Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.
“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”
“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.
“Halah! Ibuk masih di sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”
Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet.
Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.
“Rin!”
Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo.
“Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci dulu, biar tangannya nggak melepuh.”
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Rinjani ikut saja saat ibunya membawanya ke wastafel dan meletakkan tangannya di bawah air mengalir.
Ternyata, dia terlalu terlena dengan khayalannya sendiri sehingga tidak menyadari kalau sup panas itu sudah mengenai tangannya. Lagi dan lagi tangannya terkena cairan panas.
Rinjani merasa hari ini adalah hari sialnya. Tanpa bisa dia tahan air matanya mengalir deras.
“Astaga, sakit ya Rin. Sebentar, aku ambil salep dulu ke kamar.” Seorang dari mereka sigap mengambil salep dari kotak obat.
“Kalian lanjut dulu masaknya, biar aku yang urus Rinjani.” Tegas ibunya berkata. Yang lain juga hanya mengangguk sembari menatap mereka khawatir.
Rinjani hanya bisa menundukkan kepalanya menyembunyikan tangis di wajahnya.
Ibunya membawanya ke satu bangunan lain yang tidak jauh dari tempat itu. Di bangunan ini semua pembantu yang bekerja di keluarga itu tinggal.
Ini juga adalah rumah tempat Rinjani di besarkan. Ibunya membawa Rinjani duduk. Sembari mengoleskan salep itu dengan wajah serius.
“Yu, kamu ada masalah?” tanya ibunya lembut.
“Nggak kok, Bu. Aku cuma kecapekan,” dustanya.
Wanita paruh baya itu menarik napas panjang. “Rin, ibu sudah kerja begitu lama di keluarga ini. Kita punya hutang budi sangat besar untuk keluarga ini. Ibu nggak mau mengecewakan orang rumah ini, siapapun itu.”
Rinjani terdiam mendengar itu.
“Maaf, kalau ibu dan ayah nggak bisa kasih kehidupan yang bagus untukmu dan adikmu. Sehingga kamu Cuma bisa dibesarkan sebagai anak supir dan pembantu.”
Rinjani menggelengkan kepalanya kuat. “Buk, ibuk kok ngomongnya gitu?” Suaranya bergetar.
“Ibu tahu kamu suka sama Den Brama, tapi kamu juga tahu itu mustahil. Cepat atau lambat, Den Brama akan menikah juga.”
Rinjani menundukkan kepalanya, rasanya dia bagai ditelanjangi saat itu. Seakan seluruh isi hati dan rasa mindernya dibongkar habis-habisan.
“Dan perempuan itu nggak mungkin kamu. Kamu juga sadar, itu kan?”
Kepala Rinjani semakin menunduk malu. Perasaannya pada Brama, bukan rahasia lagi di depan ibunya. Namun, bahkan sampai sekarang ibunya masih menganggap kalau itu hanya perasaan yang bertepuk sebelah tangan.
“Ayu tahu, Bu. Ayu sadar diri, nggak akan pernah berani berpikir macam-macam tenang saja.” Sejak ibunya menyadari perasaannya pada Brama, dia sudah selalu diingatkan untuk tahu diri, tahu diri dan tahu diri. Sampai dia jenuh mendengarnya.
Tetapi, baru sekarang Rinjani menyesali, kenapa dia tidak mendengarkan ibunya sedari dulu? Sekarang, hatinya hancur, hubungan mustahil itu akhirnya sampai pada akhirnya. Siapa yang bisa dia salahkan?
Ibunya sudah hendak membuka mulut menasehati anaknya itu lagi tapi kemudian dia menghela napas panjang dan memeluk Rinjani.
Dia mengusap punggung anak gadisnya itu lembut. Rinjani tidak bisa lagi menahan diri dan meluapkan semua tangisnya di sana. Hingga tinggal isak tangis yang tersisa dan suaranya parau.
“Maafin aku, Bu. Maaf, maaf.” Dia hanya bisa bergumam sesegukan. Sementara ibunya terus mengangguk sembari mengusap rambut dan punggungnya lembut.
Setelah beberapa saat, Rinjani akhirnya merasa lelah. Matanya sudah sakit dan bahkan tidak bisa lagi mengucurkan air mata.
“Bu, apa ibu masih nggak berminat keluar dari kerjaan ibu sekarang?” tanyanya serak.
“Sekarang, aku dan adek bisa kok membiayai ibu dan bapak. Tabungan kalian juga sudah cukup untuk buka usaha kecil-kecilan. Kita nggak perlu lagi kerja di sini.”Ibunya mendorong Rinjani menjauh dari pelukannya dan menatap lekat mata anaknya itu. “Yu, sebagai manusia, kita itu harus tahu balas budi. Keluarga ini mau mempekerjakan ibu dan bapak yang nggak punya pendidikan, dan bahkan kasih anak-anak ibu beasiswa untuk sekolah tinggi. Selamanya ibu dan bapak nggak akan bisa balas budi baik keluarga ini.”
Rinjani tersenyum getir. Dia tahu, ibunya masih merasa berhutang budi pada keluarga Abiyasa. Budi baik yang juga membuat kepalanya terasa berat saat menatap Brama.
Hutang budi yang membuatnya selalu merasa inferior dan tidak berani membantah Brama. Yang akhirnya berakibat pada dinamika hubungan mereka yang terasa sangatt timpang.
Dia bahkan tidak yakin apakah mereka bisa disebut sebagai pasangan kekasih. Pernyataan cinta, perlakuan romantis, sikap manis, hal-hal semacam itu tidak pernah ada di hubungan mereka.
“Ayu tahu, Bu.”
Gagal lagi membujuk ibunya, Rinjani akhirnya pergi meninggalkan rumah itu dengan membawa rantang di tangannya. Gadis itu mempercepat langkahnya tidak ingin bertemu dengan Brama.
Sayangnya, hari ini keberuntungan sama sekali tidak di pihak gadis itu. Semesta seakan bekerja sama untuk melukainya.
“Eh, Kamu juga di sini.”
Suara merdu yang sama sekali tidak ingin dia dengar menyapa telinganya kasar. Rinjani tidak ingin menanggapi tapi menghindar juga hanya akan membuatnya terkesan semakin tidak sopan.
Rinjani menoleh dan tersenyum ke arah Kiara yang baru saja keluar dari mobil dengan Brama.
“Hei, kamu sekretaris Brama, kan? Kok di sini?”
Kiara bertanya dengan nada polos.
“Orangtuaku juga kerja di sini, jadi aku menemui mereka.” Rinjani menjawab dengan sopan. Meski pandangannya terus menatap lantai.
“Oh iya? Aku kok nggak tahu? Brama kamu nggak cerita. Tahu begitu kan tadi kita bisa pulang bareng.”
Brama berdiri tegap tidak tahu dari mereka dengan sebelah tangan dimasukkan ke kantong.
“Kamu sendiri tadi yang bilang mau beli cake dulu.”
“Oh iya.” Kiara menjulurkan lidahnya jenaka mendengar itu.
Rinjani tidak ingin melihat kemesraan dua orang itu lebih lama lagi. “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak? Buk?”
“Apa sih, kamu manggil aku ibuk segala. Apa wajahku setua itu? Yang bos kamu kan Brama bukan aku, panggil saja aku Kiara.”
Kiara menggandeng tangan Rinjani akrab, seakan mereka sudah lama kenal. “Kamu nggak buru-buru kan? Bagaimana kalau temani aku dulu di sini? Ini kali pertama aku ke rumah Brama. Rasanya gugup banget. Bagaimana kalau om dan tante nggak suka sama aku?”
Tangan lembut mungil itu terasa bagai borgol di tangan Rinjani, betapa ingin dia menepis tangan itu kasar.
Brama tampak tida setuju, tapi Kiara hanya tersenyum dan menarik tangan Rinjani masuk ke dalam. Rinjani pun terpaksa melangkah masuk ke rumah itu.
Di belakangnya, Brama hanya bisa mengikuti mereka pasrah. “Pertunangan kita diatur oleh mama dan ibumu, jadi mama nggak mungkin nggak suka padamu.”
Mendengar itu, Kiara hanya menoleh sekilas ke belakang lalu tersenyum tipis. “Biarin saja, aku Cuma mau ada temannya saja. Namanya pertemuan pertama gugup itu kan wajar.”
Rinjani hanya bisa diam, menelan kenyataan pahit itu seorang diri. Pandangannya berkali-kali bertemu dengan mata Brama, tapi pria itu tidak berkata apa-apa. Seolah-olah yang terjadi di antara mereka dulu tidak pernah ada.
“Terserahmu saja. Aku ganti baju dulu ke atas.”
Ketika Brama pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian, atmosfer di ruangan berubah drastis. Kiara, yang sebelumnya tampak hangat dan bersahabat, kini menatap Rinjani dengan dingin. Bibirnya melengkung sinis.
“Aku tahu, kamu teman tidur Brama.”
Deg!Rinjani tertegun, mendengar itu.“Siapa yang bilang begitu?”Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya."Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara te
“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekananRinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”Brama menghela napas
Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negar
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Rasa malu yang sangat besar menyeruak dalam diri Rinjani. Apa yang dia lakukan dengan Brama memang bukan hal yang membanggakan. Tanpa ikatan dia tinggal serumah dengan laki-laki. Selain orangtuanya, orangtua Brama adalah orang berikutnya yang dia takuti akan tahu tentang ini. Mendengar sendiri kalau dia adalah simpanan dan ayah Brama itu tidak akan pernah mengizinkannya menjadi istri Brama membuatnya merasa sangat murahan.Selama ini, semua usaha dan cintanya dipandang sangat rendah oleh pria yang mengisi hatinya itu.“Kamu anak kebanggaan papa. Masa depan perusahaan ini ada di tanganmu. Sesekali mengurangi stres dengan perempuan, papa nggak akan melarang, tapi ingat tanggung jawabmu jangan sampai terabaikan!”“Aku tahu.”“Hidup ini seperti main catur, jangan ragu untuk memanfaatkan segala bidak yang kamu punya untuk mencapai tujuan.” “....”Rinjani yang mendengarkan semua itu di luar, mengepalkan tangannya kuat. Harga dirinya sungguh tidak ada artinya di mata ayah dan
Rinjani berdiri di depan pintu ruangan Brama, tangannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang harus mereka bahas bersama. Nafasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat dari ruang kerjanya. Dia mengetuk pintu dua kali, dan suara rendah Brama mempersilakannya masuk.Ruangan itu terasa dingin, udara AC yang kencang membuat kulitnya merinding. Brama duduk di belakang mejanya, wajahnya terlihat serius, matanya tertuju pada layar laptop di depannya.“Aku sudah bawa laporan proyek terbaru,” ujar Rinjani, mencoba memecah kesunyian yang terasa berat. Brama hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Rinjani duduk di kursi di seberangnya, meletakkan dokumen di atas meja. Dia memperhatikan Brama lebih cermat. Wajahnya terlihat lebih pucat, matanya berkantung, seolah dia tidak tidur semalaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani, suaranya lembut namun penuh kecemasan. Brama menghela nafas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat l
“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama. “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.” “Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi Brama dan juga Kiara dia merasa sedikit lebih tenang.Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga di salah satu sudut ruangannya dibuat bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana. Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh unt
Rasa malu yang sangat besar menyeruak dalam diri Rinjani. Apa yang dia lakukan dengan Brama memang bukan hal yang membanggakan. Tanpa ikatan dia tinggal serumah dengan laki-laki. Selain orangtuanya, orangtua Brama adalah orang berikutnya yang dia takuti akan tahu tentang ini. Mendengar sendiri kalau dia adalah simpanan dan ayah Brama itu tidak akan pernah mengizinkannya menjadi istri Brama membuatnya merasa sangat murahan.Selama ini, semua usaha dan cintanya dipandang sangat rendah oleh pria yang mengisi hatinya itu.“Kamu anak kebanggaan papa. Masa depan perusahaan ini ada di tanganmu. Sesekali mengurangi stres dengan perempuan, papa nggak akan melarang, tapi ingat tanggung jawabmu jangan sampai terabaikan!”“Aku tahu.”“Hidup ini seperti main catur, jangan ragu untuk memanfaatkan segala bidak yang kamu punya untuk mencapai tujuan.” “....”Rinjani yang mendengarkan semua itu di luar, mengepalkan tangannya kuat. Harga dirinya sungguh tidak ada artinya di mata ayah dan
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negar
“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekananRinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”Brama menghela napas
Deg!Rinjani tertegun, mendengar itu.“Siapa yang bilang begitu?”Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya."Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara te
Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.“Halah! Ibuk masih di sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet. Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.“Rin!” Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo. “Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci du
“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama. “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.” “Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi Brama dan juga Kiara dia merasa sedikit lebih tenang.Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga di salah satu sudut ruangannya dibuat bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana. Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh unt
Rinjani berdiri di depan pintu ruangan Brama, tangannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang harus mereka bahas bersama. Nafasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat dari ruang kerjanya. Dia mengetuk pintu dua kali, dan suara rendah Brama mempersilakannya masuk.Ruangan itu terasa dingin, udara AC yang kencang membuat kulitnya merinding. Brama duduk di belakang mejanya, wajahnya terlihat serius, matanya tertuju pada layar laptop di depannya.“Aku sudah bawa laporan proyek terbaru,” ujar Rinjani, mencoba memecah kesunyian yang terasa berat. Brama hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Rinjani duduk di kursi di seberangnya, meletakkan dokumen di atas meja. Dia memperhatikan Brama lebih cermat. Wajahnya terlihat lebih pucat, matanya berkantung, seolah dia tidak tidur semalaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani, suaranya lembut namun penuh kecemasan. Brama menghela nafas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat l