itu, tapi jangan menggang
Theo langsung mengurungkan pesan yang baru saja dia kirimkan. Jemarinya seolah bergerak sendiri mengetikkan kata-kata itu tadi.Cemburu? Dari mana kata-kata itu berasal?Suara napas Emma terdengar lebih jelas dari pengeras suara. Seperti malam-malam sebelumnya, Theo meletakkan ponsel di sebelah bantal saat mendengar Emma tidur, kemudian dia ikut memejamkan mata.Mendengarkan suara napas Emma walau hanya melalui telepon, membuat tidur Theo nyenyak sambil tersenyum.Di saat Theo terlelap, Emma tiba-tiba terbangun. Dia bangun terduduk sambil menoleh ke kanan-kiri dengan tampang bingung."Astaga, mimpi apa aku barusan?!" Kenapa Theo menghantui sampai ke alam mimpinya?Emma kembali berbaring. Dia tersenyum mendengar suara napas pria itu. Pikiran tentang Theo pun langsung menghilang.Setiap malam, hanya pria itu yang menemani tidurnya. 'Bagaimana kalau aku sampai jatuh cinta dengan pria yang tidak aku kenal ini? Bagaimana kalau ternyata dia jelek dan menyebalkan?'Emma menarik selimut hingga
Emma ternganga dan membeku di tempat. Jake tersenyum manis sebelum berbalik pergi."A-apa yang baru saja terjadi?" Emma menatap buket bunga mawar merah itu sembari meremasnya. "Ini bukan mimpi? Paman Jake memberiku bunga!"Sedetik kemudian, Emma masuk ke dalam sambil melompat-lompat kecil. Bahagia rasanya mendapatkan bunga pertama dari seorang pria."Lihat ini ... cantik, bukan?" Emma memamerkan bunga itu kepada siapa pun yang dijumpainya. Entah pelayan, sekretaris Benjamin yang sedang berkunjung, orang tuanya, dan Alan."Dasar gila ... baru pertama kali diberi bunga saja sudah besar kepala! Orang bodoh mana yang memberimu bunga?" cerca Alan sambil mengikuti Emma.Sang kakak penasaran dengan pria yang saat ini sedang mendekati adiknya. Setiap malam, dia mendengar suara-suara meresahkan ketika pintu kamar Emma tak tertutup rapat."Orang bodoh katamu? Paman Jake yang memberiku bunga! Aku akan mengadu kalau kau menyebutnya bodoh!" Emma menjulurkan lidah seraya masuk ke kamar.Alan masih m