“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”
Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama. “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.
Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.”
“Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.
Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi Brama dan juga Kiara dia merasa sedikit lebih tenang.
Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga di salah satu sudut ruangannya dibuat bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana.
Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh untuk keduanya. Tangannya bergerak fokus mengerjakan tugasnya.
“Brama, sore ini mama bakal ke rumah orangtua kamu untuk membicarakan tentang pertunangan itu. Tante sudah ngasih tahu kan?”
“Hmm. Nanti kita berangkat bareng.”
“Itu juga tujuanku datang ke sini. Mama bilang papa kamu minta pertunangan itu diadakan bulan depan, apa nggak terlalu buru-buru?”
“Semakin cepat pertunangan itu diadakan, semakin bagus.”
Prang!
Tangan Rinjani bergetar mendengar pembicaraan itu, sehingga saat dia mengangkat dua gelas itu tanpa sengaja teh panas itu tumpah mengenai lengannya.
“Aahh!”
Terkejut, Rinjani refleks melepaskan gelas itu, sembari meringis.
Rinjani dan Kiara langsung menatapnya.
“Hati-hati.” Kiara menatap dengan pandangan khawatir. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Rinjani menggelengkan kepalanya. “Maaf, saya nggak sengaja.”
“Bereskan itu semua dan segera keluar!” Dingin suara Brama membuat bahu Rinjani tersentak terkejut.
Rinjani menundukkan kepalanya sembari membereskan semua pecahan kaca itu, dengan perasaan campur aduk. Dia bahkan mengabaikan saat tangannya terkena pecahan kaca itu dan mulai mengeluarkan darah.
Sekarang, dia hanya ingin secepatnya keluar dari sini, tidak ingin lebih lama dipermalukann.
“Brama, nggak usah galak begitu. Dia juga nggak sengaja.”
Saat itu, hanya satu keinginan Rinjani, dia ingin menghilang dari sana, menjauh dari kemesraan Brama dan Kiara.
Setelah membereskan semuanya, dia segera keluar dari sana tanpa mengatakan apapun dan langsung pergi ke kamar mandi.
Dia tidak ingin siapapun melihatnya dalam keadaan berantakan seperti ini. Rinjani membilas tangannya di bawah air dalam diam. Bagian telapak tangannya mulai memerah terkena air panas, dan salah satu ujung jarinya masih terluka mengucurkan darah.
Rinjani kecewa pada dirinya sendiri, miris rasanya dia tidak bisa marah saat kekasihnya bertunangan dengan wanita lain.
Jauh dalam dirinya, Rinjani tahu dia merasa sangat rendah diri terhadap Brama. Di hubungan mereka, dia adalah pihak yang lemah karena posisinya dan juga karena dia lebih cinta.
Dia selalu merasa bagai mimpi saat Brama membalas perasaannya, sehingga dia tidak berani menentang pria itu. Semuanya selalu ikut kemauan Brama.
Bahkan saat Brama memutuskan untuk menyembunyikan hubungan mereka dia hanya bisa menerima pasrah.
“Aku tidak ingin hubungan yang rumit, kalau kamu bisa jadi perempuan penurut dan nggak banyak drama, kita bersama.” Itu yang dikatakan Brama sebelum mereka memulai semuanya.
Sayangnya, saat itu Rinjani terlalu naif, dia kira dia akan bisa mencairkan kedinginan hati Brama, dan menjadi sosok spesial di hati pria itu.
Sayangnya, Rinjani harus dikecewakan. Semua sabar dan penantiannya terasa bagai lelucon.
“Waktunya bangun Rinjani, waktumu bermimpi sudah habis,” gumamnya menepuk wajah lembut, tapi air matanya terus mengalir tanpa bisa dia tahan.
Belum sempat Rinjani berhasil menata perasaannya ponselnya sudah berbunyi nyaring. Mata Rinjani melembut melihat nama penelepon di layar ponselnya.
“Halo, Bu.” Dia berusaha terdengar ceria, tidak ingin membuat ibunya khawatir.
“Halo, Yu kamu sore ini ke sini bisa?” tanyanya.
Rinjani memejamkan matanya, perih. Apa boleh dia menolak? Bisa, bu. Nanti sore, Aku ke sana.”
“Yu, kamu baik-baik saja, kan?” Mendengar nama panggilannya dipanggil dengan nada lembut itu membuat Rinjani tercekat lagi. Air mata kembali mengumpul di pelupuk matanya.
“Iya, Bu. Ayu baik-baik saja, kok.”
“Beneran loh ya? Kalau ada masalah, cerita sama ibu.”
“Nggak kok buk. Nanti sore kita bicara lagi ya, aku harus balik kerja lagi.” Rinjani dengan cepat mengakhiri pembicaraan itu takut dia tidak mampu lagi menahan diri.
Setelah lima belas menit di kamar mandi Rinjani baru merasa dirinya jauh lebih stabil, dia menegakkan tubuhnya dan memasang senyum profesional di wajahnya.
Meski seharian itu dia tidak bisa fokus dengan pekerjaannya, tapi setidaknya tidak boleh ada yang melihat kesedihannya.
Rinjani melangkah pelan menuju rumah keluarga Abiyasa. Rumah itu megah, dengan pagar tinggi yang seolah memisahkan dunia mereka dengan dunia luar. Di halaman depan, dia melihat ayahnya sedang asyik mencuci mobil mewah milik keluarga itu. Ayahnya menoleh, tersenyum lebar saat melihat Rinjani mendekat.
"Yu, kamu sudah sampai?" sapa ayahnya, suaranya ramah namun terasa lelah.
"Iya, Yah. Ayah capek? Ayu bantu ya?” Setelah menyalami ayahnya sopan, Rinjani berusaha mengambil kain lap itu dari tangan ayahnya.
“Eh, nggak usah. Nanti baju kamu basah. Ini juga sudah mau selesai. Ayah Cuma bersihkan yang satu ini saja. Kamu ke belakang sana. Ibuk sudah tunggu.”
Karena ayahnya terus menolak, Rinjani akhirnya tidak lagi bersikeras, setelah berbincang sejenak dengan ayahnya dia langsung bergegas ke belakang.
Dari sana ada pintu belakang yang langsung berhubungan dengan dapur. Di mana ibunya tengah sibuk masak di sana bersama dengan beberapa orang pembantu lain.
“Rinjani datang? Makin cantik saja, apa kabar?”
Rinjani membalas semua yang menyapanya dengan senyum ramah. Dia juga besar di rumah ini bersama dengan semua pembantu lain. Jadi hubungannya dengan mereka sudah sangat dekat.
Rinjani menyalami ibunya, lalu menyingsingkan lengan bajunya hendak membantu ibunya.
“Ini masukkan ke dalam rantang. Nanti bawakan untuk adikmu.”
“Iya, Bu.”
Dengan patuh, dia melakukan perintah ibunya itu. “Ini masaknya banyak banget. Memangnya ada acara nanti?” tanyanya basa-basi.
“Nanti malam, keluarga calon tunangan Mas Brama datang. Mau membicarakan masalah pertunangan mereka katanya.”
Deg!
Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.“Halah! Ibuk masih di sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet. Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.“Rin!” Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo. “Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci du
Deg!Rinjani tertegun, mendengar itu.“Siapa yang bilang begitu?”Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya."Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara te
“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekananRinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”Brama menghela napas
Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negar
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Rasa malu yang sangat besar menyeruak dalam diri Rinjani. Apa yang dia lakukan dengan Brama memang bukan hal yang membanggakan. Tanpa ikatan dia tinggal serumah dengan laki-laki. Selain orangtuanya, orangtua Brama adalah orang berikutnya yang dia takuti akan tahu tentang ini. Mendengar sendiri kalau dia adalah simpanan dan ayah Brama itu tidak akan pernah mengizinkannya menjadi istri Brama membuatnya merasa sangat murahan.Selama ini, semua usaha dan cintanya dipandang sangat rendah oleh pria yang mengisi hatinya itu.“Kamu anak kebanggaan papa. Masa depan perusahaan ini ada di tanganmu. Sesekali mengurangi stres dengan perempuan, papa nggak akan melarang, tapi ingat tanggung jawabmu jangan sampai terabaikan!”“Aku tahu.”“Hidup ini seperti main catur, jangan ragu untuk memanfaatkan segala bidak yang kamu punya untuk mencapai tujuan.” “....”Rinjani yang mendengarkan semua itu di luar, mengepalkan tangannya kuat. Harga dirinya sungguh tidak ada artinya di mata ayah dan a
“Ssh!” Brama menjauhkan bibirnya dari Rinjani sembari meringis kesakitan. Keningnya berkerut menatap wanita itu kesal. Rinjani tidak ingin kalah dia membalas tatapan itu tanpa takut. Dia tidak ingin terus-menerus diam saat Brama memperlakukannya seenaknya.Brama mencengkram kedua sisi pipi Rinjani dengan sebelah tangannya. “Kamu berani sekarang?”Pertanyaan itu membuat kemarahan dalam diri Rinjani semakin membara. “Kenapa aku harus takut? Kamu tahu yang kamu lakukan ini pelecehan!”Brama tersenyum tipis. “Pelecehan?” Dia mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah. “Aku bahkan sudah pernah melakukan lebih dari ini, kenapa baru sekarang jadi masalah?”Air mata berjatuhan dari pipi Rinjani. “Selama ini aku terlalu bodoh! Dibutakan cinta sampai rela melakukan apa saja, tapi sekarang aku Cuma mau kita berpisah, Bram.”“Hahh!” Brama menatap Rinjani dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kelembutan yang Rinjani tidak bisa mengerti di sana. “Sedari awal kita bersama, kamu tahu hubun
Meski kebingungan, Rinjani memaksakan tubuh lelahnya untuk beranjak ke kamar mandi. Dengan sangat cepat dia mandi dan bersiap-siap.Begitu dia keluar dari kamar mandi, Brama sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk memulas wajahnya dan langsung menariknya pergi.Tergopoh-gopoh Rinjani mengambil tas dan ponselnya lalu berlari menyusul Brama. Mereka menaiki mobil Brama lalu meninggalkan apartemen itu.Kening Brama berkerut dalam, tangannya terkepal memegang kemudi mobil itu kuat hingga urat yang ada di tangannya bertonjolan.“Apa yang terjadi?” tanya Rinjani pelan.“Ada yang mengambil foto kita semalam, sekarang wartawan mengelilingi Kiara untuk mempertanyakan masalah itu.”Rinjani tertegun, dan buru-buru melihat ponselnya sendiri. Dia membuka media sosial, dan hatinya langsung berdebar kencang. Foto dirinya bersama Brama ada di mana-mana, dan komentar-komentar pedas mulai memenuhi kolom komentar.‘Kiara pasti hancur melihat ini!’‘Baru kali ini kasih tahu publik tentang paca
“Secepatnya, Tante. Karena keadaan mama saya sudah cukup mendesak, harus segera dioperasi.”“Aku dan Jagat berencana mengadakan acara tukar cincin sederhana saja di depan orangtua Jagat, untuk membuat ibu Jagat lebih tenang.” Takut kalau orangtua Rinjani tidak senang dengan kalimat itu, Jagat buru-buru menambahkan. “Ini Cuma sekedar untuk menunjukkan ke mama saya kalau serius hendak menikah ke mama saya. Setelah keadaan mama membaik, kami akan mengulangi semua acara itu dengan lebih serius.”Udara di ruang tamu apartemen terasa berat. Orangtua Rinjani duduk berhadapan dengan Jagat, wajah mereka dipenuhi keraguan. Ibu Rinjani memutar-mutar gelas teh di tangannya, matanya tak lepas dari wajah pemuda di hadapannya."Jujur, kami masih sulit menerima, semuanya secepat ini. Apalagi, kami sama sekali belum bertemu dengan keluargamu.”Jagat duduk tegak, tangannya tergenggam di atas lutut. "Saya mengerti kekhawatiran Om dan Tante, tapi keadaan mama benar-benar tidak mendukung untuk pem
Lift apartemen bergerak pelan, namun detak jantung Rinjani berdegup kencang. Kulitnya masih terasa hangat di tempat Brama menyentuhnya tadi, seolah bekas jari-jarinya membakar.Apa yang terjadi padanya? Pikiran itu terus mengusik. Wajah Brama yang biasanya tegar tadi terlihat begitu rapuh—matanya redup, garis wajahnya kaku oleh stres yang tak terkatakan.Tidak. Rinjani menggeleng keras. Dia Brama. Dia selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.Tapi alasan itu tidak membuat dadanya lega. Rasanya seperti berbohong pada diri sendiri.Rinjani memaksa dirinya untuk tidak memikirkan masalah itu lebih jauh lagi.Pintu apartemen terbuka. Suara obrolan orangtuanya dari ruang tamu menyambutnya."Yu? Kamu pulang larut sekali," suara hangat ibu menyapa, matanya penuh pertanyaan.Rinjani menarik napas dalam-dalam. "Iya, Bu. Tadi habis dari rumah sakit, bertemu dengan orangtua Jagat.”“Secepat itu? Bukannya kalian baru kenal?”Rinjani terdiam mendengar pertanyaan ibunya itu, setelah ragu sesaat
Brama mengambil langkah mundur, wajahnya tertutup. “Ma, aku nggak mau berdebat dengan mama sekarang ini. Sebaiknya mama tenangkan diri dulu.”Dia tidak pernah percaya kalau pernikahannya akan menentukan masa depannya di perusahaan. Dia sudah menjadi direktur di perusahaan itu selama beberapa tahun.Semua pengalaman, kegagalan dan keberhasilan mengajarinya banyak hal. Dia percaya, untuk mengembangkan perusahaan itu dia tidak perlu harus menikah dengan perempuan.Harga dirinya tidak mengizinkan Brama menjadi sosok seperti ayahnya."Brama!”Tapi Brama sudah berbalik, berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia berhenti. "Ma, mama tenang saja. Aku bukan laki-laki naif yang akan membuang semua yang aku miliki untuk cinta.”Dia percaya dia bisa mendapatkan semuanya tanpa harus kehilangan salah satunya. Kontrol atas pernikahannya dan Abiyasa Grup, dia akan mendapatkan semuanya.Ibu Brama hanya bisa menatap anaknya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Kecemasan dan rasa kesal bercampu
Brama memilih diam, dengan keras kepala dia menolak untuk minta maaf atau menundukkan kepala di depan ayahnya.“Bahkan Rinjani lebih bisa mengontrol emosinya! Kamu kalah sama perempuan!"Nama Rinjani seperti pisau yang menancap. "Jangan bandingkan aku dengannya." Tangan Brama terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Sekarang ini, mungkin Rinjani sama sekali tidak peduli lagi padanya.Dia bahkan sudah memiliki pria lain di sisinya. Saat itu, emosi itu kembali memuncak dalam dirinya. Dia menahan diri sejak tadi untuk tidak memborbardir nomor telepon Rinjani dengan telepon dan pesan untuk menanyakan siapakah laki-laki itu."Kalau kamu tidak bisa mengontrol perasaanmu terhadap mantan karyawan itu, lebih baik kau pecat dia sekarang juga!" Ayahnya menatap tajam. "Direktur Abiyasa Grup tidak boleh dikendalikan oleh perempuan!"Brama menarik napas dalam-dalam. "Aku bisa mengontrol diri."Ayahnya tertawa sinis. "Benarkah? Aku harap kamu benar-benar melakukan perkataanmu!” Pria itu ber
Rinjani tersipu, sementara Jagat hanya diam, matanya menatap Rinjani dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara syukur atau beban harus bertunangan dengan perempuan yang baru dia kenal."Jadi, kapan acara tunangannya?" tanya Ibu Jagat bersemangat.Rinjani tersenyum. "Bagaimana kalau minggu depan? Sederhana saja, di sini jika Tante, tidak bisa keluar rumah sakit."Ibu Jagat mengangguk antusias. "Nggak boleh. Ini kan acara pertunangan kalian, masa di rumah sakit. Nanti orangtua kamu nggak setuju, mengiranya Jagat nggak serius.”“Nggak begitu, Tante. Orangtua saya pasti akan menerima saja kok. Apalagi kondisinya memang memaksa.”“Iya, Ma. Nanti nikahannya bisa dibuat agak besar kalau mama sudah sembuh.”Ibu Jagat masih terlihat enggan dia menatap ke arah suaminya.Ayah Jagat menghela napas. "Papa akan coba bicara sama dokternya, tapi kalau dokternya nggak ngasih mama izin, kita harus tetap mengadakannya di sini, oke? Tenang saja nanti papa yang bantu bicara ke orangtua Rinjani."Rinjani
Tetapi, Brama bukan orang yang bisa melepaskan semua hanya untuk emosi sesaat. Mengingat semua tujuannya, Brama kembali menahan dirinya. “Ayo, papa sudah nunggu kita, Bram.”Kiara menarik Brama menjauh dari sana. Brama menghela napas gusar. “Besok kita bicara di kantor!”“Hmm.”Udara di antara mereka terasa semakin tegang. Rinjani bisa merasakan panas dari tatapan Brama, tapi dia juga merasakan ketegangan di bahu Jagat sudah pasang badan di depannya.Brama pergi meninggalkan Rinjani di sana bersama Kiara. Rinjani menghembuskan napas panjang.“Kita pergi?” tanya Jagat.Jagat mengangguk, lalu dengan sengaja meletakkan tangan di punggung Rinjani, membimbingnya pergi.Saat mereka sudah cukup jauh, Jagat menghela napas. "Kamu baik-baik saja?"Rinjani mengangguk, tapi senyumnya terlihat terpaksa. "Aku nggak papa. Maaf, membuat kamu terseret masalah ini.”Jagat memandangnya dengan serius. "Its okay. Aku nggak masalah. Masih ... sulit melihat dia sama perempuan lain?”Rinjani tertegun.
"Rin?" Jagat memanggil, memecah lamunannya. “Are you okay?”Rinjani menghela napas dalam-dalam. "Aku baik-baik saja, maaf sedikit melamun tadi. Aku gugup,” dustanya.Tapi hatinya berbicara lain. Setiap langkah mendekati hole ke-9 terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca."Pak Hendra!" sapa Jagat dengan ramah saat mereka tiba di lokasi.Seorang pria berbadan tegap berbalik, wajahnya langsung berseri. "Jagat! Akhirnya kamu datang juga!"Mereka berjabat tangan erat."Ini Rinjani, orang yang mau ketemu Bapak,” perkenalkan Jagat.Rinjani menyodorkan tangannya. "Senang bertemu dengan Anda, Pak Hendra.""Ah, halo. Jagat sudah menceritakan tentangmu. Dari Abiyasa Grup, kan? " ujar Hendra sambil tersenyum. "Ayo kita bicara sambil jalan."Mereka mulai berjalan menyusuri lapangan. Rinjani mengeluarkan proposal dari tasnya, menjelaskan dengan lugas rencana proyek mereka."Untuk harga, ini jumlah yang bisa kami berikan untuk bapak, tapi bapak tenang saja, semuanya setelah itu akan tim kami
"Tunggu," Rinjani tiba-tiba menyela. “Jangan dulu, biar aku usahakan sendiri dulu saja.”Jagat tertawa pendek. "Memangnya kenapa? Aku senang bisa membantu." Matanya menatap Rinjani. "Lagipula, Pak Hendra masih sedikit hutang sama aku. Jadi ini win-win solution."Rinjani mengerutkan kening. "Hutang?""Hmm, aku pernah membantunya menyelesaikan masalah perusahaannya, aku juga pernah membantunya waktu hampir pailit, jadi dia akan lebih mendengarkanku dibanding kamu yang belum dia kenal," jawab Jagat santai, seperti itu hal sepele. "Jadi tenang saja, aku nggak keberatan."Radit menyikut lembut lengan kakaknya. "Dengerin tuh, Kak. Jagat aja nggak masalah! Koneksi itu dimanfaatkan "Rinjani menatap kedua pria itu bergantian. Dadanya terasa sesak oleh perasaan aneh—antara bersyukur dan tidak enak hati."Terima kasih ....”“Sama-sama. Itu Cuma hal kecil saja untukku, kamu nggak perlu merasa segan.” Karena dia sudah menerimanya, Rinjani memutuskan untuk menggunakan cara lain untuk berterim
***“Woi, Kak. Mikirin apa? Bengong saja dari tadi. Itu sampai laptop yang nontonin kakak!”Radit menepuk pundak Rinjani pelan menyadarkan Rinjani dari lamunannya. Rinjani tersentak kaget. Dia masih memikirkan kalimat yang diucapkan Jagat tadi sehingga dia sama sekali tidak fokus."Kak, ini apa sih?" Radit mengintip dari balik bahu Rinjani, matanya menyapu dokumen yang terpampang di layar laptop.Rinjani menghela napas, jari-jemarinya masih menari di atas keyboard. "Rencana bisnis baru. Aku harus menyelesaikan ini secepatnya, biar ada banyak waktu untuk ketemu sama penanggung jawabnya. Susah banget menghubungi yang nge-handle lahan itu."Radit mengerutkan kening, lalu membaca nama di bagian penanggung jawab proyek. "Hold on... ini kan Pak Hendra? Jagat kenal baik sama dia, lho!"Rinjani berhenti mengetik. "Jagat?” Kenapa nama laki-laki itu lagi? Apa belum cukup dia membuat Rinjani sakit kepala memikirkan pertemuan pertama mereka."Iya! Mereka satu klub golf. Jagat juga pernah m