Jake, Laura, Joanna 🕵️
“Lalu bagaimana kondisinya sekarang?”Dokter itu menghela napas. “Semoga malam ini Tuan Simon dapat melewati masa kritisnya. Kandungan obat itu sangat pekat, artinya bukan hanya satu atau dua obat yang ditelannya.”Asher tahu makna tersirat dari ucapan dokter itu. Jika Simon tak berhasil bertahan, kemungkinan besar mereka akan kehilangan Simon.Dia pernah melihat kakeknya meninggal. Ayah dari Adam itu juga komat-kamit seperti Simon, menyebutkan semua keluarga terkasihnya sebelum beristirahat untuk selamanya.“Jika Anda punya waktu, saya minta kerja samanya untuk menyelidiki tentang obat tersebut pada pihak berwajib, Tuan Smith. Kandungannya sangat berbahaya. Jika dikonsumsi terus-menerus dapat mengakibatkan cacat otak atau kematian.”Seperti Callista ....“Baiklah. Sekarang sudah larut malam. Anda bisa menghubungi saya besok. Saya juga ingin menemukan pengedar obat terlarang itu.”Di luar ruangan dokter Adam sudah menunggu Asher. Mereka berdua mendiskusikan masalah tersebut dengan sang
“Apa maksudmu?” Tak hanya Asher, Laura yang menguping pembicaraan mereka pun ikut terkejut. “Kau pasti mengira hanya Laura yang mengatakan tentang hasil lab obat itu, bukan?” Mata Laura melebar. Hampir saja dia melompat dari tempat persembunyian untuk menutup mulut Jake. Jake sudah berjanji padanya untuk merahasiakan itu semua dari Asher. Bisa-biasanya Jake mengatakan rahasia mereka tanpa rasa bersalah sedikit pun! Laura takut setengah mati jika Asher akan kecewa padanya. Mereka sudah sepakat untuk merahasiakan obat itu dari semua orang.“Aku selalu tahu apa yang istriku lakukan.” Asher yang tahu Laura sedang mendengar percakapan itu, sebisa mungkin tak akan membuat Laura merasa bersalah karena telah mengkhianati kepercayaannya. Saat ini, Asher tak ingin membuat Laura tertekan karena egonya. Dia ingin fokus memperbaiki hubungan Laura dan Simon.Lagi pula, selama Laura tidak selingkuh atau merayu pria lain, Asher tak mempermasalahkan. Terkadang, dia juga menyembunyikan sesuatu dari
"Aku … apa yang terjadi?" Laura terkejut sekaligus bingung. Apakah Asher menipunya saat mengatakan kondisi Simon? Namun, Laura dapat melihat bahwa Simon tak sedang bersandiwara. Mungkin, Simon benar-benar terbangun karena mendengar suaranya. Entah benar atau tidaknya keajaiban itu, Laura menghela napas lega. Dia tak terlambat untuk bicara dengan ayahnya. “Baiklah jika kau tidak mau memaafkan Papa, setidaknya kau masih mau menganggap Papa. Tidak apa-apa, Laura. Papa sangat senang kau mau datang ke sini.” Laura menggelengkan kepala sambil menghapus air mata di pipinya.“Aku … aku butuh waktu. Tidak semudah itu melupakan semua yang telah kau lakukan padaku.” Simon mengangguk lemah. Air mata masih mengalir deras di pipi Simon. Laura mengambilkan tisu, lalu menyekanya dengan lembut. Di luar kamar itu, Theo melihat dokter yang menangani Simon mendekat dari kejauhan. Dia langsung berbisik kepada Asher untuk membantunya mengambil semua alat-alat medis yang Theo pinjam dari salah satu pe
Suasana jadi menegangkan di antara mereka. Asher senang jika sekarang Laura lebih berani menyuarakan isi hatinya. Namun, Asher tetap tak suka Laura membantah atau bersikap menantangnya. Laura seakan tak menghargai dirinya. “Aku sudah menceritakan tentang masa laluku. Tapi, kau sekarang tidak mau menceritakan tentang masa lalumu? Seperti itu kau bilang adil?” Asher bertanya dengan suara penuh penekanan. Laura tahu Asher tersinggung. Tetapi, dia tak akan mundur. Tak ada gunanya memberi tahu Asher tentang sosok pemuda itu. “Adil sekali,” balas Laura seraya menatap manik mata hitam itu secara intens. “Kau-” ucapan Asher terhenti oleh suara dari ponselnya. Melihat Theo menghubungi dirinya, Asher gegas menerima panggilan. “Ada apa?” Bahkan, nada bicara Asher belum kembali normal ketika bicara dengan Theo. ‘Maaf, Tuan, apa saya mengganggu Anda?’ “Katakan saja keperluanmu menelepon malam-malam!” ‘Lokasi wanita itu sudah ditemukan. Tuan Jake sedang menuju ke sana, Tuan. Saya membutuhka
“C-Callista? Jake …” Gilda terkejut ketika nama yang dibencinya keluar dari mulut Rick. Dia baru tahu kalau Jake-lah yang mengurungnya selama ini. “T-Tidak … kau salah paham, Tuan.” “Menjijikkan.” Baru sekali itu Rick mengumpat pada wanita. “Hanya pria bodoh yang mau mengganti Callista dengan wanita jalang sepertimu.” Rick lekas meninggalkan kamar setelah mendengar jeritan Gilda saat Jim berhasil menembus pertahanannya. Dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari bekas sentuhan Gilda. Setelah selesai mandi, Jake dan Shane sudah ada di sana. Shane yang mendengar suara-suara di kamar sebelah hendak membuka pintu yang menghubungkan kedua kamar itu. “Aku tidak akan membukanya jika jadi kau.” Rick memperingatkan Shane. “Kau bisa sakit hati kalau melihat adegan di sana.” Ucapan Rick justru memicu rasa penasaran Shane. Dia tak ragu lagi membuka pintu itu dan langsung masuk ke sana. Langkah Shane terhenti ketika melihat mantan istrinya sedang dikungkung pria lain, peng
Ketika Laura membuka mata, Asher sudah tidur di sebelahnya. Kulit Asher terasa dingin, menandakan dia baru saja mandi dan langsung tidur. Laura mencium wajah Asher bertubi-tubi. Asher terlelap sangat dalam hingga tak merasakan sentuhan bibir istrinya. “Sayangku, terima kasih untuk semuanya.” Laura merenggangkan badan, lalu turun dari ranjang. Kegiatan yang selalu dilakukannya setelah sepenuhnya terjaga adalah mengecek kedua bayinya. “Anak-anak Mama sudah bangun ternyata … kenapa tidak menangis?” Claus dan Collin menggeliat sambil tersenyum lucu khas bayi. Laura sangat gemas pada keduanya. “Kalian lapar? Siapa dulu, ya, yang mau minum susu?” goda Laura, seakan-akan Claus dan Collin mengerti ucapannya. Laura lalu mengambil Collin ke dalam gendongannya. Karena Claus masih terlihat tenang, dia mengambil dulu bayi yang sudah tak sabar ingin menyusu padanya. Dengan penuh kasih sayang, Laura membelai puncak kepala Collin yang lahap menyesap ASI. “Pelan-pelan, Sayang … nanti tersedak,”
*Hari pertama liburan … Asher terkejut ketika mobil yang mereka naiki berhenti di depan rumah yang familiar baginya. Dua bangunan yang berdiri di sana hampir serupa seperti rumah temannya. Karena kedua rumah itu telah dicat ulang, juga beberapa bagian di halaman yang direnovasi, Asher tak yakin dengan penilaiannya. Setelah belasan tahun berlalu, ingatan Asher pun agak samar. Dia melirik ke arah Laura yang sedang melamun. Mungkin Laura sedang mengingat kenangan masa kecilnya. Laura tiba-tiba keluar lebih dulu, sedangkan Asher masih duduk di mobil. Asher agak ragu jika rumah itu tempat tujuan mereka.“Kau yakin ini alamat yang benar?” tanya Asher pada Carlos. “Benar, Tuan. Walaupun tidak ada nomor dan beberapa rumah lain agak mirip, tetapi kita sudah sampai di titik lokasi sesuai alamat,” jawab Carlos. Sebelumnya, Asher juga melihat rumah yang hampir sama selama dalam perjalanan. Apakah dia keliru menerka rumah itu milik Enzo? Ketika Laura menuju rumah mereka, Asher justru berjala
Jantung Asher hampir meledak tatkala melihat Laura berdiri di depan pintu. Hampir saja dia membenturkan pintu ke wajah istri yang ternyata tergila-gila padanya sejak kecil! “K-Kau … apa ini?” Asher sampai tergagap melihat sesuatu menghalangi wajah istrinya. Laura menyodorkan seikat bunga putih di depan wajah Asher. Menghalangi wajah terkejut suaminya.Semalam, Laura diam-diam menyuruh Carlos membelikan bunga itu. Karena Laura berencana mengatakan masa lalu mereka tadi malam, tetapi Asher malah pergi mengurusi Gilda. “Terima kasih sudah memenuhi janjimu, Paman … tidak, Kakak Tampan.” Laura tersenyum manis. Asher merasakan wajahnya memanas, pertanda pipinya sedang merona. “Kau … kau pikir aku perempuan? Kenapa memberikan bunga?” “Tidak ada aturan yang menyatakan jika wanita tidak boleh memberikan bunga kepada laki-laki. Kalau tidak mau, ya sudah, untuk dipajang di kamar Claus dan Collin saja.” “S-siapa yang tidak mau?!” Asher menyambar bunga itu dengan wajah yang semakin memerah. D
Laura Smith berjalan keluar dari gedung perusahaan Hartley. Pekerjaannya telah usai saat menjelang jam makan siang.Sudah satu tahun Laura kembali bekerja. Laura tak perlu mengawasi Lana selama seharian penuh lagi.Lana saat ini sudah berusia hampir lima tahun, sedangkan Claus dan Collin pun sudah sekolah. Si kembar cukup bisa diandalkan menjaga adiknya meski terkadang membuatnya menangis. “Di mana Asher?” gumam Laura menanti Asher keluar dari mobil.Di tepi jalan, mobil mewah telah menanti Laura. Biasanya, Asher selalu menunggu Laura di depan pintu masuk kantor. Namun, dia tak melihat tanda keberadaan sang suami di mana-mana.“Kenapa malah anak-anak yang datang ke sini?” Laura gegas menghampiri mereka.Dua anak lelaki tampan dan berwajah serupa membuka pintu di kedua sisi mobil bagian belakang. Claus membantu adik perempuannya yang memakai gaun putih turun dari mobil. Si kembar kemudian menggandeng Lana di kanan dan kiri secara protektif. Seakan-akan tak ingin ada satu pun orang men
Laura sudah menduga sejak awal saat dirinya melahirkan bayi perempuan. Asher pasti akan menjadi papa yang banyak membatasi pergerakan putri mereka. Dengan Rachel pun, Asher seperti ayah kandung yang selalu menegur setiap kali ada kesempatan. Laura takut membayangkan masa depan putrinya tidak akan bisa bebas, atau sulit mencari kebahagiaan yang diinginkannya karena tekanan dari Asher.Namun, kata-kata Asher yang menyatakan bahwa putri mereka tak akan berteman dengan siapa pun, Laura kali ini menyetujuinya. Setidaknya, untuk situasi sekarang.“Putri kami bahkan masih belum bisa melihat dengan jelas. Sebaiknya, kita membicarakan masalah teman bermainnya kalau dia sudah agak dewasa,” kata Laura kepada para nyonya besar yang hadir di pesta.Bukan hanya Asher yang diserang oleh tamu-tamu mereka, Laura pun demikian. Berbeda dari si kembar, jika putra mereka menjadi bagian dari Smith Group, besar kemungkinan dia bisa menduduki posisi tinggi tanpa bersusah payah, dan hanya karena menjadi suami
Lana Smith, putri pertama Asher dan Laura ditidurkan di tengah-tengah ranjang di kamar yang kini telah diubah sepenuhnya menjadi bernuansa merah muda. Asher, Claus, dan Collin tidur tengkurap mengelilinginya dan tak jenuh memandang bayi itu layaknya harta karun yang tak ternilai harganya.“Bibirnya bergerak-gerak, Papa,” bisik Collin.“Aduh … aku baru saja berkedip! Aku tidak melihatnya,” sesal Claus bermuram durja.“Nanti pasti bergerak lagi. Jangan terlalu keras bicara, Claus,” tegur Asher lirih.Claus cemberut dan hampir menyentuh pipi adik bayinya. Namun, Asher lekas mencegah dengan decapan dan menunjukkan tatapan tajam padanya.“Aku ingin menggendong adikku, Papa,” pinta Claus memelas.“Tidak boleh. Lana masih berusia dua hari lebih empat jam. Kau bisa menjatuhkan Lana.”Sejak diperbolehkan melihat bayi itu, mereka bertiga senantiasa mengamatinya dengan posisi sama. Asher mencatat setiap gerakan kecil Lana, sedangkan Claus dan Collin akan memberi tahu ketika dirinya sedang melakuk
Waktu berlalu dengan cepat. Perut Laura kini telah membesar dan hampir melahirkan.Asher dan Laura sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin bayi mereka karena pertentangan pendapat. Namun, dokter tetap memberi tahu bahwa bayi di dalam rahim Laura kali ini hanya ada satu.Asher meyakini bahwa bayinya berjenis kelamin perempuan, sedangkan Laura yakin bahwa anaknya lelaki. Sementara itu, orang-orang di sekeliling mereka pun memperdebatkan hal yang serupa dan tak ada yang menebak sama. Karena itu, kamar untuk bayi mereka juga dipersiapkan setengah untuk perempuan, setengah lagi untuk laki-laki.“Sayaaaang!” seru Asher dari koridor.Laura yang saat ini berada di kamar Claus dan Collin bersusah payah bangun untuk menyambut Asher yang baru saja pulang dari kerja. Simon gegas membantu Laura berdiri dan menuntunnya ke depan pintu.Rupanya, Asher masih jauh dari kamar itu dan hanya suaranya yang terlalu keras memanggil dirinya. Melihat sang istri kesulitan menegakkan badan, Asher gegas
“Hanna, apakah aku-”Hanna berjalan melewati Simon dan tak ingin mendengar penjelasan apa pun sekarang. Dia masih kecewa karena ternyata hanya dirinya yang menganggap Simon sebagai keluarga.Simon mengusap wajah dengan kasar, lalu berbalik menyusul Hanna. “Aku harus segera menjelaskan kesalahpahaman ini.”Hanna sudah hampir masuk ke mobil sambil bercakap-cakap dengan Laura. Melihat cara bicara Laura yang sambil melihat dirinya, Simon takut jika Hanna mengadukannya.Simon tak berani mendekat. Kemudian masuk ke pintu mobil di arah yang berlawanan dari mereka.Dalam perjalanan ke tempat wisata lain, Hanna sekali pun tak melihat Simon. Saat mengurus Claus dan Collin yang duduk di antara mereka dan harus menghadap Simon, Hanna selalu menunduk atau melihat ke arah lain.Hanna benar-benar mengacuhkan Simon sampai hari berikutnya. Dia selalu berkumpul dengan orang lain dan enggan duduk hanya berdua dengan Simon ketika mengasuh Claus dan Collin.Simon tak tahan lagi! Hari ketiga liburan merek
Di atas pantai pasir putih yang indah, Simon sedang tertelap dan ditemani wanita yang merupakan pelayan setia putri semata wayangnya. Hanna menggeser payung besar yang menghalau sinar matahari agar tubuh Simon tak kepanasan.“Tuan Simon sedang mimpi apa? Kenapa bibirnya bergerak-gerak begitu?” gumam Hanna selagi memperhatikan wajah Simon.Simon berdecap-decap sambil tersenyum, kemudian bergumam dalam tidurnya, “Kita akan menikah ….”Hanna terkekeh geli. “Kau sudah menikah dua kali, Tuan. Saat ini, kau pasti sedang memimpikan Nyonya Callista.”“Menikah … Hanna ….” Simon kembali bergumam-gumam, membuat pemilik nama itu terkesiap.Gumaman Simon setelahnya semakin jelas. Wajah Hanna menegang ketika bibir Simon mengucap namanya berulang kali.Hanna segera berlari meninggalkan Simon sambil menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, seakan-akan tak tahan untuk meneriakkan sesuatu. ‘Apa yang baru saja aku dengar?’ batin Hanna.Selama ini, Simon selalu menganggap Hanna sebagai putrinya. Setid
Makan malam semalam menjadi peristiwa memalukan bagi Rachel. Dia tak sadar, Alan ternyata membuat lukisan cinta di sekujur tubuhnya. Hingga dirinya enggan keluar dari kamar. Sayangnya, hari ini Rachel harus menjadi pemandu untuk para tamu istimewa yang datang dari luar negeri. Dia sudah berjanji akan mengajak Laura dan Emma jalan-jalan di tempat-tempat indah di sana. “Rachel, kau tidak perlu ikut dengan kami. Sepertinya, suamimu masih mengantuk ….” Laura menyenggol lengan Rachel dari belakang sambil terkekeh pelan dan melirik ke arah Alan yang menguap lebar. “Kak Alan pasti begadang semalaman.” Emma ikut menggoda kakak iparnya. Wajah Rachel merah padam mendengar para wanita itu menggodanya. “Sebentar lagi kita sampai di pantai. Kalian pasti akan menyukainya.” Rachel buru-buru mengalihkan pembicaraan. Awalnya, Emma masih ingin menggoda Rachel. Namun, setelah melihat pemandangan indah di depannya, dia urung melakukannya. Emma segera menghampiri suami dan putrinya dan mereka berpisah
Melihat peluh di wajah Alan dan tercium bau familier dari tubuhnya, Rangga menjadi sangat sedih. Alan ternyata telah mendapatkan sang putri kesayangan. Rangga tak bisa menatap Alan, bukan karena membencinya, tetapi hatinya terasa aneh. Anak yang dulu selalu melompat ke sana kemari itu, kini telah sepenuhnya menjadi wanita dewasa dan dimiliki pria itu. “Aku akan memanggil Rachel dulu, Ayah. Kami akan segera menyusul!” seru Alan pada Rangga yang tak berbalik atau menjawab dirinya. “Kau seharusnya melakukan itu nanti malam …. Namanya juga malam pertama. Sekarang masih terbilang sore. Aneh kalau disebut sore pertama, bukan?” celetuk Nevan, lalu tertawa pelan. Alan memutar bola mata. “Kami tinggal mengulangi lagi nanti. Lalu, apa yang membawamu kemari?” Tawa Nevan menghilang. Dia sebenarnya hanya ingin mengajak Hillary makan makan bersama keluarga besarnya meski Asher dan Laura juga diundang sebagai tamu kehormatan. Tetapi, dia ingin sedikit menggoda Hillary dengan menuntunnya ke area
Alan dan Rachel sangat antusias dan bahagia menjelang pernikahan mereka. Namun, setelah menjadi pasangan resmi, mereka justru berjauhan di dalam kamar hotel.“Kau tidak jadi mandi?” tanya Alan dengan mata yang tertuju ke arah lain.Alan beberapa kali mengibaskan kerah kemeja seperti orang kepanasan meski ruangan terasa sejuk. Sementara Rachel duduk sambil menekan-nekan asal layar ponselnya. “Sebentar lagi,” balas Rachel datar dan berusaha tenang.Sejak acara pernikahan usai, Rachel ingin segera mandi. Namun, setelah sampai di kamar, dia justru sangat gugup berhadapan dengan sang suami selama hampir setengah jam.Tak tahan lagi, Rachel meletakkan ponsel dan menuju kamar mandi. Alan melirik-lirik sambil bersenandung tak jelas seraya menatap luar jendela.Dia melihat pintu kamar mandi dari pantulan kaca jendela. Rachel menutup pintu setelah melihat dirinya.Alan akhirnya bisa duduk di sofa sambil menghela napas panjang.“Malam pertama kami … akan seperti apa?” gumam Alan sambil membayang