Deg!
Rinjani tertegun, mendengar itu.
“Siapa yang bilang begitu?”
Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.
“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”
“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya.
"Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”
Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"
Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”
Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara terus berbicara.
“Mungkin, ada baiknya kamu lebih sadar diri? kamu pikir, kamu itu something Cuma karena kamu sudah kenal Brama lama? Brama nggak akan mungkin serius denganmu. Kamu tahu itu.”
Semakin lama, ucapan Kiara semakin menyakitkan. Perempuan cantik itu tidak menyadari tatapan Rinjani padanya semakin tajam.
"Atau jangan-jangan, keluargamu yang mengajarimu seperti ini? Kamu memafaatkan kebaikan hati Brama dan keluarganya untuk merayu Brama? berharap kamu menikahi orang kaya agar bisa mengangkat derajat mereka? Betapa menyedihkan."
Cukup!
Tanpa berpikir lebih lama, Rinjani mengayunkan tangannya dan menampar wajah Kiara dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat Kiara terperangah.
“Kamu berani menamparku?”
“Jaga mulutmu! Aku tidak peduli kalau kamu hanya menghinaku, tapi jangan pernah sebut orangtuaku dengan mulut kotormu itu!”
Telunjuk Rinjani tertuju ke wajah Kiara tajam. Mata Rinjani penuh dengan amarah. Dia Napasnya tersenggal berusaha menahan emosinya.
Kiara murka dan mengangkat tangannya, hendak membalas.
Namun sebelum Kiara sempat bergerak lebih jauh, langkah kaki terdengar dari arah lorong. Brama kembali ke ruangan, masih mengancingkan lengan kemejanya.
Seketika itu juga, Kiara mengubah ekspresinya. Tatapan tajam dan penuh kebencian itu lenyap, digantikan oleh wajah lembut dan ekspresi penuh kepolosan. Dengan suara yang dibuat gemetar, ia berkata, "Brama... Rinjani... dia menamparku..."
Brama mengerutkan kening, menatap mereka berdua dengan bingung. Sementara itu, Rinjani hanya bisa berdiri diam, dadanya naik turun karena emosi yang belum reda.
Satu hal yang pasti, Kiara baru saja menyatakan perang dengannya. Dan dia menolak untuk mundur sekarang.
“Rinjani, apa yang kamu lakukan?”
Dingin nada suara pria itu, membuat Rinjani bergidik. Ada rasa takut dalam hatinya. Ketakutan yang sudah menahun bagai insting dalam dirinya. Dia selalu merasa takut saat Brama sudah berbicara seperti ini tapi sekarang dia menolak mundur.
“Aku tidak akan pernah memaafkan siapapun yang sudah menghina orangtuaku!” gumamnya menahan amarah.
Brama langsung menoleh ke arah Kiara mendengar itu. “Kamu bilang apa?” tanyanya datar.
“Brama, aku hanya mencoba berbicara baik-baik dengannya. Tapi dia… dia langsung marah. Aku sama sekali nggak berniat menghina orangtua Rinjani. Aku Cuma tanya, sejak kapan mereka kerja di rumah ini.”
Rinjani menatap Kiara tidak percaya, begitu lihat perempuan itu memutar balikkan keadaan.
Kiara memanfaatkan momen itu dengan menangis pelan, seolah ia yang menjadi korban. “Mungkin, kata-kataku ada yang menyinggung kamu, Rin. Aku minta maaf, aku sama sekali nggak bermaksud merendahkan siapapun.”
Rinjani merasa seperti terjebak. Ia tahu Kiara sedang memutar balikkan fakta, tapi ia tidak memiliki bukti untuk membela diri. Ia hanya bisa menatap Brama, berharap ia bisa melihat kebenaran yang sebenarnya.
“Minta maaf!”
Rinjani terdiam, dia tidak ingin lagi membela diri. Dia kenal Brama dan dia bisa melihat pria itu tidak ingin lagi memperpanjang masalah itu.
Harga dirinya tidak mengizinkannya untuk minta maaf, tapi tatapan Brama membuatnya ragu.
“Kiara, ingat! Orangtuamu masih bekerja di sini!”
Deg! Sekarang, bahkan Brama mengancam orangtuanya? Rinjani menatap Brama dengan tatapan tajam. Apa ini pria yang selama ini dia cintai? Sejenak dia meragu, apa ini pria yang dia kenal selama lima tahun ini.
“Aku minta maaf,” gumamnya terbata, menelan kembali semua harga dirinya. Dia menundukkan kepalanya dan segera pergi dari sana.
Saat ia berjalan, air matanya mulai mengalir. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Kiara, tapi juga oleh Brama yang tidak bisa melihat kebenaran.
Sementara itu, di taman, Kiara masih memegang lengan Brama, wajahnya penuh dengan kepura-puraan. “Brama, aku khawatir dengan Rinjani. Dia tampak sangat emosional. Mungkin dia butuh bantuan.”
Brama hanya bergumam tidak jelas. “Lebih baik kita segera ke ruang tamu.” Dia lalu membimbing Kiara pergi dari sana. Setelah beberapa langkah dia menoleh sekilas ke belakang tapi kemudian langsung kembali menatap lurus ke depan.
Rinjani tidak tahu bagaimana dia meninggalkan rumah itu. Dia bagai boneka tanpa jiwa yang hanya berjalan dengan instingnya.
Dia bersyukur mobilnya tidak menambrak apapun dan dia tiba di apartemen adiknya dalam keadaan utuh.
Rinjani melihat wajahnya di cermin, mata sembab dan bengkak, wajah berantakan. Dia tidak ingin bertemu adiknya dengan wajah seperti ini. Akhirnya dia menitipkan makanan tadi di lobi apartemen itu dan pulang ke apartemennya sendiri.
Sampai di sana, hal pertama yang Rinjani lakukan adalah menyusun semua barang-barangnya.
Apartemen ini adalah apartemen pemberian Brama saat anniversery mereka yang ke tiga. Sebelumnya dia tinggal bersama dengan adiknya di sebuah apartemen yang sederhana.
Tetapi, Brama merasa tidak leluasa mengunjungi Rinjani sehingga dia menyuruh Rinjani pindah.
Rinjani menatap foto mereka berdua yang terletak di sebelah tempat tidur dengan mata berair.
“Mungkin memang aku hanya teman tidur untukmu, perempuan murahan yang bersedia melakukan apapun karena cinta,” sindirnya pedih pada dirinya sendiri.
Untuk Brama dia nyaris rela melakukan apapun hingga kehilangan diri. Namun, hasilnya tetap saja.
Dia memasukkan semua barang yang berisi kenangan mereka di satu kotak besar. Lalu menyusun barangnya sendiri di kotak lain. Rinjani tidak ingin berhenti bekerja, rasanya kalau dia hanya berdiam diri dia akan meledak.
“Apa ini semua? Kamu mau ke mana?”
Rinjani mendongak menatap Brama yang sudah berada di kamarnya tanpa dia sadari.
“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekananRinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”Brama menghela napas
Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negar
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Rasa malu yang sangat besar menyeruak dalam diri Rinjani. Apa yang dia lakukan dengan Brama memang bukan hal yang membanggakan. Tanpa ikatan dia tinggal serumah dengan laki-laki. Selain orangtuanya, orangtua Brama adalah orang berikutnya yang dia takuti akan tahu tentang ini. Mendengar sendiri kalau dia adalah simpanan dan ayah Brama itu tidak akan pernah mengizinkannya menjadi istri Brama membuatnya merasa sangat murahan.Selama ini, semua usaha dan cintanya dipandang sangat rendah oleh pria yang mengisi hatinya itu.“Kamu anak kebanggaan papa. Masa depan perusahaan ini ada di tanganmu. Sesekali mengurangi stres dengan perempuan, papa nggak akan melarang, tapi ingat tanggung jawabmu jangan sampai terabaikan!”“Aku tahu.”“Hidup ini seperti main catur, jangan ragu untuk memanfaatkan segala bidak yang kamu punya untuk mencapai tujuan.” “....”Rinjani yang mendengarkan semua itu di luar, mengepalkan tangannya kuat. Harga dirinya sungguh tidak ada artinya di mata ayah dan
Rinjani berdiri di depan pintu ruangan Brama, tangannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang harus mereka bahas bersama. Nafasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat dari ruang kerjanya. Dia mengetuk pintu dua kali, dan suara rendah Brama mempersilakannya masuk.Ruangan itu terasa dingin, udara AC yang kencang membuat kulitnya merinding. Brama duduk di belakang mejanya, wajahnya terlihat serius, matanya tertuju pada layar laptop di depannya.“Aku sudah bawa laporan proyek terbaru,” ujar Rinjani, mencoba memecah kesunyian yang terasa berat. Brama hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Rinjani duduk di kursi di seberangnya, meletakkan dokumen di atas meja. Dia memperhatikan Brama lebih cermat. Wajahnya terlihat lebih pucat, matanya berkantung, seolah dia tidak tidur semalaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani, suaranya lembut namun penuh kecemasan. Brama menghela nafas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat l
“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama. “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.” “Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi Brama dan juga Kiara dia merasa sedikit lebih tenang.Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga di salah satu sudut ruangannya dibuat bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana. Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh unt
Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.“Halah! Ibuk masih di sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet. Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.“Rin!” Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo. “Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci du
Rasa malu yang sangat besar menyeruak dalam diri Rinjani. Apa yang dia lakukan dengan Brama memang bukan hal yang membanggakan. Tanpa ikatan dia tinggal serumah dengan laki-laki. Selain orangtuanya, orangtua Brama adalah orang berikutnya yang dia takuti akan tahu tentang ini. Mendengar sendiri kalau dia adalah simpanan dan ayah Brama itu tidak akan pernah mengizinkannya menjadi istri Brama membuatnya merasa sangat murahan.Selama ini, semua usaha dan cintanya dipandang sangat rendah oleh pria yang mengisi hatinya itu.“Kamu anak kebanggaan papa. Masa depan perusahaan ini ada di tanganmu. Sesekali mengurangi stres dengan perempuan, papa nggak akan melarang, tapi ingat tanggung jawabmu jangan sampai terabaikan!”“Aku tahu.”“Hidup ini seperti main catur, jangan ragu untuk memanfaatkan segala bidak yang kamu punya untuk mencapai tujuan.” “....”Rinjani yang mendengarkan semua itu di luar, mengepalkan tangannya kuat. Harga dirinya sungguh tidak ada artinya di mata ayah dan
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negar
“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekananRinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”Brama menghela napas
Deg!Rinjani tertegun, mendengar itu.“Siapa yang bilang begitu?”Sepertinya dia salah mengira kalau tunangan Brama adalah gadis lembut dan polos yang ceria.“Heh, aku nggak perlu ada yang bilang. Aku ingatkan kamu, sekarang Brama adalah milikku! Jadi aku harap kamu tahu diri dan jangan jadi perusak di hubungan kami! Tinggalkan Brama!”“Apa itu yang Brama bilang? Aku teman tidurnya?” Rinjani sudah sangat lelah menangis. Setidaknya dia tidak ingin menunjukkan air matanya di depan orang yang dia tahu akan mencemoohnya."Jangan pura-pura polos," potong Kiara cepat. "Aku tahu, perempuan sepertimu maunya apa! Bilang, aku harus bayar berapa supaya kamu meninggalkan Brama?”Mata Rinjani bergetar, tapi ia menegakkan kepalanya. "Jika memang Brama milikmu, kenapa kau harus mengatakan ini padaku? Apa kamu tidak yakin dengan hubungan kalian?"Kiara terdiam sesaat, tapi kemudian tersenyum tipis. "Aku hanya kasihan padamu.”Rinjani mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya, tetapi Kiara te
Rinjani menjaga ekspresi wajahnya berusaha tidak terpengaruh tapi hatinya seakan bagai teriris.“Kamu sudah pernah ketemu belum Rin, sama calon tunangannya itu? Katanya penyanyi ya? Aku Cuma pernah lihat di tv. Aslinya bagaimana? Cantik mana?”“Hush, Tini. Nanyanya kok begitu. Nggak sopan. gimana kalau ibuk dengar?” Ibunya khawatir sembari melirik ke arah pintu dapur cemas. Takut-takut nyonya rumah itu mendengar gosip mereka.“Halah! Ibuk masih di sibuk dandan di atas, dia nggak akan sempat melihat ke dapur.”Rinjani memaksakan senyum, dia tidak tahu apakah senyumnya terlihat aneh atau tidak sekarang ini, karena kepalanya benar-benar terasa mumet. Menggosipkan berita pertunangan kekasihnya sendiri, adalah hal terakhir yang dia inginkan sekarang ini.“Rin!” Tiba-tiba ibunya menarik tangannya kuat. Rinjani tersentak kebingungan. Kemudian melihat ibunya dengan wajah melongo. “Kamu kenapa? Nggak fokus? Itu kuahnya sampai tumpah itu ke tangan! Apa nggak panas? Sini-sini, dicuci du
“Brama, kamu ngomong apa sih? Masa kamu cemburu sama karyawan sendiri. Dia itu perempuan Brama.”Rinjani tidak melihat wajah Kiara, tapi sangat jelas terbayang di kepalanya saat itu bagaimana wajah cantik Kiara tersenyum manja ke Brama. “Aku Cuma mau minta tolong sekretaris kamu buatkan teh untukku dan kamu juga,” ujarnya menahan senyum.Rinjani berusaha mengontrol ekspresi wajahnya dan berbalik sopan. “Baik, Bu.” “Nggak usah panggil ibu, aku juga masih muda. Panggil, Mbak saja.” Kiara mengibaskan tangannya ramah.Rinjani hanya bisa mengangguk sembari tersenyum terpaksa. Tidak ingin ada yang melihat ekspresi di wajahnya dia segera berjalan ke meja di ujung ruangan pria itu. Dengan tubuh membelakangi Brama dan juga Kiara dia merasa sedikit lebih tenang.Brama tidak suka berbagi pantry dengan karyawan lain sehingga di salah satu sudut ruangannya dibuat bagai mini pantry dengan gelas mesin kopi dan berbagai jenis teh di sana. Dengan cepat, Rinjani menyeduhkan dua gelas teh unt
Rinjani berdiri di depan pintu ruangan Brama, tangannya menggenggam erat setumpuk dokumen yang harus mereka bahas bersama. Nafasnya sedikit tersengal setelah berjalan cepat dari ruang kerjanya. Dia mengetuk pintu dua kali, dan suara rendah Brama mempersilakannya masuk.Ruangan itu terasa dingin, udara AC yang kencang membuat kulitnya merinding. Brama duduk di belakang mejanya, wajahnya terlihat serius, matanya tertuju pada layar laptop di depannya.“Aku sudah bawa laporan proyek terbaru,” ujar Rinjani, mencoba memecah kesunyian yang terasa berat. Brama hanya mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Rinjani duduk di kursi di seberangnya, meletakkan dokumen di atas meja. Dia memperhatikan Brama lebih cermat. Wajahnya terlihat lebih pucat, matanya berkantung, seolah dia tidak tidur semalaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Rinjani, suaranya lembut namun penuh kecemasan. Brama menghela nafas panjang, lalu menutup laptopnya. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat l