“Sendiri, Dok.” Rinjani tersenyum tipis, dia tidak ingin terus-menerus mengasihani diri sendiri. Selama dia mencoba mengeraskan hatinya dan menganggap semua hanya pekerjaan, dia tidak seharusnya sakit hati.“Kalau begitu, biar saya panggilkan perawat biar bantu kamu menebus obatnya di depan.”Setelah membebat semua lukanya, Rinjani mulai merasakan sakit yang tadinya tidak terasa. Langkah kakinya mulai pincang, dan dia bahkan kesulitan menginjak pedal gas mobil yang dikendarainya. Tetapi, dia tetap memaksakan diri untuk kembali ke kantor dan mengurus semuanya. Untungnya karena mereka cepat mengatasi hal itu, masalahnya tidak sampai ke fluktuasi saham. “Coba hubungi pihak media, supaya berita klarifikasinya cepat ditayangkan. Jangan lupa, untuk komentar di akun sekarang dinon-aktifkan dulu.”Popularitas Kiara yang besar, dan ditambah hobi masyrakat untuk menggali kehidupan pribadi artis memberikan efek yang tidak bisa diremehkan. Bahkan sekarang muncul beberapa artike
Telinga Rinjani serasa berdengung mendengar itu. Sesaat rasanya otaknya menolak mencerna apapun.“Yu, benar kamu tinggal bersama Mas Brama?!”Rinjani pucat pasi, dia tidak tahu harus menjawab apa. Mulutnya terasa kelu tidak mampu berkata-kata.Ibunya mengguncang tubuh Rinjani frustrasi. “Yu, jawab pertanyaan ayah kamu! Itu bohong, kan?!”Rinjani hanya bisa menggelengkan kepalanya, air mata bergulir cepat dari matanya terjatuh di lengan ibunya yang terus mengguncangnya penuh emosi.Tangan renta ibunya, memegang kuat lengan Rinjani berharap mendengar jawaban ‘tidak’ dari anaknya itu.“Maaf, Bu. Maafin Ayu, Yah.”Rinjani jatuh berlutut dan memegang kaki ibunya. Dia tahu dia salah tapi rasanya dunianya runtuh saat melihat kekecewaan orangtuanya.Ketakutan terbesarnya terjadi sudah. Foto-foto itu sangat jelas menunjukkan dia dan Brama pulang dan pergi bersama setiap hari dari apartemen itu. Dari fotonya mengenakan pakaian kerja, hingga fotonya mengenakan pakaian rumah biasa saat
“Aku Cuma bicara kenyataan, Ma. Kenapa mama marah?” Brama bicara dengan sangat tenang, seolah dia hanya membicarakan cuaca siang itu. “Aku dan Kiara akan bertunangan, mama nggak usah khawatir.” Meski kerutan di keningnya dan wajah lelah Brama menunjukkan kalau masalah ini juga mempengaruhinya tapi saat bicara, Brama begitu tenang.Terkadang Rinjani ingin merobek ekspresi tenang di wajah pria itu. Rasanya tidak adil dia yang hancur dan terpojok sendirian.Ayah Rinjani menghela napas dalam, "Mas Brama, mungkin mas tidak menghargai Rinjani, tapi dia adalah anak yang sangat saya sayangi. Saya nggak mau dia sedih.”Rinjani, yang berdiri di samping ayahnya, merasa dadanya sesak. Air matanya hampir jatuh lagi, tapi dia berusaha menahannya. Dia tidak pernah menyangka bahwa ayahnya, yang selama ini selalu patuh dan tidak banyak bicara, akan berani berbicara seperti ini di depan majikannya sendiri.Ayahnya, yang hanya seorang supir, tegas membelanya tanpa takut di depan orang yang sudah dila
“Maaf, Yah. Ayu tahu salah.”Apapun yang dia katakan, rasanya tidak akan bisa membenarkan apa yang sudah dia lakukan.Demi cinta, dia sampai melupakan dirinya sendiri. Pria paruh baya itu mengusap dadanya yang terasa sesak. “Ayah nggak mau dengar permintaan maaf kamu, ayah Cuma mau tahu kenapa?!”Rinjani tersentak mendengar nada tinggi di suara ayahnya itu. “Ini salah ibuk, tahu kamu punya rasa ke Mas Brama tapi masih saja membiarkanmu kerja di perusahaan itu.”Rinjani buru-buru menggelengkan kepalanya. Ini semua adalah kehendaknya sendiri.Sejak awal, beasiswa yayasan Abiyasa itu tidak mewajibkannya untuk bekerja di Abiyasa Group, tapi ibunya menyuruhnya bekerja di sana sebagai salah satu cara balas budi.Tetapi, kalau Rinjani sendiri tidak ingin, dia akan punya cara untuk menolak saran ibunya itu. Seperti yang dilakukan adiknya yang menolak bekerja di perusahaan itu. “Yu, kamu itu perempuan. Kalau kamu sendiri nggak sayang sama diri kamu, orang lain juga nggak akan bisa
Orangtua mereka juga ikut bangkit, mencoba menenangkan Radit. "Ini bukan saatnya untuk menambah masalah! Emosi kamu hanya akan membuat semuamua makin kacau!" kata ayah mereka dengan suara tegas.Radit berhenti berjalan tapi wajahnya masih dipenuhi amarah. "Yah, setelah semuanya terjadi ayah masih mau nahan aku? Karena semua hutang budi omong kosong itu?""Radit, tolong," Rinjani memohon, suaranya gemetar. "Kakak tidak mau kamu terlibat dalam masalah ini. Aku nggak akan pernah bisa memaafkan diri sendiri, kalau kamu juga ikut terluka."Radit menghela napas gusar semua kalimat itu tidak membuat amarahnya mereda. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Lalu apa rencana kakak Apa kita harus terus diam saja? Pasrah?”Rinjani mengangkat kepalanya perlahan, matanya berkaca-kaca. "Radit, ini juga salahku," ujarnya dengan suara lemah. "Dari awal, dia sudah bilang kalau dia tidak akan serius. Sekarang, aku hanya mendapatkan akibatnya.Setelah semuanya, dia tidak bisa me
“Apa perlu ayah dan ibu temani?” Tanpa berpikir panjang, dia langsung menggelengkan kepalanya. “Ya, Bu. Ini adalah masalahku, biar aku yang menyelesaikannya.”Tiga orang itu menatapnya serentak, ada keraguan di sana.Tetapi, Rinjani bersikeras. Dia tidak ingin orangtuanya mendengar kalimat menyakitkan dari Brama.“Kalau kakak ragu, biar aku saja yang temani bagaimana?”Rinjani kembali menggelengkan kepalanya. “Banyak orang nggak akan membuat semuanya semakin mudah.” Dia lalu mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. “Aku berjanji, nggak akan hubungan lagi dengan Brama.”Masih ada rasa sakit di hatinya ketika mengatakan itu, tapi Rinjani jauh lebih bertekad sekarang. Kalau dia masih meneruskan hubungannya dengan Brama, dia merasa menyia-nyiakan semua rasa sayang dan perhatian keluarganya. Meski sedikit ragu, akhirnya keluarga Rinjani menyetujui.Keesokan harinya, Rinjani berangkat ke kantor dari apartemen adiknya. Dia masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang kemarin sempat d
Rinjani sendiri menatap tangannya tidak percaya. Darimana dia mendapat keberanian untuk menampar Brama? Sadar apa yang dia lakukan, mendadak jantungnya berdebar kencang dan tangannya sedikit gemetar, dia takut sendiri menatap reaksi pria itu. Brama masih menatap Rinjani dingin, bagai elang yang siap memburu mangsanya. Tatapan mata pria itu menggambarkan berbagai emosi yang Rinjani tidak bisa baca.Brama menghela napas, lalu dengan nada datar, dia berkata, "Kalau kamu mau keluar, bayar penalty, sebelum kamu membayarnya kamu bisa kembali melanjutkan pekerjaanmu seperti biasa.”Rinjani frustrasi, dia ingin sekali menjambak rambutnya. Semuanya terasa sangat tidak adil. Sikap tenang pria itu membuat Rinjani merasa seakan dia telah bersikap tidak rasional dan terlalu kekanakan.Rinjani menatap Brama, matanya berkaca-kaca. Dengan langkah gontai dia keluar dari ruangan itu. Dia tidak tahu bagaimana harus mengatakan ke orangtuanya kalau dia sudah gagal untuk mengundurkan diri dari pe
Radit dan Rinjani saling bertatapan, dan langsung menolak. “Bu, Radit nggak setuju.”“Yah, coba dipikirkan lagi. Kerja di sawah itu berat, apalagi kalian berdua sama sekali nggak terbiasa kerja seberat itu di terik matahari.”Kelelahan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan memasak, menyupir dan membersihkan mobil itu sangat berbeda dengan bekerja di ladang.“Iya, umur ayah dan ibu juga sudah tidak muda lagi. Kalian sudah kerja dari dulu sampai sekarang, untuk kami, sekarang kami sudah besar, biar gantian kami yang kerja untuk ayah dan ibu.”Radit menambahi dengan nada sangat sabar. Dia menjaga agar tidak mengeluarkan kata yang menyinggung hati ayah dan ibunya.“Kami masih punya tenaga! Kenapa harus mengandalkan kalian? Biar uangnya kalian simpan saja untuk keluarga kalian nanti.” Ibu mengangguk menyetujui kalimat yang diucapkan suaminya itu. “Iya, apalagi Radit. Kamu itu laki-laki, harus sudah mulai mengumpulkan uang untuk calon istrimu nanti.”“Aku juga menyisihkan untuk di
Brama menatap keluar jendela. Di seberang jalan, sebuah keluarga muda berjalan sambil tertawa—ayah, ibu, dan anak kecil di antaranya."Aku baik-baik saja," bohongnya, menyesap kopi yang sudah dingin.Ibu Brama meraih tangannya. Untuk pertama kalinya sejak kecil, Brama merasakan sentuhan hangat ibunya tanpa jarak.“Mama selalu menganggap Rinjani gadis yang baik. Hanya saja, karena latar belakangnya mama tidak pernah membayangkan kalau kalian akan bersama.”Jauh di dalam dirinya sudah sangat tertanama kalau pernikahan itu harus setara secara ekonomi.Dia sangat bangga pada Brama dan berharap anaknya itu mendapatkan yang terbaik. Tentu saja, seorang anak pembantu tidak akan pernah masuk radarnya.Karenanya saat pertama kali dia tahu, wanita itu merasa dikhianati. Dikhianati oleh pembantu yang sudah begitu lama bekerja dengannya, dikhianati oleh anaknya sendiri.Tetapi sekarang, dia mempertanyakan kembali, apa sepenting itu.“Dia gadis yang baik, dia pantas mendapatkan yang terbaik.”“Apa
Ayah Brama diam lama. “Apa kamu benar-benar nggak akan membantu papa?”Brama menggelengkan kepalanya. “Baiklah kalau begitu. Biar papa pikirkan sebentar.”Wajah pria paruh baya itu terlihat keruh. Dia sulit menerima kenyataan yang ada di depan mata.Siapa yang tidak punya simpanan dan selingkuhan di sekitar mereka? Kenapa hanya dia yang diceraikan istrinya? Laki-laki itu benar-benar merasa kehilangan muka.Ini semua karena perempuan itu yang terusDia langsung menelepon Ratri, ibu Kevin itu. Suara ayahnya melengking, tidak seperti biasanya. "Kenapa kamu mengirim semua foto-foto itu ke istriku!!”Brama menggosok pelipisnya. Dia bisa mendengar suara cempreng ibu Kevin dari speaker telepon—suara yang dibuat-buat polos, tapi terlalu bernada kemenangan."Aku tidak mengerti, Sayang. Maksud kamu apa?”“Jangan pura-pura bodoh! Karenamu, istriku tahu tentang kehamilan itu dan mau menceraikanku?!”“Cerai? Bagus dong? Bukankah ini yang kita tunggu? Sekarang kita bisa menikah dan anak kita ngga
“Aku tidak akan menandatangani surat cerai itu! Kita sudah terlalu tua untuk berpisah! Jangan jadi seperti anak-anak lah!"Brama menyenderkan tubuhnya ke jendela, menyeruput kopi dinginnya dengan tenang yang sengaja dibuat-buat. "Kalau Papa sadar sudah tua," ujarnya, mata menyipit menatap ayahnya, "Kenapa papa masih nggak bisa mengontrol kelamin!" Wajah ayahnya memerah. "Anak kurang ajar! Apa begini caramu bicara ke papa sekarang? Sudah merasa berkuasa setelah punya saham? Merasa paling hebat sekarang?”Setelah perusahaan stabil, dan menyadari kalau Brama memegang saham dalam jumlah sangat besar, ayah Brama memikirkan semuanya dan menyadari kalau semua itu adalah bagian dari rencana Brama.Dia tidak menyangka di luar pengawasannya ternyata Brama memiliki jauh lebih banyak uang dari yang dia bayangkan."Sudah cukup." Ibu Brama berdiri, suaranya seperti pisau es. Tangannya meraih tas kulit di sampingnya, mengeluarkan amplop cokelat tebal. "Aku sudah terlalu jijik hidup denganmu."“
Lampu kamar temaram, menciptakan bayangan yang bergerak lambat di dinding. Kiara melingkarkan lengan di leher Brama, jari-jarinya bermain dengan rambut pendek di tengkuknya. Napasnya hangat di telinga Brama, beraroma anggur mahal dan parfum yang menggoda.Tangan Kiara merayap ke bawah, membuka kancing pertama kemeja Brama. Jantungnya berdebar kencang—kemenangan sudah di depan mata.Tapi tubuh Brama kaku. Begitu jemari Kiara menyentuh kulit dadanya, gambaran Rinjani melintas di pikirannya. Ini bukan Rinjani! Aromanya salah! Bentuk tubuhnya salah! Bahasa tubuhnya salah!Brama menangkap pergelangan Kiara dengan kasar, mendorongnya menjauh. Napasnya tersengal, seperti orang yang baru tersadar dari mimpi buruk.Kiara tersentak terkejut. “Kenapa?!” Brama tidak menjawab. Dia bangkit dari tempat tidur, merapikan kemejanya dengan gerakan kasar."Ini sudah larut," katanya, mengambil jaket dari kursi. "Sebaiknya kita pulang."Kiara tidak berusaha menahannya. Dia duduk di tepi tempat tidur, m
***Andre masuk ke ruang kerja Brama dan langsung mengenyitkan hidungnya. Tirai jendela tertutup rapat, mengurung asap rokok yang menggantung di udara. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, beberapa halaman tercecer di lantai, diinjak oleh sepatu mahal yang tak pernah lagi diseka ke lusuhnya.Brama mengetik dengan kecepatan gila, jari-jarinya menari di atas keyboard seperti orang kesurupan. Layar komputernya memancarkan cahaya biru yang menyayat mata, memantulkan bayangan wajahnya yang semakin tajam—pipinya cekung, mata berkantung hitam, rambut acak-acakan."Kamu nggak tidur semalaman lagi?” Andre membuka pintu yang menghubungkan ke balkon luar untuk mengeluarkan semua asap rokok itu. “Ini sudah pagi, Bram.”"Aku tahu jam berapa sekarang," Brama menjawab tanpa menoleh, suaranya serak.Andre masuk, menginjak dokumen yang tergeletak di lantai. "Om menelepon lagi. Dia marah—" "Biarkan dia marah." Brama menyela, menekan tombol save dengan keras. “Kalau bisa marah berarti dia masih s
Rinjani terdiam. Dia masih merasa berat menerima uang itu karena itu bukan haknya. “Jangan membuatku merasa bersalah. Aku tidak membantu kamu apapun kalau kamu bahkan menolak ini.”Jagat berjanji ini adalah kerja sama, tapi dengan apa yang terjadi dia merasa tanggung jawab yang harus dipikul Rinjani jauh lebih berat.“Kamu bisa menggunakan uang ini untuk membayar biaya penalty itu, daripada kamu terus-terusan nggak nyaman di kantor itu.”Jagat menawarkan.Rinjani terdiam. “Sayang uangnya,” gumamnya. Apalagi ini bukan uang yang dia hasilkan. Kalau dipakai begitu saja dia akan merasa sangat berhutang.“Kita sekarang adalah suami istri, uangku adalah uang kamu. Kalaupun kamu memakai uang itu, itu nggak akan mengganggu keuangan keluarga kita.”“Bukan itu masalahnya.”“Aku bisa menunjukkan semua uang yang aku punya beserta aset dan investasi supaya kamu tenang.”Jagat benar-benar mencoba terbuka pada Rinjani. Namun, Rinjani buru-buru menolak.“Sekarang, ini aku simpan, nanti akan aku
Jagat tersenyum ringan. “It’s okay. Aku sudah tahu ceritanya kok. Kamu juga tahu pernikahanku dengan Rinjani seperti apa. Aku bisa mengerti hal seperti itu.”Celia menghembuskan napas lega melihat reaksi Jagat yang cukup santai."Dengar baik-baik," Celia menunjuk Jagat dengan garpu. "Perlakukan Rinjani dengan baik! Kalau kamu sakiti Rinjani, aku akan—""Celia!" Rinjani memotong.“Nggak papa.” Jagat menenangkan Rinjani. “Aku tahu, aku pasti akan memperlakukan dia dengan baik. Kamu tenang saja.”Celia mengacungkan jari jempolnya ke arah Jagat. “Aku harap kamu tepati janji itu.”Jagat tertawa, ketegangan sedikit mencair. Suasana makan malam itu menjadi menyenangkan karena Jagat juga pandai membawa suasana.Selesai makan malam, Jagat permisi ke kamar mandi meninggalkan Celia bersama Rinjani di sana.“Not bad,” gumam Celia tiba-tiba.“Apanya?” Rinjani menyuapkan tiramisu ke mulutnya dengan wajah bingung.“Jagat.” Celia menjelaskan. “Dia jauh lebih supel daripada Brama, dan yang terpent
Dunia seakan berhenti berputar saat itu untuk Brama. “A-apa?”Dia meragukan pendengarannya sendiri.“Aku sudah menikah," ulang Rinjani lagi lebih tegas.“Nggak! Kamu bohong!”Rinjani menggelengkan kepalanya. “Aku serius. Aku sudah menikah dengan Jagat.”"Kapan?" suara Brama serak.Rinjani tidak segera menjawab. Dia mengambil jaketnya dari kursi, bersiap pergi. Di ambang pintu, dia berhenti."Beberapa minggu lalu, aku harap kamu bisa berbahagia untuk aku.”Pintu tertutup pelan.Brama tetap berdiri di tengah kamar, tangan menggenggam erat bingkai tempat tidur hingga buku-buku jarinya memutih.Berbahagia katanya? Bagaimana dia harus berbahagia mendengar semua itu? Bohong! Rinjani pasti bohong! Dia tidak percaya ini! Rinjani sama sekali tidak ada mengambil izin apapun beberapa saat ke belakang.Kapan dia punya waktu untuk menikah?Brama mencari semua alasan kalau Rinjani hanya berbohong, tapi tangannya gemetar saat itu.Ekspresi wajah Rinjani tadi terbayang-bayang di depan wajahnya d
Layar komputer Brama memancarkan cahaya biru yang menerpa wajah pria itu. Tangannya mengetik cepat, sementara di sebelahnya, tumpukan laporan keuangan dan dokumen analisis pasar berserakan. Di sudut meja, secangkir kopi yang sudah dingin tak tersentuh.Wajah Brama sedikit pucat dan perutnya mulai terasa perih tapi dia menolak untuk berhenti.“Bram, kamu mending istirahat dulu. Wajahnya sudah betul-betul pucat.” Andre mengingatkan.“Sedikit lagi ini semua selesai. Aku tidak bisa berhenti sekarang.”Andre menggaruk alisnya kehabisan akal. Semenjak kejadian itu Brama benar-benar bekerja keras untuk mengembalikan kembali stabilitas perusahaan. Saking fokusnya bahkan makanan yang dibeli tadi siang belum sempat di makan Brama hingga sekarang.“Kalau begitu aku akan membeli makanan untukmu. Makanan yang di atas meja itu sudah dingin. Setelah pemberitaan saham miliknya ditambah dukungan keluarga Kiara, dan dibantu dengan laporan keuangan yang positif membuat kondisi saham perlahan mula