Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.
“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”
“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.
“Halah! Ibuk masih di sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”
Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet.
Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.
“Rin!”
Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo.
“Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci dulu, biar tangannya nggak melepuh.”
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Rinjani ikut saja saat ibunya membawanya ke wastafel dan meletakkan tangannya di bawah air mengalir.
Ternyata, dia terlalu terlena dengan khayalannya sendiri sehingga tidak menyadari kalau sup panas itu sudah mengenai tangannya. Lagi dan lagi tangannya terkena cairan panas.
Rinjani merasa hari ini adalah hari sialnya. Tanpa bisa dia tahan air matanya mengalir deras.
“Astaga, sakit ya Rin. Sebentar, aku ambil salep dulu ke kamar.” Seorang dari mereka sigap mengambil salep dari kotak obat.
“Kalian lanjut dulu masaknya, biar aku yang urus Rinjani.” Tegas ibunya berkata. Yang lain juga hanya mengangguk sembari menatap mereka khawatir.
Rinjani hanya bisa menundukkan kepalanya menyembunyikan tangis di wajahnya.
Ibunya membawanya ke satu bangunan lain yang tidak jauh dari tempat itu. Di bangunan ini semua pembantu yang bekerja di keluarga itu tinggal.
Ini juga adalah rumah tempat Rinjani di besarkan. Ibunya membawa Rinjani duduk. Sembari mengoleskan salep itu dengan wajah serius.
“Yu, kamu ada masalah?” tanya ibunya lembut.
“Nggak kok, Bu. Aku cuma kecapekan,” dustanya.
Wanita paruh baya itu menarik napas panjang. “Rin, ibu sudah kerja begitu lama di keluarga ini. Kita punya hutang budi sangat besar untuk keluarga ini. Ibu nggak mau mengecewakan orang rumah ini, siapapun itu.”
Rinjani terdiam mendengar itu.
“Maaf, kalau ibu dan ayah nggak bisa kasih kehidupan yang bagus untukmu dan adikmu. Sehingga kamu Cuma bisa dibesarkan sebagai anak supir dan pembantu.”
Rinjani menggelengkan kepalanya kuat. “Buk, ibuk kok ngomongnya gitu?” Suaranya bergetar.
“Ibu tahu kamu suka sama Den Brama, tapi kamu juga tahu itu mustahil. Cepat atau lambat, Den Brama akan menikah juga.”
Rinjani menundukkan kepalanya, rasanya dia bagai ditelanjangi saat itu. Seakan seluruh isi hati dan rasa mindernya dibongkar habis-habisan.
“Dan perempuan itu nggak mungkin kamu. Kamu juga sadar, itu kan?”
Kepala Rinjani semakin menunduk malu. Perasaannya pada Brama, bukan rahasia lagi di depan ibunya. Namun, bahkan sampai sekarang ibunya masih menganggap kalau itu hanya perasaan yang bertepuk sebelah tangan.
“Ayu tahu, Bu. Ayu sadar diri, nggak akan pernah berani berpikir macam-macam tenang saja.” Sejak ibunya menyadari perasaannya pada Brama, dia sudah selalu diingatkan untuk tahu diri, tahu diri dan tahu diri. Sampai dia jenuh mendengarnya.
Tetapi, baru sekarang Rinjani menyesali, kenapa dia tidak mendengarkan ibunya sedari dulu? Sekarang, hatinya hancur, hubungan mustahil itu akhirnya sampai pada akhirnya. Siapa yang bisa dia salahkan?
Ibunya sudah hendak membuka mulut menasehati anaknya itu lagi tapi kemudian dia menghela napas panjang dan memeluk Rinjani.
Dia mengusap punggung anak gadisnya itu lembut. Rinjani tidak bisa lagi menahan diri dan meluapkan semua tangisnya di sana. Hingga tinggal isak tangis yang tersisa dan suaranya parau.
“Maafin aku, Bu. Maaf, maaf.” Dia hanya bisa bergumam sesegukan. Sementara ibunya terus mengangguk sembari mengusap rambut dan punggungnya lembut.
Setelah beberapa saat, Rinjani akhirnya merasa lelah. Matanya sudah sakit dan bahkan tidak bisa lagi mengucurkan air mata.
“Bu, apa ibu masih nggak berminat keluar dari kerjaan ibu sekarang?” tanyanya serak.
“Sekarang, aku dan adek bisa kok membiayai ibu dan bapak. Tabungan kalian juga sudah cukup untuk buka usaha kecil-kecilan. Kita nggak perlu lagi kerja di sini.”Ibunya mendorong Rinjani menjauh dari pelukannya dan menatap lekat mata anaknya itu. “Yu, sebagai manusia, kita itu harus tahu balas budi. Keluarga ini mau mempekerjakan ibu dan bapak yang nggak punya pendidikan, dan bahkan kasih anak-anak ibu beasiswa untuk sekolah tinggi. Selamanya ibu dan bapak nggak akan bisa balas budi baik keluarga ini.”
Rinjani tersenyum getir. Dia tahu, ibunya masih merasa berhutang budi pada keluarga Abiyasa. Budi baik yang juga membuat kepalanya terasa berat saat menatap Brama.
Hutang budi yang membuatnya selalu merasa inferior dan tidak berani membantah Brama. Yang akhirnya berakibat pada dinamika hubungan mereka yang terasa sangatt timpang.
Dia bahkan tidak yakin apakah mereka bisa disebut sebagai pasangan kekasih. Pernyataan cinta, perlakuan romantis, sikap manis, hal-hal semacam itu tidak pernah ada di hubungan mereka.
“Ayu tahu, Bu.”
Gagal lagi membujuk ibunya, Rinjani akhirnya pergi meninggalkan rumah itu dengan membawa rantang di tangannya. Gadis itu mempercepat langkahnya tidak ingin bertemu dengan Brama.
Sayangnya, hari ini keberuntungan sama sekali tidak di pihak gadis itu. Semesta seakan bekerja sama untuk melukainya.
“Eh, Kamu juga di sini.”
Suara merdu yang sama sekali tidak ingin dia dengar menyapa telinganya kasar. Rinjani tidak ingin menanggapi tapi menghindar juga hanya akan membuatnya terkesan semakin tidak sopan.
Rinjani menoleh dan tersenyum ke arah Kiara yang baru saja keluar dari mobil dengan Brama.
“Hei, kamu sekretaris Brama, kan? Kok di sini?”
Kiara bertanya dengan nada polos.
“Orangtuaku juga kerja di sini, jadi aku menemui mereka.” Rinjani menjawab dengan sopan. Meski pandangannya terus menatap lantai.
“Oh iya? Aku kok nggak tahu? Brama kamu nggak cerita. Tahu begitu kan tadi kita bisa pulang bareng.”
Brama berdiri tegap tidak tahu dari mereka dengan sebelah tangan dimasukkan ke kantong.
“Kamu sendiri tadi yang bilang mau beli cake dulu.”
“Oh iya.” Kiara menjulurkan lidahnya jenaka mendengar itu.
Rinjani tidak ingin melihat kemesraan dua orang itu lebih lama lagi. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak? Buk?”
“Apa sih, kamu manggil aku ibuk segala. Apa wajahku setua itu? Yang bos kamu kan Brama bukan aku, panggil saja aku Kiara.”
Kiara menggandeng tangan Rinjani akrab, seakan mereka sudah lama kenal. “Kamu nggak buru-buru kan? Bagaimana kalau temani aku dulu di sini? Ini kali pertama aku ke rumah Brama. Rasanya gugup banget. Bagaimana kalau om dan tante nggak suka sama aku?”
Tangan lembut mungil itu terasa bagai borgol di tangan Rinjani, betapa ingin dia menepis tangan itu kasar.
Brama tampak tida setuju, tapi Kiara hanya tersenyum dan menarik tangan Rinjani masuk ke dalam. Rinjani pun terpaksa melangkah masuk ke rumah itu.
Di belakangnya, Brama hanya bisa mengikuti mereka pasrah. “Pertunangan kita diatur oleh mama dan ibumu, jadi mama nggak mungkin nggak suka padamu.”
Mendengar itu, Kiara hanya menoleh sekilas ke belakang lalu tersenyum tipis. “Biarin saja, aku Cuma mau ada temannya saja. Namanya pertemuan pertama gugup itu kan wajar.”
Rinjani hanya bisa diam, menelan kenyataan pahit itu seorang diri. Pandangannya berkali-kali bertemu dengan mata Brama, tapi pria itu tidak berkata apa-apa. Seolah-olah yang terjadi di antara mereka dulu tidak pernah ada.
“Terserahmu saja. Aku ganti baju dulu ke atas.”
Ketika Brama pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian, atmosfer di ruangan berubah drastis. Kiara, yang sebelumnya tampak hangat dan bersahabat, kini menatap Rinjani dengan dingin. Bibirnya melengkung sinis.
“Aku tahu, kamu teman tidur Brama.”
Deg!Rinjani tertegun, mendengar itu.“Siapa yang bilang begitu?”Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya."Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara te
“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekananRinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”Brama menghela napas
Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negar
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Rasa malu yang sangat besar menyeruak dalam diri Rinjani. Apa yang dia lakukan dengan Brama memang bukan hal yang membanggakan. Tanpa ikatan dia tinggal serumah dengan laki-laki. Selain orangtuanya, orangtua Brama adalah orang berikutnya yang dia takuti akan tahu tentang ini. Mendengar sendiri kalau dia adalah simpanan dan ayah Brama itu tidak akan pernah mengizinkannya menjadi istri Brama membuatnya merasa sangat murahan.Selama ini, semua usaha dan cintanya dipandang sangat rendah oleh pria yang mengisi hatinya itu.“Kamu anak kebanggaan papa. Masa depan perusahaan ini ada di tanganmu. Sesekali mengurangi stres dengan perempuan, papa nggak akan melarang, tapi ingat tanggung jawabmu jangan sampai terabaikan!”“Aku tahu.”“Hidup ini seperti main catur, jangan ragu untuk memanfaatkan segala bidak yang kamu punya untuk mencapai tujuan.” “....”Rinjani yang mendengarkan semua itu di luar, mengepalkan tangannya kuat. Harga dirinya sungguh tidak ada artinya di mata ayah dan a
“Ssh!” Brama menjauhkan bibirnya dari Rinjani sembari meringis kesakitan. Keningnya berkerut menatap wanita itu kesal. Rinjani tidak ingin kalah dia membalas tatapan itu tanpa takut. Dia tidak ingin terus-menerus diam saat Brama memperlakukannya seenaknya.Brama mencengkram kedua sisi pipi Rinjani dengan sebelah tangannya. “Kamu berani sekarang?”Pertanyaan itu membuat kemarahan dalam diri Rinjani semakin membara. “Kenapa aku harus takut? Kamu tahu yang kamu lakukan ini pelecehan!”Brama tersenyum tipis. “Pelecehan?” Dia mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah. “Aku bahkan sudah pernah melakukan lebih dari ini, kenapa baru sekarang jadi masalah?”Air mata berjatuhan dari pipi Rinjani. “Selama ini aku terlalu bodoh! Dibutakan cinta sampai rela melakukan apa saja, tapi sekarang aku Cuma mau kita berpisah, Bram.”“Hahh!” Brama menatap Rinjani dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kelembutan yang Rinjani tidak bisa mengerti di sana. “Sedari awal kita bersama, kamu tahu hubun
Meski kebingungan, Rinjani memaksakan tubuh lelahnya untuk beranjak ke kamar mandi. Dengan sangat cepat dia mandi dan bersiap-siap.Begitu dia keluar dari kamar mandi, Brama sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk memulas wajahnya dan langsung menariknya pergi.Tergopoh-gopoh Rinjani mengambil tas dan ponselnya lalu berlari menyusul Brama. Mereka menaiki mobil Brama lalu meninggalkan apartemen itu.Kening Brama berkerut dalam, tangannya terkepal memegang kemudi mobil itu kuat hingga urat yang ada di tangannya bertonjolan.“Apa yang terjadi?” tanya Rinjani pelan.“Ada yang mengambil foto kita semalam, sekarang wartawan mengelilingi Kiara untuk mempertanyakan masalah itu.”Rinjani tertegun, dan buru-buru melihat ponselnya sendiri. Dia membuka media sosial, dan hatinya langsung berdebar kencang. Foto dirinya bersama Brama ada di mana-mana, dan komentar-komentar pedas mulai memenuhi kolom komentar.‘Kiara pasti hancur melihat ini!’‘Baru kali ini kasih tahu publik tentang paca
Suara nyaring Rinjani membuat suasana akhirnya semakin terkontrol. Sisa wawancara dadakan itu berlangsung dengan cukup kondusif.Tidak berapa lama, manajer beserta tim Kiara datang membantu mereka. Dengan kedatangan manajernya Kiara lalu bisa masuk ke dalam rumah dengan Brama. Sementara itu, Rinjani ikut membantu mengakhiri wawancara itu dan memastikan kalau semua wartawan itu sudah pergi dari sana. Senyum ramah dan kalimat manis terus keluar dari mulut manajer dan tim Kiara. Tidak terlihat sedikitpun kemarahan meski perlakuan anarkis wartawan tadi nyaris melukai artis mereka. Setelah membereskan semuanya, baru Rinjani ikut masuk bersama dengan mereka ke dalam rumah.Rinjani bisa merasakan manajer Kiara menatapnya sinis beberapa kali tapi dia hanya mengabaikannya. Manajer Kiara adalah seorang pria berpenampilan flamboyan dengan blouse motif bunga dengan celana chinos berwarna cokelat. Gaya jalannya sedikit kemayu.“Bikin repot semua orang saja! Kalau sekretaris harusny
“Secepatnya, Tante. Karena keadaan mama saya sudah cukup mendesak, harus segera dioperasi.”“Aku dan Jagat berencana mengadakan acara tukar cincin sederhana saja di depan orangtua Jagat, untuk membuat ibu Jagat lebih tenang.” Takut kalau orangtua Rinjani tidak senang dengan kalimat itu, Jagat buru-buru menambahkan. “Ini Cuma sekedar untuk menunjukkan ke mama saya kalau serius hendak menikah ke mama saya. Setelah keadaan mama membaik, kami akan mengulangi semua acara itu dengan lebih serius.”Udara di ruang tamu apartemen terasa berat. Orangtua Rinjani duduk berhadapan dengan Jagat, wajah mereka dipenuhi keraguan. Ibu Rinjani memutar-mutar gelas teh di tangannya, matanya tak lepas dari wajah pemuda di hadapannya."Jujur, kami masih sulit menerima, semuanya secepat ini. Apalagi, kami sama sekali belum bertemu dengan keluargamu.”Jagat duduk tegak, tangannya tergenggam di atas lutut. "Saya mengerti kekhawatiran Om dan Tante, tapi keadaan mama benar-benar tidak mendukung untuk pem
Lift apartemen bergerak pelan, namun detak jantung Rinjani berdegup kencang. Kulitnya masih terasa hangat di tempat Brama menyentuhnya tadi, seolah bekas jari-jarinya membakar.Apa yang terjadi padanya? Pikiran itu terus mengusik. Wajah Brama yang biasanya tegar tadi terlihat begitu rapuh—matanya redup, garis wajahnya kaku oleh stres yang tak terkatakan.Tidak. Rinjani menggeleng keras. Dia Brama. Dia selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.Tapi alasan itu tidak membuat dadanya lega. Rasanya seperti berbohong pada diri sendiri.Rinjani memaksa dirinya untuk tidak memikirkan masalah itu lebih jauh lagi.Pintu apartemen terbuka. Suara obrolan orangtuanya dari ruang tamu menyambutnya."Yu? Kamu pulang larut sekali," suara hangat ibu menyapa, matanya penuh pertanyaan.Rinjani menarik napas dalam-dalam. "Iya, Bu. Tadi habis dari rumah sakit, bertemu dengan orangtua Jagat.”“Secepat itu? Bukannya kalian baru kenal?”Rinjani terdiam mendengar pertanyaan ibunya itu, setelah ragu sesaat
Brama mengambil langkah mundur, wajahnya tertutup. “Ma, aku nggak mau berdebat dengan mama sekarang ini. Sebaiknya mama tenangkan diri dulu.”Dia tidak pernah percaya kalau pernikahannya akan menentukan masa depannya di perusahaan. Dia sudah menjadi direktur di perusahaan itu selama beberapa tahun.Semua pengalaman, kegagalan dan keberhasilan mengajarinya banyak hal. Dia percaya, untuk mengembangkan perusahaan itu dia tidak perlu harus menikah dengan perempuan.Harga dirinya tidak mengizinkan Brama menjadi sosok seperti ayahnya."Brama!”Tapi Brama sudah berbalik, berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia berhenti. "Ma, mama tenang saja. Aku bukan laki-laki naif yang akan membuang semua yang aku miliki untuk cinta.”Dia percaya dia bisa mendapatkan semuanya tanpa harus kehilangan salah satunya. Kontrol atas pernikahannya dan Abiyasa Grup, dia akan mendapatkan semuanya.Ibu Brama hanya bisa menatap anaknya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Kecemasan dan rasa kesal bercampu
Brama memilih diam, dengan keras kepala dia menolak untuk minta maaf atau menundukkan kepala di depan ayahnya.“Bahkan Rinjani lebih bisa mengontrol emosinya! Kamu kalah sama perempuan!"Nama Rinjani seperti pisau yang menancap. "Jangan bandingkan aku dengannya." Tangan Brama terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Sekarang ini, mungkin Rinjani sama sekali tidak peduli lagi padanya.Dia bahkan sudah memiliki pria lain di sisinya. Saat itu, emosi itu kembali memuncak dalam dirinya. Dia menahan diri sejak tadi untuk tidak memborbardir nomor telepon Rinjani dengan telepon dan pesan untuk menanyakan siapakah laki-laki itu."Kalau kamu tidak bisa mengontrol perasaanmu terhadap mantan karyawan itu, lebih baik kau pecat dia sekarang juga!" Ayahnya menatap tajam. "Direktur Abiyasa Grup tidak boleh dikendalikan oleh perempuan!"Brama menarik napas dalam-dalam. "Aku bisa mengontrol diri."Ayahnya tertawa sinis. "Benarkah? Aku harap kamu benar-benar melakukan perkataanmu!” Pria itu ber
Rinjani tersipu, sementara Jagat hanya diam, matanya menatap Rinjani dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara syukur atau beban harus bertunangan dengan perempuan yang baru dia kenal."Jadi, kapan acara tunangannya?" tanya Ibu Jagat bersemangat.Rinjani tersenyum. "Bagaimana kalau minggu depan? Sederhana saja, di sini jika Tante, tidak bisa keluar rumah sakit."Ibu Jagat mengangguk antusias. "Nggak boleh. Ini kan acara pertunangan kalian, masa di rumah sakit. Nanti orangtua kamu nggak setuju, mengiranya Jagat nggak serius.”“Nggak begitu, Tante. Orangtua saya pasti akan menerima saja kok. Apalagi kondisinya memang memaksa.”“Iya, Ma. Nanti nikahannya bisa dibuat agak besar kalau mama sudah sembuh.”Ibu Jagat masih terlihat enggan dia menatap ke arah suaminya.Ayah Jagat menghela napas. "Papa akan coba bicara sama dokternya, tapi kalau dokternya nggak ngasih mama izin, kita harus tetap mengadakannya di sini, oke? Tenang saja nanti papa yang bantu bicara ke orangtua Rinjani."Rinjani
Tetapi, Brama bukan orang yang bisa melepaskan semua hanya untuk emosi sesaat. Mengingat semua tujuannya, Brama kembali menahan dirinya. “Ayo, papa sudah nunggu kita, Bram.”Kiara menarik Brama menjauh dari sana. Brama menghela napas gusar. “Besok kita bicara di kantor!”“Hmm.”Udara di antara mereka terasa semakin tegang. Rinjani bisa merasakan panas dari tatapan Brama, tapi dia juga merasakan ketegangan di bahu Jagat sudah pasang badan di depannya.Brama pergi meninggalkan Rinjani di sana bersama Kiara. Rinjani menghembuskan napas panjang.“Kita pergi?” tanya Jagat.Jagat mengangguk, lalu dengan sengaja meletakkan tangan di punggung Rinjani, membimbingnya pergi.Saat mereka sudah cukup jauh, Jagat menghela napas. "Kamu baik-baik saja?"Rinjani mengangguk, tapi senyumnya terlihat terpaksa. "Aku nggak papa. Maaf, membuat kamu terseret masalah ini.”Jagat memandangnya dengan serius. "Its okay. Aku nggak masalah. Masih ... sulit melihat dia sama perempuan lain?”Rinjani tertegun.
"Rin?" Jagat memanggil, memecah lamunannya. “Are you okay?”Rinjani menghela napas dalam-dalam. "Aku baik-baik saja, maaf sedikit melamun tadi. Aku gugup,” dustanya.Tapi hatinya berbicara lain. Setiap langkah mendekati hole ke-9 terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca."Pak Hendra!" sapa Jagat dengan ramah saat mereka tiba di lokasi.Seorang pria berbadan tegap berbalik, wajahnya langsung berseri. "Jagat! Akhirnya kamu datang juga!"Mereka berjabat tangan erat."Ini Rinjani, orang yang mau ketemu Bapak,” perkenalkan Jagat.Rinjani menyodorkan tangannya. "Senang bertemu dengan Anda, Pak Hendra.""Ah, halo. Jagat sudah menceritakan tentangmu. Dari Abiyasa Grup, kan? " ujar Hendra sambil tersenyum. "Ayo kita bicara sambil jalan."Mereka mulai berjalan menyusuri lapangan. Rinjani mengeluarkan proposal dari tasnya, menjelaskan dengan lugas rencana proyek mereka."Untuk harga, ini jumlah yang bisa kami berikan untuk bapak, tapi bapak tenang saja, semuanya setelah itu akan tim kami
"Tunggu," Rinjani tiba-tiba menyela. “Jangan dulu, biar aku usahakan sendiri dulu saja.”Jagat tertawa pendek. "Memangnya kenapa? Aku senang bisa membantu." Matanya menatap Rinjani. "Lagipula, Pak Hendra masih sedikit hutang sama aku. Jadi ini win-win solution."Rinjani mengerutkan kening. "Hutang?""Hmm, aku pernah membantunya menyelesaikan masalah perusahaannya, aku juga pernah membantunya waktu hampir pailit, jadi dia akan lebih mendengarkanku dibanding kamu yang belum dia kenal," jawab Jagat santai, seperti itu hal sepele. "Jadi tenang saja, aku nggak keberatan."Radit menyikut lembut lengan kakaknya. "Dengerin tuh, Kak. Jagat aja nggak masalah! Koneksi itu dimanfaatkan "Rinjani menatap kedua pria itu bergantian. Dadanya terasa sesak oleh perasaan aneh—antara bersyukur dan tidak enak hati."Terima kasih ....”“Sama-sama. Itu Cuma hal kecil saja untukku, kamu nggak perlu merasa segan.” Karena dia sudah menerimanya, Rinjani memutuskan untuk menggunakan cara lain untuk berterim
***“Woi, Kak. Mikirin apa? Bengong saja dari tadi. Itu sampai laptop yang nontonin kakak!”Radit menepuk pundak Rinjani pelan menyadarkan Rinjani dari lamunannya. Rinjani tersentak kaget. Dia masih memikirkan kalimat yang diucapkan Jagat tadi sehingga dia sama sekali tidak fokus."Kak, ini apa sih?" Radit mengintip dari balik bahu Rinjani, matanya menyapu dokumen yang terpampang di layar laptop.Rinjani menghela napas, jari-jemarinya masih menari di atas keyboard. "Rencana bisnis baru. Aku harus menyelesaikan ini secepatnya, biar ada banyak waktu untuk ketemu sama penanggung jawabnya. Susah banget menghubungi yang nge-handle lahan itu."Radit mengerutkan kening, lalu membaca nama di bagian penanggung jawab proyek. "Hold on... ini kan Pak Hendra? Jagat kenal baik sama dia, lho!"Rinjani berhenti mengetik. "Jagat?” Kenapa nama laki-laki itu lagi? Apa belum cukup dia membuat Rinjani sakit kepala memikirkan pertemuan pertama mereka."Iya! Mereka satu klub golf. Jagat juga pernah m