Senyuman robot 👉😬
Pukul sembilan malam, Emma telah berbaring tenang di ranjangnya. Namun, sebelum terpejam, ponselnya bergetar.Emma mengambil ponselnya di nakas, lalu menghela napas setelah melihat nomor tak dikenal yang menghubunginya siang tadi."Apa maumu sebenarnya?" tanya Emma begitu menerima panggilan.Tentu saja, si penelepon tak akan pernah menjawab.Berapa kali pun Emma memutuskan sambungan telepon, nomor itu akan menghubunginya lagi. Pun, dia tak bisa mematikan daya ponselnya karena Judith harus membangunkan pagi-pagi sekali.Para pelayan Emma tak bisa membangunkan dirinya seperti Judith. Orang tuanya pun sedang berada luar kota.Alhasil, Emma membiarkan sambungan telepon tetap menyala. Dari seberang telepon, tak ada suara apa pun. Hanya sesekali terdengar deru napas yang jelas milik seorang pria."Aku sadar diri kalau aku cantik. Orang tuaku pun selalu mengatakan hal yang sama. Kau pasti jatuh cinta padaku dan tidak berani langsung bicara denganku. Aku bisa memahami itu, tapi jangan menggang
Theo langsung mengurungkan pesan yang baru saja dia kirimkan. Jemarinya seolah bergerak sendiri mengetikkan kata-kata itu tadi.Cemburu? Dari mana kata-kata itu berasal?Suara napas Emma terdengar lebih jelas dari pengeras suara. Seperti malam-malam sebelumnya, Theo meletakkan ponsel di sebelah bantal saat mendengar Emma tidur, kemudian dia ikut memejamkan mata.Mendengarkan suara napas Emma walau hanya melalui telepon, membuat tidur Theo nyenyak sambil tersenyum.Di saat Theo terlelap, Emma tiba-tiba terbangun. Dia bangun terduduk sambil menoleh ke kanan-kiri dengan tampang bingung."Astaga, mimpi apa aku barusan?!" Kenapa Theo menghantui sampai ke alam mimpinya?Emma kembali berbaring. Dia tersenyum mendengar suara napas pria itu. Pikiran tentang Theo pun langsung menghilang.Setiap malam, hanya pria itu yang menemani tidurnya. 'Bagaimana kalau aku sampai jatuh cinta dengan pria yang tidak aku kenal ini? Bagaimana kalau ternyata dia jelek dan menyebalkan?'Emma menarik selimut hingga
Emma ternganga dan membeku di tempat. Jake tersenyum manis sebelum berbalik pergi."A-apa yang baru saja terjadi?" Emma menatap buket bunga mawar merah itu sembari meremasnya. "Ini bukan mimpi? Paman Jake memberiku bunga!"Sedetik kemudian, Emma masuk ke dalam sambil melompat-lompat kecil. Bahagia rasanya mendapatkan bunga pertama dari seorang pria."Lihat ini ... cantik, bukan?" Emma memamerkan bunga itu kepada siapa pun yang dijumpainya. Entah pelayan, sekretaris Benjamin yang sedang berkunjung, orang tuanya, dan Alan."Dasar gila ... baru pertama kali diberi bunga saja sudah besar kepala! Orang bodoh mana yang memberimu bunga?" cerca Alan sambil mengikuti Emma.Sang kakak penasaran dengan pria yang saat ini sedang mendekati adiknya. Setiap malam, dia mendengar suara-suara meresahkan ketika pintu kamar Emma tak tertutup rapat."Orang bodoh katamu? Paman Jake yang memberiku bunga! Aku akan mengadu kalau kau menyebutnya bodoh!" Emma menjulurkan lidah seraya masuk ke kamar.Alan masih m
Theo sudah bersiap tidur sambil mendengarkan suara Emma, tiba-tiba menendang selimut lalu duduk merenung. Terkejut ... kenapa Alan yang menjawab? Dia menatap nanar pada layar ponselnya. Di mana Emma? Apakah terjadi sesuatu dengannya? Apa Emma sedang sakit? Mungkinkah Emma bosan bicara dengannya? Ataukah mengadukannya kepada Alan? Hilang sudah rasa kantuk yang beberapa menit lalu dirasakannya. Dia ingin kembali menghubungi Emma, tetapi tak mau membuat masalah pada wanita itu. Bagaimana jika Emma mendapatkan masalah karena berkomunikasi dengannya setiap malam? Pada akhirnya, Theo tak dapat memejamkan mata semalaman karena terlalu banyak pertanyaan di kepalanya yang tak terjawab. “Aku ingin pulang.” *** “Dia tidak menghubungiku lagi ... ini semua gara-gara Alan!” Emma mengacak-acak rambut panjangnya hingga berantakan. Sejak Alan memaki pengagum rahasianya, pria itu belum menghubungi dirinya lagi. Emma mencoba meneleponnya, tetapi seperti biasa, tak dapat tersambung. Dia menghem
Sebelum mengambil tiket pesawatnya, Theo sudah pergi dari sana. Dia mengikuti Emma dan Jake keluar bandara. Kedua tangannya mengepal dan bergetar. Entah marah atau kecewa, ekspresinya tetap datar. ‘Emma Ruiz sebentar lagi akan menikah.’ Pesan dari Asher terngiang-ngiang dalam benaknya. Apakah Jake adalah pria yang akan menikahi Emma? Jarak mereka begitu dekat, tetapi Emma tidak melihat dirinya. Emma tidak menoleh ke belakang. “Kita akan langsung ke lokasi atau ke hotel dulu, Paman?” “Istirahat dulu sebentar di rumahku, lalu ke lokasi.” Lokasi? Theo bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka akan melangsungkan pernikahan di negara kelahiran Jake? Bukankah Jake tidak pernah tertarik dengan Emma? Apa yang ingin Theo lakukan tadi dengan kembali pulang? Apakah dia akan mencegah pernikahan mereka? Kenapa dia sangat marah dan kecewa ketika mendengar Emma akan menikah dengan pria lain? Kebetulan, wanita itu ada tepat di depannya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menarik Emma dan b
Tangan Theo gemetaran memegang ponselnya. Suara Jake yang terdengar jelas di balik punggungnya, membuat dadanya terasa semakin terbakar. Theo penasaran dengan jawaban Emma. Namun, dia juga takut mendengarnya. Dia menekan nomor Emma. Suara deringan ponsel Emma mengejutkan beberapa pengunjung lain. Emma melihat nomor yang dirindukannya. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Kenapa pria itu meneleponnya lebih awal? Apa yang terjadi beberapa hari ini? Kenapa dia baru menghubungi lagi? Emma melirik Jake. Merasa tak enak hati jika mengangkat telepon di saat mereka sedang bicara masalah serius. Sangat serius ... hingga membuat Emma kebingungan. “Angkat dulu,” kata Jake. “D-di sini agak berisik. Aku akan keluar sebentar.” Jake mengangguk. Ibu jari Emma menggeser tombol hijau pada layar ponsel selagi berlari kecil keluar dari pintu. “Halo?” Tentu saja tak ada sahutan. Biasanya, Emma akan segera bercerita tentang kesehariannya. Akan tetapi, sekarang berbeda. Emma masih terkejut oleh l
“Maaf kalau terlalu lama, Paman. Ada telepon penting dari kantor.” Jake memicingkan mata, kemudian tersenyum miring. “Tidak masalah. Jadi, kau ingin menjawabku sekarang atau perlu berpikir dulu?” Dia menaikkan satu alisnya. Alih-alih menatap lawan bicaranya, manik hazel itu fokus melihat pada bunga mawar kuning di tengah meja. Bukan karena takut, melainkan karena tak mau bimbang. Beberapa menit lalu, dia mencium pria lain dengan penuh kesadaran. Tak adil bagi Jake maupun Theo jika dia langsung menyetujui tawaran pernikahan itu. Pikiran Emma seperti benang kusut saat mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pria di hadapannya. Ada rasa aman dan nyaman ketika dia berada di samping Jake. Namun, tak ada percikan gairah, seperti yang dirasakannya setiap kali bersama Theo. Jake merupakan pria tampan dan mapan. Jika menuruti akal sehatnya, Emma akan langsung menerima Jake sebagai suaminya. Selain itu, Jake tak pernah mempermainkan dirinya ataupun mengancamnya. Namun, Emma butuh sema
“Kau pikir, aku anak kecil yang tidak bisa membedakan perasaanku sendiri?” balas Theo penuh keyakinan. Meskipun belum pernah merasakan cinta sebelumnya, Theo yakin jika dia menyayangi Emma. Bukan hanya ingin selalu bisa memeluknya, bukan juga karena menginginkan sentuhannya. Nyatanya, hidupnya terasa menyakitkan jika Emma jauh darinya. Dan berkat desakan Jake, Theo sepenuhnya yakin oleh perasaannya sendiri. “Baiklah. Terserah apa katamu. Yang jelas, aku akan menikah dengan Emma. Jika kau memang menginginkannya, kau harus menunjukkan kesungguhanmu. Wanita akan pergi jika kau tidak memberinya kepastian. Mari kita lihat, siapa yang akan Emma pilih.” Jake menyeringai singkat, kemudian berbalik ke arah Emma. Theo hanya berdiri di tempatnya. Dia ingin menyusul Jake dan mencegahnya mendekati Emma, tetapi dia tak ingin mengganggu aktivitas wanita itu. Saat ini, Emma tampak begitu antusias dengan kegiatannya. Theo tak ingin merusak suasana hatinya. Akan tetapi, suasana hatinya sendiri yan