Mancing-mancing, dipaksa nangis… ckckck
Emma menyesap bibir hangat dan lembab yang terasa menyegarkan. Dia menangkup pipi Theo supaya mulutnya terbuka. Namun, Theo tak membalas ciumannya. Di saat itu pula, Emma tersadar telah melakukan kesalahan besar. Dia menjauhkan wajahnya, tetapi Theo mencegah kepalanya bergerak. Telapak tangan pria itu menempel erat di tengkuknya. “I-ini tidak-” suara Emma tersekat di tenggorokan. “Aku bukan Jake,” ucap Theo lirih. ‘Apa maksudnya kau bukan Paman Jake? Apa hubungannya? Kenapa kau diam saja? Apa kau tidak menginginkanku? Dan … kenapa aku bisa berbuat hal gila seperti ini?’ Banyak pertanyaan menggema di kepala Emma. Namun, dia tak dapat berpikir dengan jernih untuk mencari jawabannya.‘Apa aku terlalu banyak minum tadi?’ Tak mungkin dia mencium Theo dengan kesadaran penuh. Tidak. Emma bahkan tak merasakan mabuk sedikit pun. Dia hanya menyesap alkohol hanya untuk menghangatkan badan dan tak berlebihan meminumnya. Manik hazel itu bergerak ke kanan-kiri, menghindari tatapan Theo yang
Asher Smith tengah duduk menghadap jendela sambil melamun. Dia masih tak menyangka jika tangan kanannya, orang yang sangat dia percayai, tega mengkhianati dirinya. Pagi tadi, Theo tiba-tiba datang membicarakan masalah kamera tersembunyi yang dia tanam di boneka pemberian Noah. Tak heran, Asher tak dapat menemukan pelakunya, bahkan setelah menelusuri gerak-gerik Noah hari itu. ‘Saya pikir, Anda akan mengembalikan barang pemberian Tuan Noah, jadi saya bisa mencari tahu rencana Tuan Noah kepada Anda dan Nyonya Laura.’ Begitu alasan Theo setelah mengakui perbuatannya. Theo tak mengatakan tentang kekaguman, atau kegemarannya mengumpulkan segala sesuatu mengenai Smith. Meskipun demikian, Asher tetap marah besar. Jika memang Theo ingin memata-matai Noah, dia bisa memberi tahu Asher tentang kamera tersebut. Tetapi, Theo bungkam dan malah ikut menyelidiki Noah yang dipikir Asher merupakan pelaku satu-satunya. Karena itu, Asher menyuruh Theo mengurusi bisnisnya di luar negeri. Dia tak bisa
Asher baru menyadari banyak kejanggalan atas sikap Laura. Saat berada di rumah liburan Simon, Laura tampak tenang setelah Asher pergi malam-malam sampai hampir dini hari. Baru saja, Laura juga menyatakan bahwa dirinya tahu mengenai Theo yang ditugaskan ke luar negeri.Dan satu-satunya orang yang tahu mengenai masalah itu hanya satu orang. Carlos … pria yang sekarang sedang berdiri sambil menunduk di depan meja kerjanya.“Berapa banyak Laura membayarmu? Apa kau ingin jadi pengkhianat?” Asher tak seperti sedang bertanya, tetapi memberikan tuduhan. “Katakan sekarang, aku akan memberimu pesangon jika kau ingin menusukku dari belakang.”Bukan tanpa sebab Asher marah seperti itu. Baru tadi pagi dia mendengar pengkhianatan yang dilakukan orang kepercayaannya. Sekarang, dia tahu, ada satu tikus lagi yang diam-diam memata-matai dirinya.“Maaf, Tuan, saya tidak bermaksud mengkhianati Anda.” Carlos langsung tahu arah pembicaraan Asher. Dia tak marah kepada Laura karena ketahuan memberikan inform
Pukul sembilan malam, Emma telah berbaring tenang di ranjangnya. Namun, sebelum terpejam, ponselnya bergetar.Emma mengambil ponselnya di nakas, lalu menghela napas setelah melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya siang tadi."Apa maumu sebenarnya?" tanya Emma begitu menerima panggilan.Tentu saja, si penelepon tak akan pernah menjawab.Berapa kali pun Emma memutuskan sambungan telepon, nomor itu akan menghubunginya lagi. Pun, dia tak bisa mematikan daya ponselnya karena Judith harus membangunkan pagi-pagi sekali.Para pelayan Emma tak bisa membangunkan dirinya seperti Judith. Orang tuanya pun sedang berada luar kota.Alhasil, Emma membiarkan sambungan telepon tetap menyala. Dari seberang telepon, tak ada suara apa pun. Hanya sesekali terdengar deru napas yang jelas milik seorang pria."Aku sadar diri kalau aku cantik. Orang tuaku pun selalu mengatakan hal yang sama. Kau pasti jatuh cinta padaku dan tidak berani langsung bicara denganku. Aku bisa memahami itu, tapi jangan menggang
Theo langsung mengurungkan pesan yang baru saja dia kirimkan. Jemarinya seolah bergerak sendiri mengetikkan kata-kata itu tadi.Cemburu? Dari mana kata-kata itu berasal?Suara napas Emma terdengar lebih jelas dari pengeras suara. Seperti malam-malam sebelumnya, Theo meletakkan ponsel di sebelah bantal saat mendengar Emma tidur, kemudian dia ikut memejamkan mata.Mendengarkan suara napas Emma walau hanya melalui telepon, membuat tidur Theo nyenyak sambil tersenyum.Di saat Theo terlelap, Emma tiba-tiba terbangun. Dia bangun terduduk sambil menoleh ke kanan-kiri dengan tampang bingung."Astaga, mimpi apa aku barusan?!" Kenapa Theo menghantui sampai ke alam mimpinya?Emma kembali berbaring. Dia tersenyum mendengar suara napas pria itu. Pikiran tentang Theo pun langsung menghilang.Setiap malam, hanya pria itu yang menemani tidurnya. 'Bagaimana kalau aku sampai jatuh cinta dengan pria yang tidak aku kenal ini? Bagaimana kalau ternyata dia jelek dan menyebalkan?'Emma menarik selimut hingga
Emma ternganga dan membeku di tempat. Jake tersenyum manis sebelum berbalik pergi."A-apa yang baru saja terjadi?" Emma menatap buket bunga mawar merah itu sembari meremasnya. "Ini bukan mimpi? Paman Jake memberiku bunga!"Sedetik kemudian, Emma masuk ke dalam sambil melompat-lompat kecil. Bahagia rasanya mendapatkan bunga pertama dari seorang pria."Lihat ini ... cantik, bukan?" Emma memamerkan bunga itu kepada siapa pun yang dijumpainya. Entah pelayan, sekretaris Benjamin yang sedang berkunjung, orang tuanya, dan Alan."Dasar gila ... baru pertama kali diberi bunga saja sudah besar kepala! Orang bodoh mana yang memberimu bunga?" cerca Alan sambil mengikuti Emma.Sang kakak penasaran dengan pria yang saat ini sedang mendekati adiknya. Setiap malam, dia mendengar suara-suara meresahkan ketika pintu kamar Emma tak tertutup rapat."Orang bodoh katamu? Paman Jake yang memberiku bunga! Aku akan mengadu kalau kau menyebutnya bodoh!" Emma menjulurkan lidah seraya masuk ke kamar.Alan masih m
Theo sudah bersiap tidur sambil mendengarkan suara Emma, tiba-tiba menendang selimut lalu duduk merenung. Terkejut ... kenapa Alan yang menjawab? Dia menatap nanar pada layar ponselnya. Di mana Emma? Apakah terjadi sesuatu dengannya? Apa Emma sedang sakit? Mungkinkah Emma bosan bicara dengannya? Ataukah mengadukannya kepada Alan? Hilang sudah rasa kantuk yang beberapa menit lalu dirasakannya. Dia ingin kembali menghubungi Emma, tetapi tak mau membuat masalah pada wanita itu. Bagaimana jika Emma mendapatkan masalah karena berkomunikasi dengannya setiap malam? Pada akhirnya, Theo tak dapat memejamkan mata semalaman karena terlalu banyak pertanyaan di kepalanya yang tak terjawab. “Aku ingin pulang.” *** “Dia tidak menghubungiku lagi ... ini semua gara-gara Alan!” Emma mengacak-acak rambut panjangnya hingga berantakan. Sejak Alan memaki pengagum rahasianya, pria itu belum menghubungi dirinya lagi. Emma mencoba meneleponnya, tetapi seperti biasa, tak dapat tersambung. Dia menghem
Sebelum mengambil tiket pesawatnya, Theo sudah pergi dari sana. Dia mengikuti Emma dan Jake keluar bandara. Kedua tangannya mengepal dan bergetar. Entah marah atau kecewa, ekspresinya tetap datar. ‘Emma Ruiz sebentar lagi akan menikah.’ Pesan dari Asher terngiang-ngiang dalam benaknya. Apakah Jake adalah pria yang akan menikahi Emma? Jarak mereka begitu dekat, tetapi Emma tidak melihat dirinya. Emma tidak menoleh ke belakang. “Kita akan langsung ke lokasi atau ke hotel dulu, Paman?” “Istirahat dulu sebentar di rumahku, lalu ke lokasi.” Lokasi? Theo bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka akan melangsungkan pernikahan di negara kelahiran Jake? Bukankah Jake tidak pernah tertarik dengan Emma? Apa yang ingin Theo lakukan tadi dengan kembali pulang? Apakah dia akan mencegah pernikahan mereka? Kenapa dia sangat marah dan kecewa ketika mendengar Emma akan menikah dengan pria lain? Kebetulan, wanita itu ada tepat di depannya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menarik Emma dan b