Keajaiban dari Asher 🤭
"Aku … apa yang terjadi?" Laura terkejut sekaligus bingung. Apakah Asher menipunya saat mengatakan kondisi Simon? Namun, Laura dapat melihat bahwa Simon tak sedang bersandiwara. Mungkin, Simon benar-benar terbangun karena mendengar suaranya. Entah benar atau tidaknya keajaiban itu, Laura menghela napas lega. Dia tak terlambat untuk bicara dengan ayahnya. “Baiklah jika kau tidak mau memaafkan Papa, setidaknya kau masih mau menganggap Papa. Tidak apa-apa, Laura. Papa sangat senang kau mau datang ke sini.” Laura menggelengkan kepala sambil menghapus air mata di pipinya.“Aku … aku butuh waktu. Tidak semudah itu melupakan semua yang telah kau lakukan padaku.” Simon mengangguk lemah. Air mata masih mengalir deras di pipi Simon. Laura mengambilkan tisu, lalu menyekanya dengan lembut. Di luar kamar itu, Theo melihat dokter yang menangani Simon mendekat dari kejauhan. Dia langsung berbisik kepada Asher untuk membantunya mengambil semua alat-alat medis yang Theo pinjam dari salah satu pe
Suasana jadi menegangkan di antara mereka. Asher senang jika sekarang Laura lebih berani menyuarakan isi hatinya. Namun, Asher tetap tak suka Laura membantah atau bersikap menantangnya. Laura seakan tak menghargai dirinya. “Aku sudah menceritakan tentang masa laluku. Tapi, kau sekarang tidak mau menceritakan tentang masa lalumu? Seperti itu kau bilang adil?” Asher bertanya dengan suara penuh penekanan. Laura tahu Asher tersinggung. Tetapi, dia tak akan mundur. Tak ada gunanya memberi tahu Asher tentang sosok pemuda itu. “Adil sekali,” balas Laura seraya menatap manik mata hitam itu secara intens. “Kau-” ucapan Asher terhenti oleh suara dari ponselnya. Melihat Theo menghubungi dirinya, Asher gegas menerima panggilan. “Ada apa?” Bahkan, nada bicara Asher belum kembali normal ketika bicara dengan Theo. ‘Maaf, Tuan, apa saya mengganggu Anda?’ “Katakan saja keperluanmu menelepon malam-malam!” ‘Lokasi wanita itu sudah ditemukan. Tuan Jake sedang menuju ke sana, Tuan. Saya membutuhka
“C-Callista? Jake …” Gilda terkejut ketika nama yang dibencinya keluar dari mulut Rick. Dia baru tahu kalau Jake-lah yang mengurungnya selama ini. “T-Tidak … kau salah paham, Tuan.” “Menjijikkan.” Baru sekali itu Rick mengumpat pada wanita. “Hanya pria bodoh yang mau mengganti Callista dengan wanita jalang sepertimu.” Rick lekas meninggalkan kamar setelah mendengar jeritan Gilda saat Jim berhasil menembus pertahanannya. Dia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari bekas sentuhan Gilda. Setelah selesai mandi, Jake dan Shane sudah ada di sana. Shane yang mendengar suara-suara di kamar sebelah hendak membuka pintu yang menghubungkan kedua kamar itu. “Aku tidak akan membukanya jika jadi kau.” Rick memperingatkan Shane. “Kau bisa sakit hati kalau melihat adegan di sana.” Ucapan Rick justru memicu rasa penasaran Shane. Dia tak ragu lagi membuka pintu itu dan langsung masuk ke sana. Langkah Shane terhenti ketika melihat mantan istrinya sedang dikungkung pria lain, peng
Ketika Laura membuka mata, Asher sudah tidur di sebelahnya. Kulit Asher terasa dingin, menandakan dia baru saja mandi dan langsung tidur. Laura mencium wajah Asher bertubi-tubi. Asher terlelap sangat dalam hingga tak merasakan sentuhan bibir istrinya. “Sayangku, terima kasih untuk semuanya.” Laura merenggangkan badan, lalu turun dari ranjang. Kegiatan yang selalu dilakukannya setelah sepenuhnya terjaga adalah mengecek kedua bayinya. “Anak-anak Mama sudah bangun ternyata … kenapa tidak menangis?” Claus dan Collin menggeliat sambil tersenyum lucu khas bayi. Laura sangat gemas pada keduanya. “Kalian lapar? Siapa dulu, ya, yang mau minum susu?” goda Laura, seakan-akan Claus dan Collin mengerti ucapannya. Laura lalu mengambil Collin ke dalam gendongannya. Karena Claus masih terlihat tenang, dia mengambil dulu bayi yang sudah tak sabar ingin menyusu padanya. Dengan penuh kasih sayang, Laura membelai puncak kepala Collin yang lahap menyesap ASI. “Pelan-pelan, Sayang … nanti tersedak,”
*Hari pertama liburan … Asher terkejut ketika mobil yang mereka naiki berhenti di depan rumah yang familiar baginya. Dua bangunan yang berdiri di sana hampir serupa seperti rumah temannya. Karena kedua rumah itu telah dicat ulang, juga beberapa bagian di halaman yang direnovasi, Asher tak yakin dengan penilaiannya. Setelah belasan tahun berlalu, ingatan Asher pun agak samar. Dia melirik ke arah Laura yang sedang melamun. Mungkin Laura sedang mengingat kenangan masa kecilnya. Laura tiba-tiba keluar lebih dulu, sedangkan Asher masih duduk di mobil. Asher agak ragu jika rumah itu tempat tujuan mereka.“Kau yakin ini alamat yang benar?” tanya Asher pada Carlos. “Benar, Tuan. Walaupun tidak ada nomor dan beberapa rumah lain agak mirip, tetapi kita sudah sampai di titik lokasi sesuai alamat,” jawab Carlos. Sebelumnya, Asher juga melihat rumah yang hampir sama selama dalam perjalanan. Apakah dia keliru menerka rumah itu milik Enzo? Ketika Laura menuju rumah mereka, Asher justru berjala
Jantung Asher hampir meledak tatkala melihat Laura berdiri di depan pintu. Hampir saja dia membenturkan pintu ke wajah istri yang ternyata tergila-gila padanya sejak kecil! “K-Kau … apa ini?” Asher sampai tergagap melihat sesuatu menghalangi wajah istrinya. Laura menyodorkan seikat bunga putih di depan wajah Asher. Menghalangi wajah terkejut suaminya.Semalam, Laura diam-diam menyuruh Carlos membelikan bunga itu. Karena Laura berencana mengatakan masa lalu mereka tadi malam, tetapi Asher malah pergi mengurusi Gilda. “Terima kasih sudah memenuhi janjimu, Paman … tidak, Kakak Tampan.” Laura tersenyum manis. Asher merasakan wajahnya memanas, pertanda pipinya sedang merona. “Kau … kau pikir aku perempuan? Kenapa memberikan bunga?” “Tidak ada aturan yang menyatakan jika wanita tidak boleh memberikan bunga kepada laki-laki. Kalau tidak mau, ya sudah, untuk dipajang di kamar Claus dan Collin saja.” “S-siapa yang tidak mau?!” Asher menyambar bunga itu dengan wajah yang semakin memerah. D
“Apa dia orang gila? Kenapa ada orang seperti itu di rumah sakit?” Laura sempat mendengar ada salah satu orang mengatakan itu ketika dia sampai di sana. Orang-orang yang berkerumun di depan kamar Simon pun akhirnya berhasil dibubarkan. Laura dan Asher bergegas masuk ke dalam. Mereka kaget sekali melihat Nora ada di dalam, berpakaian seperti penari erotis. Dia juga berlutut memelas di dekat ranjang Simon sambil menangis histeris. Laura tak lagi heran dengan banyaknya orang ingin tahu apa yang ada di kamar Simon. Suara dan penampilan Nora itulah yang menarik perhatian mereka.“Apa yang kau lakukan di sini? Dan … apa-apaan itu pakaianmu?” Laura menjauhkan Nora dari Simon. “Laura … Kakak … tolong aku.” Nora merangkak maju ke depan Laura menggunakan lututnya. “Kakak, ada orang yang mau membunuhku. Aku takut! Tolong aku kali ini saja.” Wajah Laura mengernyit, tak mengerti dengan kata-kata Nora yang tak jelas karena bicara sambil menangis. Dan bagaimana bisa Nora tiba-tiba muncul di hada
“Undangan apa? Dia tak memberi tahu apa pun padaku ….” Laura mendadak kecewa setelah disodorkan undangan, bahkan sebelum membacanya. “Jangan cemberut dulu. Bacalah ….” Laura membuka undangan itu dengan air muka kesal. Namun, wajahnya berubah dalam sekejap. “Ya ampun, Sayang, ini gawat! Aku melupakan ulang tahun Paman Ben!” seru Laura panik. “Memangnya kenapa? Aku sudah membelikan mobil keluaran terbaru sebagai hadiah sejak membaca undangan itu. Kau tinggal menulis kartu ucapan untuknya.” Laura terkekeh geli. Membayangkan mobil itu dibungkus dengan menyelipkan kertas kecil di dalamnya. “Kau ada-ada, Sayang. Apa kita harus mengajak Claus dan Collin? Aku akan memberi tahu Hanna dulu ….” “Tidak perlu mengajak anak-anak, Sayang. Mereka bisa lelah nanti.” Laura mengangguk dan segera menyiapkan gaun untuk nanti malam. Alaina dan Alanis ikut membantu Laura menyiapkan beberapa gaun baru yang telah dipesan Asher sebelumnya.Selagi mencoba gaun-gaun itu, Laura berusaha menghubungi Emma, t