Jema 💔 Thema
Sebelum mengambil tiket pesawatnya, Theo sudah pergi dari sana. Dia mengikuti Emma dan Jake keluar bandara. Kedua tangannya mengepal dan bergetar. Entah marah atau kecewa, ekspresinya tetap datar. ‘Emma Ruiz sebentar lagi akan menikah.’ Pesan dari Asher terngiang-ngiang dalam benaknya. Apakah Jake adalah pria yang akan menikahi Emma? Jarak mereka begitu dekat, tetapi Emma tidak melihat dirinya. Emma tidak menoleh ke belakang. “Kita akan langsung ke lokasi atau ke hotel dulu, Paman?” “Istirahat dulu sebentar di rumahku, lalu ke lokasi.” Lokasi? Theo bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka akan melangsungkan pernikahan di negara kelahiran Jake? Bukankah Jake tidak pernah tertarik dengan Emma? Apa yang ingin Theo lakukan tadi dengan kembali pulang? Apakah dia akan mencegah pernikahan mereka? Kenapa dia sangat marah dan kecewa ketika mendengar Emma akan menikah dengan pria lain? Kebetulan, wanita itu ada tepat di depannya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menarik Emma dan b
Tangan Theo gemetaran memegang ponselnya. Suara Jake yang terdengar jelas di balik punggungnya, membuat dadanya terasa semakin terbakar. Theo penasaran dengan jawaban Emma. Namun, dia juga takut mendengarnya. Dia menekan nomor Emma. Suara deringan ponsel Emma mengejutkan beberapa pengunjung lain. Emma melihat nomor yang dirindukannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Kenapa pria itu meneleponnya lebih awal? Apa yang terjadi beberapa hari ini? Kenapa dia baru menghubungi lagi? Emma melirik Jake. Merasa tak enak hati jika mengangkat telepon di saat mereka sedang bicara masalah serius. Sangat serius ... hingga membuat Emma kebingungan. “Angkat dulu,” kata Jake. “D-di sini agak berisik. Aku akan keluar sebentar.” Jake mengangguk. Ibu jari Emma menggeser tombol hijau pada layar ponsel selagi berlari kecil keluar dari pintu. “Halo?” Tentu saja tak ada sahutan. Biasanya, Emma akan segera bercerita tentang kesehariannya. Akan tetapi, sekarang berbeda. Emma masih terkejut oleh l
“Maaf kalau terlalu lama, Paman. Ada telepon penting dari kantor.” Jake memicingkan mata, kemudian tersenyum miring. “Tidak masalah. Jadi, kau ingin menjawabku sekarang atau perlu berpikir dulu?” Dia menaikkan satu alisnya. Alih-alih menatap lawan bicaranya, manik hazel itu fokus melihat pada bunga mawar kuning di tengah meja. Bukan karena takut, melainkan karena tak mau bimbang. Beberapa menit lalu, dia mencium pria lain dengan penuh kesadaran. Tak adil bagi Jake maupun Theo jika dia langsung menyetujui tawaran pernikahan itu. Pikiran Emma seperti benang kusut saat mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pria di hadapannya. Ada rasa aman dan nyaman ketika dia berada di samping Jake. Namun, tak ada percikan gairah, seperti yang dirasakannya setiap kali bersama Theo. Jake merupakan pria tampan dan mapan. Jika menuruti akal sehatnya, Emma akan langsung menerima Jake sebagai suaminya. Selain itu, Jake tak pernah mempermainkan dirinya ataupun mengancamnya. Namun, Emma butuh sema
“Kau pikir, aku anak kecil yang tidak bisa membedakan perasaanku sendiri?” balas Theo penuh keyakinan. Meskipun belum pernah merasakan cinta sebelumnya, Theo yakin jika dia menyayangi Emma. Bukan hanya ingin selalu bisa memeluknya, bukan juga karena menginginkan sentuhannya. Nyatanya, hidupnya terasa menyakitkan jika Emma jauh darinya. Dan berkat desakan Jake, Theo sepenuhnya yakin oleh perasaannya sendiri. “Baiklah. Terserah apa katamu. Yang jelas, aku akan menikah dengan Emma. Jika kau memang menginginkannya, kau harus menunjukkan kesungguhanmu. Wanita akan pergi jika kau tidak memberinya kepastian. Mari kita lihat, siapa yang akan Emma pilih.” Jake menyeringai singkat, kemudian berbalik ke arah Emma. Theo hanya berdiri di tempatnya. Dia ingin menyusul Jake dan mencegahnya mendekati Emma, tetapi dia tak ingin mengganggu aktivitas wanita itu. Saat ini, Emma tampak begitu antusias dengan kegiatannya. Theo tak ingin merusak suasana hatinya. Akan tetapi, suasana hatinya sendiri yan
“Lihatlah dirimu sendiri. Kau tidak yakin dengan perasaanmu. Lupakan saja calon istriku.” Jake menepuk-nepuk pundak Theo seperti sedang menyingkirkan debu, lalu pergi. Theo berdiri terpaku. Dia bahkan tak menjawab kata-kata Jake. Apakah kedua orang yang saling mencintai harus menikah? Benaknya dipenuhi satu pertanyaan yang sama. “Ayo ikut denganku!” Rick tiba-tiba merangkul pundaknya dari belakang. Tatapan Theo kosong. Langkah kakinya mengikuti ke mana pun Rick membawanya pergi. Sementara itu, Jake sudah meninggalkan tempat itu bersama Emma. Sejak mobil menyala, Emma terus-menerus menoleh ke belakang, mencari keberadaan Theo. Setelah pergi dari kedua pria itu, dia tak melihat sosok Theo. Apa Theo lelah menunggunya?“Tidak perlu mencemaskan pria yang sudah dewasa. Kita masih ada pekerjaan setelah ini. Atau … kau mau tinggal di sini menunggu pria tidak jelas itu?” Jake langsung tahu, Emma sedang memikirkan Theo.Emma mengetikkan pesan ke nomor Theo, mengabarkan jika dirinya diburu
‘Seharusnya aku tidak pernah menikah denganmu! Kau selalu saja memikirkan kesenanganmu sendiri!’ bentak ibu Theo. ‘Wanita kurang ajar! Berani kau membentakku?!’ BRAK! Barang-barang melayang di seisi ruangan kecil itu. Ibu Theo berusaha menghalau suaminya yang hendak melayangkan pukulan. Sayangnya, ayah Theo lebih cepat. Pukulan tanpa ampun mendarat di wajah cantik ibunya. Theo ingin melindungi sang ibu, tetapi dia takut kepada ayahnya. Dia hanya meringkuk di sudut ruangan sambil menutup telinga. Berharap jika adegan yang setiap malam dilihatnya segera berakhir, dan ayahnya tak melihat ke arahnya. Sebab, Theo tak mau dijadikan pelampiasan kemarahan ayah ataupun ibunya. Sayangnya, itu tak terjadi. ‘Kau juga, brengsek! Kami melahirkanmu bukan untuk tiduran! Kau harus bekerja!’ Theo mendapat pukulan yang sama. Dia hanya bisa menggigit bibirnya sampai berdarah untuk mencegah suara keluar dari mulutnya. Ayahnya bisa memukulinya lebih keras jika dia sampai berteriak, mengeluh, atau
Betapa sakit hati dirinya ketika melihat Emma memeluk Jake. Setelah lama menunggu, Theo justru melihat sesuatu yang tak terduga. Kenapa Emma tiba-tiba berubah? Bahkan, bukan Jake yang lebih dulu memeluknya. Apa yang mereka bicarakan sehingga lama berada dalam posisi itu? Dada, kepala, dan matanya terasa sangat panas. Haruskah Theo mempertahankan perasaan pertama yang begitu hangat dan membuatnya lebih hidup? Dia menggeleng pelan, lalu membalik badan untuk meninggalkan tempat itu. Emma telah membuat keputusan. Theo tak akan dapat mencegahnya. Lebih baik, dia kembali dan berdiam diri di kamar sambil mengagumi Asher. Hanya itulah kebahagiaan yang berhak dia dapatkan. Mungkin, memang sudah takdirnya tak pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari orang-orang yang dia sayangi. Theo tak akan mengeluh. Sejak awal, eksistensinya tak pernah penting di mata orang lain. “Ugh.” Theo mengerang sambil memegang lutut. Baru beberapa kali melangkah, kaki Theo terasa kebas dan tak bertenaga.
Theo menghidupkan mesin mobil dan melaju pelan menuju pabrik. Dia diam tak menanggapi kata-kata Emma. Emma merasa bahwa Theo tak peduli dengannya yang akan menikah dengan Jake. ‘Kenapa dia harus peduli? Dia bisa menyewa wanita lain untuk menyenangkan dirinya.’ Tidak seperti dugaan Emma, Theo pernah menahan rasa sakit ditinggalkan seseorang yang sangat dia sayangi. Karena itu, Theo hanya pasrah menerima keadaan. Tak ada gunanya memperjuangkan seseorang yang tak mau diperjuangkan. Sampai di pabrik, Asher Smith sudah ada di kantor. Theo menunduk menghindari tatapan tajam sang atasan. Sejak kepulangannya, baru hari ini Theo bertemu dengan Asher. Carla menggantikan tugasnya selagi dia tak ada di kantor pusat. “Kau sudah pulang dan tidak mengabariku?” “Maaf, Tuan,” balas Theo seadanya. Asher melihat perubahan besar pada asisten pribadinya. Orang-orangnya yang ditugaskan untuk selalu mengawasi Theo sudah memberi tahu tentang peristiwa sebelum kepulangan mereka. Dia melirik ke arah Em