Sebenci apa pun anak kepada orang tua, rasanya nggak benar kalau mengumbar kebencian padanya.
Dengan ekspresi yang ditunjukkan sang dokter, tak ada satu pun yang merasa tak khawatir. Bahkan, Joanna terlihat tak rela jika Simon meninggal sebelum membayar karma atas perbuatan buruknya selama bersama Callista. Apalagi Laura, anak kandung Simon. Kaki Laura sampai terasa lemas dan seakan kehilangan tempat berpijak. Apakah ayahnya sudah tiada? Dia segera menggenggam kenop pintu untuk mencegah dirinya terjatuh. “Maaf, kami tidak membawa alat yang lengkap. Kita harus segera membawa Tuan Simon Hartley ke rumah sakit, Tuan. Detak jantungnya sangat lemah. Kemungkinan besar, efek samping dari obat-obatan itu masih ada,” terang dokter. Laura merasakan dadanya berdesir. Beban di hatinya sedikit terangkat tatkala mendengar penjelasan dokter. Ketakutan melihat kematian Simon sirna begitu saja. Setidaknya, Simon belum mati. Laura dapat membenci Simon lebih lama lagi, begitu pikir Laura, tetapi tidak dengan kata hatinya.“Bisa dipindahkan dengan mobil?” tanya Asher. Tak bisa dipungkiri, As
“Lalu bagaimana kondisinya sekarang?”Dokter itu menghela napas. “Semoga malam ini Tuan Simon dapat melewati masa kritisnya. Kandungan obat itu sangat pekat, artinya bukan hanya satu atau dua obat yang ditelannya.”Asher tahu makna tersirat dari ucapan dokter itu. Jika Simon tak berhasil bertahan, kemungkinan besar mereka akan kehilangan Simon.Dia pernah melihat kakeknya meninggal. Ayah dari Adam itu juga komat-kamit seperti Simon, menyebutkan semua keluarga terkasihnya sebelum beristirahat untuk selamanya.“Jika Anda punya waktu, saya minta kerja samanya untuk menyelidiki tentang obat tersebut pada pihak berwajib, Tuan Smith. Kandungannya sangat berbahaya. Jika dikonsumsi terus-menerus dapat mengakibatkan cacat otak atau kematian.”Seperti Callista ....“Baiklah. Sekarang sudah larut malam. Anda bisa menghubungi saya besok. Saya juga ingin menemukan pengedar obat terlarang itu.”Di luar ruangan dokter Adam sudah menunggu Asher. Mereka berdua mendiskusikan masalah tersebut dengan sang
“Apa maksudmu?” Tak hanya Asher, Laura yang menguping pembicaraan mereka pun ikut terkejut. “Kau pasti mengira hanya Laura yang mengatakan tentang hasil lab obat itu, bukan?” Mata Laura melebar. Hampir saja dia melompat dari tempat persembunyian untuk menutup mulut Jake. Jake sudah berjanji padanya untuk merahasiakan itu semua dari Asher. Bisa-biasanya Jake mengatakan rahasia mereka tanpa rasa bersalah sedikit pun! Laura takut setengah mati jika Asher akan kecewa padanya. Mereka sudah sepakat untuk merahasiakan obat itu dari semua orang.“Aku selalu tahu apa yang istriku lakukan.” Asher yang tahu Laura sedang mendengar percakapan itu, sebisa mungkin tak akan membuat Laura merasa bersalah karena telah mengkhianati kepercayaannya. Saat ini, Asher tak ingin membuat Laura tertekan karena egonya. Dia ingin fokus memperbaiki hubungan Laura dan Simon.Lagi pula, selama Laura tidak selingkuh atau merayu pria lain, Asher tak mempermasalahkan. Terkadang, dia juga menyembunyikan sesuatu dari
"Aku … apa yang terjadi?" Laura terkejut sekaligus bingung. Apakah Asher menipunya saat mengatakan kondisi Simon? Namun, Laura dapat melihat bahwa Simon tak sedang bersandiwara. Mungkin, Simon benar-benar terbangun karena mendengar suaranya. Entah benar atau tidaknya keajaiban itu, Laura menghela napas lega. Dia tak terlambat untuk bicara dengan ayahnya. “Baiklah jika kau tidak mau memaafkan Papa, setidaknya kau masih mau menganggap Papa. Tidak apa-apa, Laura. Papa sangat senang kau mau datang ke sini.” Laura menggelengkan kepala sambil menghapus air mata di pipinya.“Aku … aku butuh waktu. Tidak semudah itu melupakan semua yang telah kau lakukan padaku.” Simon mengangguk lemah. Air mata masih mengalir deras di pipi Simon. Laura mengambilkan tisu, lalu menyekanya dengan lembut. Di luar kamar itu, Theo melihat dokter yang menangani Simon mendekat dari kejauhan. Dia langsung berbisik kepada Asher untuk membantunya mengambil semua alat-alat medis yang Theo pinjam dari salah satu pe
Suasana jadi menegangkan di antara mereka. Asher senang jika sekarang Laura lebih berani menyuarakan isi hatinya. Namun, Asher tetap tak suka Laura membantah atau bersikap menantangnya. Laura seakan tak menghargai dirinya. “Aku sudah menceritakan tentang masa laluku. Tapi, kau sekarang tidak mau menceritakan tentang masa lalumu? Seperti itu kau bilang adil?” Asher bertanya dengan suara penuh penekanan. Laura tahu Asher tersinggung. Tetapi, dia tak akan mundur. Tak ada gunanya memberi tahu Asher tentang sosok pemuda itu. “Adil sekali,” balas Laura seraya menatap manik mata hitam itu secara intens. “Kau-” ucapan Asher terhenti oleh suara dari ponselnya. Melihat Theo menghubungi dirinya, Asher gegas menerima panggilan. “Ada apa?” Bahkan, nada bicara Asher belum kembali normal ketika bicara dengan Theo. ‘Maaf, Tuan, apa saya mengganggu Anda?’ “Katakan saja keperluanmu menelepon malam-malam!” ‘Lokasi wanita itu sudah ditemukan. Tuan Jake sedang menuju ke sana, Tuan. Saya membutuhka
“C-Callista? Jake …” Gilda terkejut ketika nama yang dibencinya keluar dari mulut Rick. Dia baru tahu kalau Jake-lah yang mengurungnya selama ini. “T-Tidak … kau salah paham, Tuan.” “Menjijikkan.” Baru sekali itu Rick mengumpat pada wanita. “Hanya pria bodoh yang mau mengganti Callista dengan wanita jalang sepertimu.” Rick lekas meninggalkan kamar setelah mendengar jeritan Gilda saat Jim berhasil menembus pertahanannya. Dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari bekas sentuhan Gilda. Setelah selesai mandi, Jake dan Shane sudah ada di sana. Shane yang mendengar suara-suara di kamar sebelah hendak membuka pintu yang menghubungkan kedua kamar itu. “Aku tidak akan membukanya jika jadi kau.” Rick memperingatkan Shane. “Kau bisa sakit hati kalau melihat adegan di sana.” Ucapan Rick justru memicu rasa penasaran Shane. Dia tak ragu lagi membuka pintu itu dan langsung masuk ke sana. Langkah Shane terhenti ketika melihat mantan istrinya sedang dikungkung pria lain, peng
Ketika Laura membuka mata, Asher sudah tidur di sebelahnya. Kulit Asher terasa dingin, menandakan dia baru saja mandi dan langsung tidur. Laura mencium wajah Asher bertubi-tubi. Asher terlelap sangat dalam hingga tak merasakan sentuhan bibir istrinya. “Sayangku, terima kasih untuk semuanya.” Laura merenggangkan badan, lalu turun dari ranjang. Kegiatan yang selalu dilakukannya setelah sepenuhnya terjaga adalah mengecek kedua bayinya. “Anak-anak Mama sudah bangun ternyata … kenapa tidak menangis?” Claus dan Collin menggeliat sambil tersenyum lucu khas bayi. Laura sangat gemas pada keduanya. “Kalian lapar? Siapa dulu, ya, yang mau minum susu?” goda Laura, seakan-akan Claus dan Collin mengerti ucapannya. Laura lalu mengambil Collin ke dalam gendongannya. Karena Claus masih terlihat tenang, dia mengambil dulu bayi yang sudah tak sabar ingin menyusu padanya. Dengan penuh kasih sayang, Laura membelai puncak kepala Collin yang lahap menyesap ASI. “Pelan-pelan, Sayang … nanti tersedak,”
*Hari pertama liburan … Asher terkejut ketika mobil yang mereka naiki berhenti di depan rumah yang familiar baginya. Dua bangunan yang berdiri di sana hampir serupa seperti rumah temannya. Karena kedua rumah itu telah dicat ulang, juga beberapa bagian di halaman yang direnovasi, Asher tak yakin dengan penilaiannya. Setelah belasan tahun berlalu, ingatan Asher pun agak samar. Dia melirik ke arah Laura yang sedang melamun. Mungkin Laura sedang mengingat kenangan masa kecilnya. Laura tiba-tiba keluar lebih dulu, sedangkan Asher masih duduk di mobil. Asher agak ragu jika rumah itu tempat tujuan mereka.“Kau yakin ini alamat yang benar?” tanya Asher pada Carlos. “Benar, Tuan. Walaupun tidak ada nomor dan beberapa rumah lain agak mirip, tetapi kita sudah sampai di titik lokasi sesuai alamat,” jawab Carlos. Sebelumnya, Asher juga melihat rumah yang hampir sama selama dalam perjalanan. Apakah dia keliru menerka rumah itu milik Enzo? Ketika Laura menuju rumah mereka, Asher justru berjala