Siapa kira-kira orang yang naruh CCTV di boneka? 😈 Noah atau ...
Ketika Laura membuka mata, Asher sudah tidur di sebelahnya. Kulit Asher terasa dingin, menandakan dia baru saja mandi dan langsung tidur. Laura mencium wajah Asher bertubi-tubi. Asher terlelap sangat dalam hingga tak merasakan sentuhan bibir istrinya. “Sayangku, terima kasih untuk semuanya.” Laura merenggangkan badan, lalu turun dari ranjang. Kegiatan yang selalu dilakukannya setelah sepenuhnya terjaga adalah mengecek kedua bayinya. “Anak-anak Mama sudah bangun ternyata … kenapa tidak menangis?” Claus dan Collin menggeliat sambil tersenyum lucu khas bayi. Laura sangat gemas pada keduanya. “Kalian lapar? Siapa dulu, ya, yang mau minum susu?” goda Laura, seakan-akan Claus dan Collin mengerti ucapannya. Laura lalu mengambil Collin ke dalam gendongannya. Karena Claus masih terlihat tenang, dia mengambil dulu bayi yang sudah tak sabar ingin menyusu padanya. Dengan penuh kasih sayang, Laura membelai puncak kepala Collin yang lahap menyesap ASI. “Pelan-pelan, Sayang … nanti tersedak,”
*Hari pertama liburan … Asher terkejut ketika mobil yang mereka naiki berhenti di depan rumah yang familiar baginya. Dua bangunan yang berdiri di sana hampir serupa seperti rumah temannya. Karena kedua rumah itu telah dicat ulang, juga beberapa bagian di halaman yang direnovasi, Asher tak yakin dengan penilaiannya. Setelah belasan tahun berlalu, ingatan Asher pun agak samar. Dia melirik ke arah Laura yang sedang melamun. Mungkin Laura sedang mengingat kenangan masa kecilnya. Laura tiba-tiba keluar lebih dulu, sedangkan Asher masih duduk di mobil. Asher agak ragu jika rumah itu tempat tujuan mereka.“Kau yakin ini alamat yang benar?” tanya Asher pada Carlos. “Benar, Tuan. Walaupun tidak ada nomor dan beberapa rumah lain agak mirip, tetapi kita sudah sampai di titik lokasi sesuai alamat,” jawab Carlos. Sebelumnya, Asher juga melihat rumah yang hampir sama selama dalam perjalanan. Apakah dia keliru menerka rumah itu milik Enzo? Ketika Laura menuju rumah mereka, Asher justru berjala
Jantung Asher hampir meledak tatkala melihat Laura berdiri di depan pintu. Hampir saja dia membenturkan pintu ke wajah istri yang ternyata tergila-gila padanya sejak kecil! “K-Kau … apa ini?” Asher sampai tergagap melihat sesuatu menghalangi wajah istrinya. Laura menyodorkan seikat bunga putih di depan wajah Asher. Menghalangi wajah terkejut suaminya.Semalam, Laura diam-diam menyuruh Carlos membelikan bunga itu. Karena Laura berencana mengatakan masa lalu mereka tadi malam, tetapi Asher malah pergi mengurusi Gilda. “Terima kasih sudah memenuhi janjimu, Paman … tidak, Kakak Tampan.” Laura tersenyum manis. Asher merasakan wajahnya memanas, pertanda pipinya sedang merona. “Kau … kau pikir aku perempuan? Kenapa memberikan bunga?” “Tidak ada aturan yang menyatakan jika wanita tidak boleh memberikan bunga kepada laki-laki. Kalau tidak mau, ya sudah, untuk dipajang di kamar Claus dan Collin saja.” “S-siapa yang tidak mau?!” Asher menyambar bunga itu dengan wajah yang semakin memerah. D
“Apa dia orang gila? Kenapa ada orang seperti itu di rumah sakit?” Laura sempat mendengar ada salah satu orang mengatakan itu ketika dia sampai di sana. Orang-orang yang berkerumun di depan kamar Simon pun akhirnya berhasil dibubarkan. Laura dan Asher bergegas masuk ke dalam. Mereka kaget sekali melihat Nora ada di dalam, berpakaian seperti penari erotis. Dia juga berlutut memelas di dekat ranjang Simon sambil menangis histeris. Laura tak lagi heran dengan banyaknya orang ingin tahu apa yang ada di kamar Simon. Suara dan penampilan Nora itulah yang menarik perhatian mereka.“Apa yang kau lakukan di sini? Dan … apa-apaan itu pakaianmu?” Laura menjauhkan Nora dari Simon. “Laura … Kakak … tolong aku.” Nora merangkak maju ke depan Laura menggunakan lututnya. “Kakak, ada orang yang mau membunuhku. Aku takut! Tolong aku kali ini saja.” Wajah Laura mengernyit, tak mengerti dengan kata-kata Nora yang tak jelas karena bicara sambil menangis. Dan bagaimana bisa Nora tiba-tiba muncul di hada
“Undangan apa? Dia tak memberi tahu apa pun padaku ….” Laura mendadak kecewa setelah disodorkan undangan, bahkan sebelum membacanya. “Jangan cemberut dulu. Bacalah ….” Laura membuka undangan itu dengan air muka kesal. Namun, wajahnya berubah dalam sekejap. “Ya ampun, Sayang, ini gawat! Aku melupakan ulang tahun Paman Ben!” seru Laura panik. “Memangnya kenapa? Aku sudah membelikan mobil keluaran terbaru sebagai hadiah sejak membaca undangan itu. Kau tinggal menulis kartu ucapan untuknya.” Laura terkekeh geli. Membayangkan mobil itu dibungkus dengan menyelipkan kertas kecil di dalamnya. “Kau ada-ada, Sayang. Apa kita harus mengajak Claus dan Collin? Aku akan memberi tahu Hanna dulu ….” “Tidak perlu mengajak anak-anak, Sayang. Mereka bisa lelah nanti.” Laura mengangguk dan segera menyiapkan gaun untuk nanti malam. Alaina dan Alanis ikut membantu Laura menyiapkan beberapa gaun baru yang telah dipesan Asher sebelumnya.Selagi mencoba gaun-gaun itu, Laura berusaha menghubungi Emma, t
“Nyonya Pamela yang mengundang saya, Tuan. Maaf jika saya tidak memberi tahu Anda.” Theo menjadi salah tingkah tiba-tiba bertemu Asher. “Kenapa kau harus minta maaf? Kau punya kehidupan pribadimu sendiri. Aku hanya terkejut. Nikmatilah pestanya.” Asher menepuk bahu Theo, kemudian menggandeng Laura pergi. Pasangan suami istri itu selalu bertingkah seperti dua orang yang sedang dimabuk cinta. Asher tak segan-segan menunjukkan perhatian di depan banyak orang. Sebab, Asher sama sekali tak melihat sekelilingnya. Hanya ada Laura yang ada di matanya.“Tunggu sebentar, Sayang. Ada noda minuman di sudut bibirmu,” ucap Asher. Laura hendak mengusap bibirnya, tetapi Asher langsung mencegah tangannya. Asher tiba-tiba mendekatkan wajah dan memajukan bibirnya ke sudut mulut Laura. Dengan cepat dia menjilat noda itu. “Sayang! Banyak orang di sini!” Laura menyeka mulutnya dengan punggung tangan. “Aku hanya membersihkan bibirmu. Salah siapa tidak menyediakan tisu?” kilah Asher. “Bibirmu manis seka
Emma Ruiz menggeliat di atas ranjang. Kepalanya terasa pusing saat dia berusaha bangun. “Ugh ….” Emma duduk sambil menekan kedua matanya yang masih terasa lengket. Matanya mengerjap ketika melihat cahaya matahari yang masuk melalui sela tirai jendela yang tak tertutup rapat. Dengan enggan, dia turun dari ranjang dan langsung menuju kamar mandi. Jam pagi hari ini terasa lambat karena rasa malas yang tiba-tiba menggodanya untuk meliburkan diri dari rutinitas. Akan tetapi, teriakan Pamela segera menyadarkan dirinya. “Em, kau masih tidur?! Semua orang sudah mau pergi! Kau sudah bosan bekerja?!” Pamela berseru sambil menata tempat tidur Emma dengan satu pelayan. “Iya, Mama!” Emma balas berteriak dari dalam kamar mandi. Emma menyelesaikan rutinitas paginya dengan cepat. Dia pergi ke kantor tanpa sarapan lebih dulu karena sudah terlambat. Di kantor, dia telah ditunggu Judith, sekretarisnya yang telah bersiap untuk pergi ke suatu tempat. “Kau mau ke mana?” “Anda lupa? Kita harus menemu
“Judith, kau kembali ke kantor dulu pakai taksi. Aku akan mengantar dokumen ini sebentar.” “Baik, Nona, jangan lama-lama. Pekerjaan kita masih banyak.” Emma berkomat-kamit tanpa suara menanggapi Judith. Ada saja pesan atau teguran setiap kali dia bicara dengan sang sekretaris.Dia kemudian masuk ke mobilnya. Kemudian menyuruh sopir untuk mengantar ke alamat yang dimaksud. Sampai di depan gedung apartemen mewah, Emma menghubungi nomor pria itu. Namun, pria itu tak menjawab panggilan telepon. Emma lalu masuk ke dalam, menuju ke lantai sesuai yang diberitahu oleh karyawan di kantor Asher Smith. Selama di dalam elevator, Emma terus mempertanyakan diri sendiri, kenapa tidak menyuruh Judith saja yang mengantarnya? Apa dia ingin bertemu dengan pria itu.Dada Emma mendadak berdebar-debar kencang tatkala elevator yang membawanya naik telah sampai di tujuan. Dia mendadak ragu untuk melangkah keluar elevator, tetapi dalam sekejap kakinya sudah ada di luar. ‘Kenapa aku ke sini? Aku seharusnya