Suara nyaring Rinjani membuat suasana akhirnya semakin terkontrol. Sisa wawancara dadakan itu berlangsung dengan cukup kondusif.Tidak berapa lama, manajer beserta tim Kiara datang membantu mereka. Dengan kedatangan manajernya Kiara lalu bisa masuk ke dalam rumah dengan Brama. Sementara itu, Rinjani ikut membantu mengakhiri wawancara itu dan memastikan kalau semua wartawan itu sudah pergi dari sana. Senyum ramah dan kalimat manis terus keluar dari mulut manajer dan tim Kiara. Tidak terlihat sedikitpun kemarahan meski perlakuan anarkis wartawan tadi nyaris melukai artis mereka. Setelah membereskan semuanya, baru Rinjani ikut masuk bersama dengan mereka ke dalam rumah.Rinjani bisa merasakan manajer Kiara menatapnya sinis beberapa kali tapi dia hanya mengabaikannya. Manajer Kiara adalah seorang pria berpenampilan flamboyan dengan blouse motif bunga dengan celana chinos berwarna cokelat. Gaya jalannya sedikit kemayu.“Bikin repot semua orang saja! Kalau sekretaris harusny
“Sendiri, Dok.” Rinjani tersenyum tipis, dia tidak ingin terus-menerus mengasihani diri sendiri. Selama dia mencoba mengeraskan hatinya dan menganggap semua hanya pekerjaan, dia tidak seharusnya sakit hati.“Kalau begitu, biar saya panggilkan perawat biar bantu kamu menebus obatnya di depan.”Setelah membebat semua lukanya, Rinjani mulai merasakan sakit yang tadinya tidak terasa. Langkah kakinya mulai pincang, dan dia bahkan kesulitan menginjak pedal gas mobil yang dikendarainya. Tetapi, dia tetap memaksakan diri untuk kembali ke kantor dan mengurus semuanya. Untungnya karena mereka cepat mengatasi hal itu, masalahnya tidak sampai ke fluktuasi saham. “Coba hubungi pihak media, supaya berita klarifikasinya cepat ditayangkan. Jangan lupa, untuk komentar di akun sekarang dinon-aktifkan dulu.”Popularitas Kiara yang besar, dan ditambah hobi masyrakat untuk menggali kehidupan pribadi artis memberikan efek yang tidak bisa diremehkan. Bahkan sekarang muncul beberapa artike
Telinga Rinjani serasa berdengung mendengar itu. Sesaat rasanya otaknya menolak mencerna apapun.“Yu, benar kamu tinggal bersama Mas Brama?!”Rinjani pucat pasi, dia tidak tahu harus menjawab apa. Mulutnya terasa kelu tidak mampu berkata-kata.Ibunya mengguncang tubuh Rinjani frustrasi. “Yu, jawab pertanyaan ayah kamu! Itu bohong, kan?!”Rinjani hanya bisa menggelengkan kepalanya, air mata bergulir cepat dari matanya terjatuh di lengan ibunya yang terus mengguncangnya penuh emosi.Tangan renta ibunya, memegang kuat lengan Rinjani berharap mendengar jawaban ‘tidak’ dari anaknya itu.“Maaf, Bu. Maafin Ayu, Yah.”Rinjani jatuh berlutut dan memegang kaki ibunya. Dia tahu dia salah tapi rasanya dunianya runtuh saat melihat kekecewaan orangtuanya.Ketakutan terbesarnya terjadi sudah. Foto-foto itu sangat jelas menunjukkan dia dan Brama pulang dan pergi bersama setiap hari dari apartemen itu. Dari fotonya mengenakan pakaian kerja, hingga fotonya mengenakan pakaian rumah biasa saat
“Aku Cuma bicara kenyataan, Ma. Kenapa mama marah?” Brama bicara dengan sangat tenang, seolah dia hanya membicarakan cuaca siang itu. “Aku dan Kiara akan bertunangan, mama nggak usah khawatir.” Meski kerutan di keningnya dan wajah lelah Brama menunjukkan kalau masalah ini juga mempengaruhinya tapi saat bicara, Brama begitu tenang.Terkadang Rinjani ingin merobek ekspresi tenang di wajah pria itu. Rasanya tidak adil dia yang hancur dan terpojok sendirian.Ayah Rinjani menghela napas dalam, "Mas Brama, mungkin mas tidak menghargai Rinjani, tapi dia adalah anak yang sangat saya sayangi. Saya nggak mau dia sedih.”Rinjani, yang berdiri di samping ayahnya, merasa dadanya sesak. Air matanya hampir jatuh lagi, tapi dia berusaha menahannya. Dia tidak pernah menyangka bahwa ayahnya, yang selama ini selalu patuh dan tidak banyak bicara, akan berani berbicara seperti ini di depan majikannya sendiri.Ayahnya, yang hanya seorang supir, tegas membelanya tanpa takut di depan orang yang sudah dila
“Maaf, Yah. Ayu tahu salah.”Apapun yang dia katakan, rasanya tidak akan bisa membenarkan apa yang sudah dia lakukan.Demi cinta, dia sampai melupakan dirinya sendiri. Pria paruh baya itu mengusap dadanya yang terasa sesak. “Ayah nggak mau dengar permintaan maaf kamu, ayah Cuma mau tahu kenapa?!”Rinjani tersentak mendengar nada tinggi di suara ayahnya itu. “Ini salah ibuk, tahu kamu punya rasa ke Mas Brama tapi masih saja membiarkanmu kerja di perusahaan itu.”Rinjani buru-buru menggelengkan kepalanya. Ini semua adalah kehendaknya sendiri.Sejak awal, beasiswa yayasan Abiyasa itu tidak mewajibkannya untuk bekerja di Abiyasa Group, tapi ibunya menyuruhnya bekerja di sana sebagai salah satu cara balas budi.Tetapi, kalau Rinjani sendiri tidak ingin, dia akan punya cara untuk menolak saran ibunya itu. Seperti yang dilakukan adiknya yang menolak bekerja di perusahaan itu. “Yu, kamu itu perempuan. Kalau kamu sendiri nggak sayang sama diri kamu, orang lain juga nggak akan bisa
Orangtua mereka juga ikut bangkit, mencoba menenangkan Radit. "Ini bukan saatnya untuk menambah masalah! Emosi kamu hanya akan membuat semuamua makin kacau!" kata ayah mereka dengan suara tegas.Radit berhenti berjalan tapi wajahnya masih dipenuhi amarah. "Yah, setelah semuanya terjadi ayah masih mau nahan aku? Karena semua hutang budi omong kosong itu?""Radit, tolong," Rinjani memohon, suaranya gemetar. "Kakak tidak mau kamu terlibat dalam masalah ini. Aku nggak akan pernah bisa memaafkan diri sendiri, kalau kamu juga ikut terluka."Radit menghela napas gusar semua kalimat itu tidak membuat amarahnya mereda. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Lalu apa rencana kakak Apa kita harus terus diam saja? Pasrah?”Rinjani mengangkat kepalanya perlahan, matanya berkaca-kaca. "Radit, ini juga salahku," ujarnya dengan suara lemah. "Dari awal, dia sudah bilang kalau dia tidak akan serius. Sekarang, aku hanya mendapatkan akibatnya.Setelah semuanya, dia tidak bisa me
“Apa perlu ayah dan ibu temani?” Tanpa berpikir panjang, dia langsung menggelengkan kepalanya. “Ya, Bu. Ini adalah masalahku, biar aku yang menyelesaikannya.”Tiga orang itu menatapnya serentak, ada keraguan di sana.Tetapi, Rinjani bersikeras. Dia tidak ingin orangtuanya mendengar kalimat menyakitkan dari Brama.“Kalau kakak ragu, biar aku saja yang temani bagaimana?”Rinjani kembali menggelengkan kepalanya. “Banyak orang nggak akan membuat semuanya semakin mudah.” Dia lalu mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. “Aku berjanji, nggak akan hubungan lagi dengan Brama.”Masih ada rasa sakit di hatinya ketika mengatakan itu, tapi Rinjani jauh lebih bertekad sekarang. Kalau dia masih meneruskan hubungannya dengan Brama, dia merasa menyia-nyiakan semua rasa sayang dan perhatian keluarganya. Meski sedikit ragu, akhirnya keluarga Rinjani menyetujui.Keesokan harinya, Rinjani berangkat ke kantor dari apartemen adiknya. Dia masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang kemarin sempat d
Rinjani sendiri menatap tangannya tidak percaya. Darimana dia mendapat keberanian untuk menampar Brama? Sadar apa yang dia lakukan, mendadak jantungnya berdebar kencang dan tangannya sedikit gemetar, dia takut sendiri menatap reaksi pria itu. Brama masih menatap Rinjani dingin, bagai elang yang siap memburu mangsanya. Tatapan mata pria itu menggambarkan berbagai emosi yang Rinjani tidak bisa baca.Brama menghela napas, lalu dengan nada datar, dia berkata, "Kalau kamu mau keluar, bayar penalty, sebelum kamu membayarnya kamu bisa kembali melanjutkan pekerjaanmu seperti biasa.”Rinjani frustrasi, dia ingin sekali menjambak rambutnya. Semuanya terasa sangat tidak adil. Sikap tenang pria itu membuat Rinjani merasa seakan dia telah bersikap tidak rasional dan terlalu kekanakan.Rinjani menatap Brama, matanya berkaca-kaca. Dengan langkah gontai dia keluar dari ruangan itu. Dia tidak tahu bagaimana harus mengatakan ke orangtuanya kalau dia sudah gagal untuk mengundurkan diri dari pe
Layar komputer Brama memancarkan cahaya biru yang menerpa wajah pria itu. Tangannya mengetik cepat, sementara di sebelahnya, tumpukan laporan keuangan dan dokumen analisis pasar berserakan. Di sudut meja, secangkir kopi yang sudah dingin tak tersentuh.Wajah Brama sedikit pucat dan perutnya mulai terasa perih tapi dia menolak untuk berhenti.“Bram, kamu mending istirahat dulu. Wajahnya sudah betul-betul pucat.” Andre mengingatkan.“Sedikit lagi ini semua selesai. Aku tidak bisa berhenti sekarang.”Andre menggaruk alisnya kehabisan akal. Semenjak kejadian itu Brama benar-benar bekerja keras untuk mengembalikan kembali stabilitas perusahaan. Saking fokusnya bahkan makanan yang dibeli tadi siang belum sempat di makan Brama hingga sekarang.“Kalau begitu aku akan membeli makanan untukmu. Makanan yang di atas meja itu sudah dingin. Setelah pemberitaan saham miliknya ditambah dukungan keluarga Kiara, dan dibantu dengan laporan keuangan yang positif membuat kondisi saham perlahan mula
Setelah semua masalah itu, akhirnya orangtua Kiara juga tidak bisa menahan diri lagi dan menyuruh Brama datang ke rumah mereka. Ditodong pertanyaan begitu, Brama menjawab dengan tenang. "Masalah utamaku sederhana," ujar Brama sambil memutar gelas di tangannya. "Aku tidak punya saham cukup untuk mengendalikan perusahaan.”“Ya, kapan papamu akan memindahkan saham itu atas namamu? Karena kalau begini aku tidak melihat kemungkinan kamu bisa tetap menjadi direktur utama.”“Om tenang saja, aku sudah memiliki saham cukup sekarang.” Brama menjelaskan. “Aku akan menyelesaikan masalah ini secepatnya, proyek itu tidak akan ada masalah.”“Seberapa yakin kamu?”“Aku cukup percaya diri, tapi ....” Brama menahan ucapannya.Ayah Kiara menunggu jawaban pria itu dengan sabar. "Akan lebih meyakinkan kalau keluarga Natapradja juga memberikan saham untuk Kiara, dan mempublikasikan itu ke publik. Itu akan menunjukkan kepercayaan Om ke relasi ini dan meyakinkan pemegang saham juga kalau Natapradja it
Pintu kantor Brama tertutup rapat ketika Rinjani masuk. Cahaya dari jendela memanjang di atas meja kerjanya yang berantakan dengan dokumen.“Bapak memanggil saya?”Sejak hubungan mereka berubah, sebutan Rinjani ke Brama juga berubah-ubah sesuai dengan suasana pada saat itu. Karena profesionalitas yang terkadang masih tercampur dengan sisa rasa."Aku butuh laporan proyek-proyek berhasil beserta keuntungannya sepanjang kuartal ini," ujar Brama tanpa menoleh, jarinya mengetuk keyboard dengan cepat. "Susun rapi untik dipublish besok."Rinjani mengangguk, meski tahu Brama tidak melihatnya. "Aku sudah siapkan draft-nya. Tinggal diperinci lagi."Brama akhirnya memandangnya, matanya dingin seperti es. "Bagaimana dengan proyek yang kamu pegang sekarang? Progress?""Semua sudah dimulai. Tahap satu berjalan lancar," jawab Rinjani, berusaha tenang. "Semua masalah di lapangan juga sudah diperiksa. Seharusnya ini bisa berjalan lancar sampai selesai.”Rinjani benar-benar meneliti semuanya dan me
Di saat Rinjani kebingungan dengan peran barunya sebagai istri, keesokan harinya keadaan tidak banyak berubah antara dia dan Jagat.Karena keadaan ibu Jagat, Jagat harus terus tidur di rumah sakit. Sehingga tidak ada pembahasan di mana mereka akan tinggal dan bagaimana menghadapi rumah tangga yang dibangun dadakan itu.Beberapa hari setelah itu, Rinjani juga mulai fokus kembali ke pekerjaannya. Apalagi semua skandal itu membuat dia semakin sibuk di kantor.Hari ini akhirnya Brama memutuskan untuk memberikan klarifikasi ke media tentang semua masalah yang terjadi. Rinjani harus membantu menyiapkan semuanya.Acara itu mereka lakukan di kantor dan sehingga semua tempatnya juga harus disiapkan.“Pak Kevin, nanti juga usahakan menjawab dengan diplomatis.” Rinjani menyerahkan brief yang sudah dia siapkan untuk Kevin. “Dua jam lagi di mulai, perhatikan lagi apa yang boleh dan nggak boleh disampaikan ke publik.”Dia juga menyerahkan brief ke Brama sebagai formalitas. Tahu pria itu hanya ak
Kondisi menjadi benar-benar kacau. Radit membantu membawa ayah Jagat untuk diperiksa dokter, Rinjani juga langsung menenangkan Jagat.Orangtuanya yang berurusan dengan penghulu dan juga saksi. Semuanya terjadi begitu cepat sampai Rinjani tidak bisa berpikir rasanya.Jagat bagai pria yang kehilangan jiwanya saat itu. Dia menatap ke pintu tempat ibunya diperiksa kemudian ke arah ayahnya dibawa Radit.“Rin, bagaimana kalau aku kehilangan kedua orangtuaku?” gumamnya kosong.“Semuanya akan baik-baik saja, aku yakin Om dan Tante akan kuat.” Jagat menghela napas panjang, sekarang bernapas saja terasa berat untuknya. Rinjani hanya bisa mengusap punggung pria itu berupaya menenangkan.Rinjani menatap jauh ke depan dengan tatapan bingung. Kenapa semua ini terjadi dengan begitu tiba-tiba? Saat itu, dia melihat seorang perempuan beramput pendek menatap ke arah mereka.Perempuan yang sama dengan yang dia lihat beberapa waktu lalu saat ibu Jagat dioperasi.Rinjani hafal wajahnya karena ekspr
“Ada pengkhianat di perusahaan!” Kalimat itu muncul dan bahkan tersebar di seluruh perusahaan sore di hari yang sama rapat itu berakhir.Karena rapat itu tidak menemukan hasil, Brama masih menduduki jabatannya sementara waktu. Tentu saja, Brama harus menemukan solusi untuk masalah itu, sampai rapat berikutnya.Tetapi rentetan berita itu masih belum selesai, sore itu berita baru mencuat lagi ke publik. ‘Rapat direksi Abiyasa berakhir tanpa solusi. Direksi terpecah dua antara pendukung Brama dan pendukung Kevin. Siapakah yang akan berakhir jadi pemenang?’“Siapa sih yang menjual berita itu ke media?”“Mana aku tahu, kayanya notulen yang ada di dalam atau sekretaris direksi?”“Bisa saja direksi juga menjual berita itu kan?”“Ah nggak mungkin direksi itu memegang saham juga, masa mereka mau rugi sih?”“Siapa saja memangnya karyawan yang ikut meeting hari ini?”Desas-desus mulai tersebar dengan sangat cepat di kantor itu. Berbagai versi bahkan mulai bermunculan. Brama membiarkan sem
Keesokan harinya, Brama sudah datang pagi-pagi sekali ke kantor. Ini kali pertama saham mereka turun karena berita negatif yang tidak bisa mereka kontrol. Mulut dan kepercayaan orang adalah satu yang paling sulit untuk mereka atur. Karena itu Dewan Direksi dan pemegang saham meminta adanya rapat dadakan diadakan.Dan karena Abiyasa sendiri selama ini cukup jauh dari sorotan media viral jadi hal ini merupakan masalah baru yang muncul.Beberapa pemegang saham bahkan menyalahkan itu pada pertunangan Brama dengan Kiara.Brama menyeruput kopinya perlahan, menunggu jam itu tiba dengan mata terfokus ke komputer di depannya.Ada berita yang baru saja diunggah beberapa menit yang lalu. "Saham anjlok, karena skandal! Brama Abiyasa dipaksa mundur.” Dalam berita itu dengan sangat jelas dijabarkan kalau Brama tidak memiliki kontrol karena dia tidak memegang saham, dan pewaris yang sebenarnya direncanakan ayahnya adalah Kevin. Perlahan Kevin akan naik menggantikan Brama saat dia siap.Brama
“Tekanan darahnya naik, sebaiknya dirawat beberapa hari dulu untuk melihat apakah ada penyakit lain.” Setelah dokter memeriksa ayahnya akhirnya ayahnya harus diopname di rumah sakit.“Terima kasih, Dok.”Brama duduk di kursi dekat ayahnya, tubuhnya membungkuk, kedua siku bertumpu di lutut, tangan menggenggam erat. Untuk pertama kalinya, ia memperhatikan kerutan di wajah ayahnya, punggung yang tak lagi tegak, dan tangan yang dulu perkasa kini gemetar.Ternyata ayahnya sudah tua. Dia tidak menyangka kalau ayahnya tidak akan kuat lagi baru mendengar kabar semacam itu saja.Dengan posisinya, ayah Brama sudah mendapatkan berbagai macam berita dan keadaan yang mengejutkan, badai yang jauh lebih kencang daripada sekedar saham Harusnya berita ini bukan apa-apa.Tetapi, ternyata dia salah. Ayahnya bukan lagi seorang pemimpin Abiyasa Grup yang siap pasang badan menghadapi semua masalah di perusahaan."Pa, aku akan mengurus masalah ini, papa istirahat saja." Suaranya serak. "Apa papa pu
“Kenapa semua berita itu bisa bocor?! Apa kerjaanmu sebenarnya?”Brama hanya tertawa kecil mendengar amarah ayahnya itu."Kamu pikir ini lelucon?!" Ayahnya menghantam meja kayu eboni dengan tinju. "Berita ini sudah jadi headline di semua portal bisnis! Sampai sekarang, saham sudah turun 10%!"Belum selesai sampai di sana, ayah dan ibunya sudah mendatanginya ke kantor. Tidak lama setelah Kiara pulang dengan penuh protes, gantian orangtuanya yang menodongnnya ke kantor.Brama hanya bisa menerima kedatangan itu dan semua omelan yang keluar dari mulut ayahnya. Brama memutar tubuhnya perlahan. Cahaya sore membelah wajahnya, separuh terang separuh gelap. "Yang membuat masalah bukan aku, semua skandal ini dimulai karena papa, kan?”Wajah Ayah Brama memerah. “Kamu menyalahkan papa?”“Semua skandal ini tidak muncul ke publik kalau papa tidak dengan bangganya memperkenalkan Kevin di acara pertunanganku dengan sebangga itu, tidak akan ada omongan semacam ini.”“Kamu harusnya bisa menutup