Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.
Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.
Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.
Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.
Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.
Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’
Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negara ini membuat sosial media bukan tempat melarikan diri yang cocok untuk Kiara.
Kiara tidak ingin melihat tapi dia tidak mampu menahan rasa penasarannya, dia membuka instagrm gadis itu dan menemukan satu postingan baru di sana.
Kiara dan Brama duduk bersebelahan dengan makanan di depan mereka. Caption singkat di bawahnya membuat hati Rinjani kembali terasa perih.
‘Mine’
Di bawah postingan itu sangat banyak komentar yang mendukung hubungan dua orang itu.
Ya, Brama adalah milik orang lain, bukan miliknya. Sekarang, dunia juga tahu akan hal itu. Tidak ada tempat lagi untuknya berdiri di sebelah Brama sebagai kekasih.
***
Hati boleh hancur, tapi kewajibannya harus tetap dijalankan. Tidak peduli seremuk apa dia, Rinjani tetap berangkat ke kantor hari ini.
Meski kantornya juga masih dipenuhi gosip tentang Brama dan meski dia harus bertemu Brama di kantor tapi pekerjaan adalah pekerjaan. Dia punya tanggung jawab yang harus dia selesaikan.
“Rin, kamu dipanggil Pak Brama ke ruangannya.”
Rinjani terdiam sejenak, lalu langsung berdiri. “Oke.” Dengan langkah tegar dia memasuki ruang Brama.
“Bapak manggil saya?” tanyanya sopan.
Brama mengerutkan kening mendengar nada asing itu.
“Mau makan siang di mana?”
Rinjani mengerutkan keningnya. “Maaf, Pak. Saya banyak kerjaan hari ini jadi saya nggak bisa keluar makan siang.”
Jabatannya sebagai sekretaris Brama membuatnya leluasa berjalan di sisi pria itu tanpa ada gosip miring tentang mereka.
Sikap datar Brama di depan semua karyawan membuat tidak ada yang curiga kalau mereka memiliki hubungan spesial.
“Kerjaan apa? Aku tahu semua pekerjaanmu Rinjani.” Brama menghela napas gusar. “Kesabaranku ada batasnya!”
Rinjani tersenyum getir. Untuk Brama, dia sudah bersikap sangat sabar ke Rinjani, tawaran makan siang itu adalah bentuk ajakan berdamai dari pria itu. Dan Rinjani menjadi seseorang yang tidak tahu terima kasih saat dia menolak.
Di dalam logika Brama, Rinjani tidak berhak marah dan menolak. Mata Rinjani terbuka saat itu. Ini bukan hubungan antar kekasih.
Brama selalu memperlakukannya bagai karyawan, bawahan yang harus menuruti segala perintahhnya, bahkan di hubungan pribadi mereka.
“Seluruh Indonesia sekarang tahu kalau kamu adalah kekasih Kiara. Kalau sampai ada yang melihatmu makan di luar dengan perempuan lain, entah apa yang akan terjadi.”
Brama terdiam mendengar itu. “Apa maksudmu?”
“Kamu nggak tahu?” Rinjani menatap Brama beberapa detik memastikan pria itu betul-betul tidak tahu. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan postingan viral itu.
“Ada baiknya kamu menjaga jarak dengan perempuan lain di saat seperti ini. Kiara itu sangat terkenal. Sekarang, kamu adalah bagian dari itu semua. Mereka akan sangat penasaran siapa yang menjadi kekasih seorang Kiara.”
Hanya satu hari dan Rinjani sudah bisa berbicara dengan nada tenang seolah dia hanya sekretaris Brama. Seolah hatinya tidak robek dan hancur karena perlakuan pria itu.
Sekian lama menahan perasaannya membuat Rinjani menjadi sangat mahir dalam hal itu.
Brama melihat postingan itu dengan kening berkerut, kemudian dia menelepon Kiara. “Aku perlu bicara, kamu di mana?” tanyanya.
Rinjani lalu keluar dari ruangan itu tanpa suara. Tidak lama, dia melihat Brama keluar dari ruangannya dan tidak kembali lagi sampai jam pulang kerja.
Sepulang kerja, Rinjani tidak ingin pulang ke apartemen itu, akhirnya dia memilih pergi ke tempat di mana dia bisa meluapkan isi hatinya saat ini. Apartemen sahabatnya, Celia.
“Brama sudah gila? Bagaimana dia bisa melakukan ini semua ke kamu?!”
Mendengar Celia sahabatnya mengomel seperti itu, Rinjani tersenyum tipis. Rasanya, untuk pertama kali dia mendengar ada yang mendukungnya.
Sayangnya, senyuman itu lebih tampak bagai ringisan menahan tangis.
“Nggak usah ketawa kalau nggak niat!” Celia kembali marah. “Aku sudah bilang dari dulu, hubungan kalian itu timpang! Kamu terlalu memuja Brama, seakan kamu nggak bisa hidup tanpa dia! Itu bikin Brama seenaknya! Karena dia tahu!”
Celia adalah satu-satunya orang terdekat Rinjani yang tahu tentang hubungannya dengan Brama. Sesuatu yang bahkan tidak berani dia beritahu ke keluarganya sendiri.
Sejak awal, Celia juga sudah sangat menunjukkan rasa tidak setujunya dengan hubungan itu.
Sayangnya, Rinjani tidak pernah mendengarkan.
“Tinggalkan dia, Rin. Cinta juga harus tetap punya moral kan? Aku nggak akan pernah membiarkan kamu jadi selingkuhan Brama!”
Rinjani menundukkan kepalanya. “Aku juga mau pisah, tapi Brama nggak mau.”
“Oh, Brama nggak mau?” Celia mengulangi kalimat itu dengan nada mencemooh. “sudah sampai di sini juga kamu masih mau nurut sama dia?! Rinjani sadar!”
Rinjani hanya bisa diam saja menerima semua amarah Celia. Amarah yang tidak bisa dia luapkan, terasa diwakilkan oleh sahabatnya itu.
“Dia mengancam akan memecat orangtuaku, Cel. Kamu tahu betapa hormatnya oragtuaku ke keluarga Brama. Berkali-kali aku sudah minta mereka keluar saja tapi mereka menolak karena semua rasa hormat dan hutang budi itu!”
“Rin, aku rasa ini mungkin satu cara untuk membuat orangtuamu mau keluar dari rumah itu. Nggak sehat, kalau kamu terus-terusan berada di posisi sekarang ini.”
Kening Rinjani berkerut dalam “Aku tahu! Hanya saja, nggak dengan cara ini. Aku mau mereka keluar karena memang ingin. Aku nggak mau hati mereka hancur karena dipecat di usia sekarang.”
Celia terdiam sejenak. Dia tidak bisa dengan mudah memberikann solusi ke Rinjani karena dia melihat sendiri betapa setianya orangtua Rinjani dengan pekerjaan mereka.
Melayani Brama dan keluarganya seakan sudah menjadi kewajiban yang mendarah daging. Ini satu-satunya cara yang orangtua Rinjani tahu untuk membalas budi baik keluarga Brama kepada mereka.
“Bagaimana kalau mereka tahu, alasan mereka dipecat adalah karena hubunganku dengan Brama? Mereka akan sangat kecewa.”
Celia menjambak rambutnya gusar. Masalah Rinjani malah membuatnya stres sendiri. “Terus, bagaimana rencanamu sekarang?”
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Rasa malu yang sangat besar menyeruak dalam diri Rinjani. Apa yang dia lakukan dengan Brama memang bukan hal yang membanggakan. Tanpa ikatan dia tinggal serumah dengan laki-laki. Selain orangtuanya, orangtua Brama adalah orang berikutnya yang dia takuti akan tahu tentang ini. Mendengar sendiri kalau dia adalah simpanan dan ayah Brama itu tidak akan pernah mengizinkannya menjadi istri Brama membuatnya merasa sangat murahan.Selama ini, semua usaha dan cintanya dipandang sangat rendah oleh pria yang mengisi hatinya itu.“Kamu anak kebanggaan papa. Masa depan perusahaan ini ada di tanganmu. Sesekali mengurangi stres dengan perempuan, papa nggak akan melarang, tapi ingat tanggung jawabmu jangan sampai terabaikan!”“Aku tahu.”“Hidup ini seperti main catur, jangan ragu untuk memanfaatkan segala bidak yang kamu punya untuk mencapai tujuan.” “....”Rinjani yang mendengarkan semua itu di luar, mengepalkan tangannya kuat. Harga dirinya sungguh tidak ada artinya di mata ayah dan a
“Ssh!” Brama menjauhkan bibirnya dari Rinjani sembari meringis kesakitan. Keningnya berkerut menatap wanita itu kesal. Rinjani tidak ingin kalah dia membalas tatapan itu tanpa takut. Dia tidak ingin terus-menerus diam saat Brama memperlakukannya seenaknya.Brama mencengkram kedua sisi pipi Rinjani dengan sebelah tangannya. “Kamu berani sekarang?”Pertanyaan itu membuat kemarahan dalam diri Rinjani semakin membara. “Kenapa aku harus takut? Kamu tahu yang kamu lakukan ini pelecehan!”Brama tersenyum tipis. “Pelecehan?” Dia mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah. “Aku bahkan sudah pernah melakukan lebih dari ini, kenapa baru sekarang jadi masalah?”Air mata berjatuhan dari pipi Rinjani. “Selama ini aku terlalu bodoh! Dibutakan cinta sampai rela melakukan apa saja, tapi sekarang aku Cuma mau kita berpisah, Bram.”“Hahh!” Brama menatap Rinjani dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kelembutan yang Rinjani tidak bisa mengerti di sana. “Sedari awal kita bersama, kamu tahu hubun
Meski kebingungan, Rinjani memaksakan tubuh lelahnya untuk beranjak ke kamar mandi. Dengan sangat cepat dia mandi dan bersiap-siap.Begitu dia keluar dari kamar mandi, Brama sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk memulas wajahnya dan langsung menariknya pergi.Tergopoh-gopoh Rinjani mengambil tas dan ponselnya lalu berlari menyusul Brama. Mereka menaiki mobil Brama lalu meninggalkan apartemen itu.Kening Brama berkerut dalam, tangannya terkepal memegang kemudi mobil itu kuat hingga urat yang ada di tangannya bertonjolan.“Apa yang terjadi?” tanya Rinjani pelan.“Ada yang mengambil foto kita semalam, sekarang wartawan mengelilingi Kiara untuk mempertanyakan masalah itu.”Rinjani tertegun, dan buru-buru melihat ponselnya sendiri. Dia membuka media sosial, dan hatinya langsung berdebar kencang. Foto dirinya bersama Brama ada di mana-mana, dan komentar-komentar pedas mulai memenuhi kolom komentar.‘Kiara pasti hancur melihat ini!’‘Baru kali ini kasih tahu publik tentang paca
Suara nyaring Rinjani membuat suasana akhirnya semakin terkontrol. Sisa wawancara dadakan itu berlangsung dengan cukup kondusif.Tidak berapa lama, manajer beserta tim Kiara datang membantu mereka. Dengan kedatangan manajernya Kiara lalu bisa masuk ke dalam rumah dengan Brama. Sementara itu, Rinjani ikut membantu mengakhiri wawancara itu dan memastikan kalau semua wartawan itu sudah pergi dari sana. Senyum ramah dan kalimat manis terus keluar dari mulut manajer dan tim Kiara. Tidak terlihat sedikitpun kemarahan meski perlakuan anarkis wartawan tadi nyaris melukai artis mereka. Setelah membereskan semuanya, baru Rinjani ikut masuk bersama dengan mereka ke dalam rumah.Rinjani bisa merasakan manajer Kiara menatapnya sinis beberapa kali tapi dia hanya mengabaikannya. Manajer Kiara adalah seorang pria berpenampilan flamboyan dengan blouse motif bunga dengan celana chinos berwarna cokelat. Gaya jalannya sedikit kemayu.“Bikin repot semua orang saja! Kalau sekretaris harusny
“Sendiri, Dok.” Rinjani tersenyum tipis, dia tidak ingin terus-menerus mengasihani diri sendiri. Selama dia mencoba mengeraskan hatinya dan menganggap semua hanya pekerjaan, dia tidak seharusnya sakit hati.“Kalau begitu, biar saya panggilkan perawat biar bantu kamu menebus obatnya di depan.”Setelah membebat semua lukanya, Rinjani mulai merasakan sakit yang tadinya tidak terasa. Langkah kakinya mulai pincang, dan dia bahkan kesulitan menginjak pedal gas mobil yang dikendarainya. Tetapi, dia tetap memaksakan diri untuk kembali ke kantor dan mengurus semuanya. Untungnya karena mereka cepat mengatasi hal itu, masalahnya tidak sampai ke fluktuasi saham. “Coba hubungi pihak media, supaya berita klarifikasinya cepat ditayangkan. Jangan lupa, untuk komentar di akun sekarang dinon-aktifkan dulu.”Popularitas Kiara yang besar, dan ditambah hobi masyrakat untuk menggali kehidupan pribadi artis memberikan efek yang tidak bisa diremehkan. Bahkan sekarang muncul beberapa artike
Telinga Rinjani serasa berdengung mendengar itu. Sesaat rasanya otaknya menolak mencerna apapun.“Yu, benar kamu tinggal bersama Mas Brama?!”Rinjani pucat pasi, dia tidak tahu harus menjawab apa. Mulutnya terasa kelu tidak mampu berkata-kata.Ibunya mengguncang tubuh Rinjani frustrasi. “Yu, jawab pertanyaan ayah kamu! Itu bohong, kan?!”Rinjani hanya bisa menggelengkan kepalanya, air mata bergulir cepat dari matanya terjatuh di lengan ibunya yang terus mengguncangnya penuh emosi.Tangan renta ibunya, memegang kuat lengan Rinjani berharap mendengar jawaban ‘tidak’ dari anaknya itu.“Maaf, Bu. Maafin Ayu, Yah.”Rinjani jatuh berlutut dan memegang kaki ibunya. Dia tahu dia salah tapi rasanya dunianya runtuh saat melihat kekecewaan orangtuanya.Ketakutan terbesarnya terjadi sudah. Foto-foto itu sangat jelas menunjukkan dia dan Brama pulang dan pergi bersama setiap hari dari apartemen itu. Dari fotonya mengenakan pakaian kerja, hingga fotonya mengenakan pakaian rumah biasa saat
“Aku Cuma bicara kenyataan, Ma. Kenapa mama marah?” Brama bicara dengan sangat tenang, seolah dia hanya membicarakan cuaca siang itu. “Aku dan Kiara akan bertunangan, mama nggak usah khawatir.” Meski kerutan di keningnya dan wajah lelah Brama menunjukkan kalau masalah ini juga mempengaruhinya tapi saat bicara, Brama begitu tenang.Terkadang Rinjani ingin merobek ekspresi tenang di wajah pria itu. Rasanya tidak adil dia yang hancur dan terpojok sendirian.Ayah Rinjani menghela napas dalam, "Mas Brama, mungkin mas tidak menghargai Rinjani, tapi dia adalah anak yang sangat saya sayangi. Saya nggak mau dia sedih.”Rinjani, yang berdiri di samping ayahnya, merasa dadanya sesak. Air matanya hampir jatuh lagi, tapi dia berusaha menahannya. Dia tidak pernah menyangka bahwa ayahnya, yang selama ini selalu patuh dan tidak banyak bicara, akan berani berbicara seperti ini di depan majikannya sendiri.Ayahnya, yang hanya seorang supir, tegas membelanya tanpa takut di depan orang yang sudah dila
“Secepatnya, Tante. Karena keadaan mama saya sudah cukup mendesak, harus segera dioperasi.”“Aku dan Jagat berencana mengadakan acara tukar cincin sederhana saja di depan orangtua Jagat, untuk membuat ibu Jagat lebih tenang.” Takut kalau orangtua Rinjani tidak senang dengan kalimat itu, Jagat buru-buru menambahkan. “Ini Cuma sekedar untuk menunjukkan ke mama saya kalau serius hendak menikah ke mama saya. Setelah keadaan mama membaik, kami akan mengulangi semua acara itu dengan lebih serius.”Udara di ruang tamu apartemen terasa berat. Orangtua Rinjani duduk berhadapan dengan Jagat, wajah mereka dipenuhi keraguan. Ibu Rinjani memutar-mutar gelas teh di tangannya, matanya tak lepas dari wajah pemuda di hadapannya."Jujur, kami masih sulit menerima, semuanya secepat ini. Apalagi, kami sama sekali belum bertemu dengan keluargamu.”Jagat duduk tegak, tangannya tergenggam di atas lutut. "Saya mengerti kekhawatiran Om dan Tante, tapi keadaan mama benar-benar tidak mendukung untuk pem
Lift apartemen bergerak pelan, namun detak jantung Rinjani berdegup kencang. Kulitnya masih terasa hangat di tempat Brama menyentuhnya tadi, seolah bekas jari-jarinya membakar.Apa yang terjadi padanya? Pikiran itu terus mengusik. Wajah Brama yang biasanya tegar tadi terlihat begitu rapuh—matanya redup, garis wajahnya kaku oleh stres yang tak terkatakan.Tidak. Rinjani menggeleng keras. Dia Brama. Dia selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.Tapi alasan itu tidak membuat dadanya lega. Rasanya seperti berbohong pada diri sendiri.Rinjani memaksa dirinya untuk tidak memikirkan masalah itu lebih jauh lagi.Pintu apartemen terbuka. Suara obrolan orangtuanya dari ruang tamu menyambutnya."Yu? Kamu pulang larut sekali," suara hangat ibu menyapa, matanya penuh pertanyaan.Rinjani menarik napas dalam-dalam. "Iya, Bu. Tadi habis dari rumah sakit, bertemu dengan orangtua Jagat.”“Secepat itu? Bukannya kalian baru kenal?”Rinjani terdiam mendengar pertanyaan ibunya itu, setelah ragu sesaat
Brama mengambil langkah mundur, wajahnya tertutup. “Ma, aku nggak mau berdebat dengan mama sekarang ini. Sebaiknya mama tenangkan diri dulu.”Dia tidak pernah percaya kalau pernikahannya akan menentukan masa depannya di perusahaan. Dia sudah menjadi direktur di perusahaan itu selama beberapa tahun.Semua pengalaman, kegagalan dan keberhasilan mengajarinya banyak hal. Dia percaya, untuk mengembangkan perusahaan itu dia tidak perlu harus menikah dengan perempuan.Harga dirinya tidak mengizinkan Brama menjadi sosok seperti ayahnya."Brama!”Tapi Brama sudah berbalik, berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, dia berhenti. "Ma, mama tenang saja. Aku bukan laki-laki naif yang akan membuang semua yang aku miliki untuk cinta.”Dia percaya dia bisa mendapatkan semuanya tanpa harus kehilangan salah satunya. Kontrol atas pernikahannya dan Abiyasa Grup, dia akan mendapatkan semuanya.Ibu Brama hanya bisa menatap anaknya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Kecemasan dan rasa kesal bercampu
Brama memilih diam, dengan keras kepala dia menolak untuk minta maaf atau menundukkan kepala di depan ayahnya.“Bahkan Rinjani lebih bisa mengontrol emosinya! Kamu kalah sama perempuan!"Nama Rinjani seperti pisau yang menancap. "Jangan bandingkan aku dengannya." Tangan Brama terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Sekarang ini, mungkin Rinjani sama sekali tidak peduli lagi padanya.Dia bahkan sudah memiliki pria lain di sisinya. Saat itu, emosi itu kembali memuncak dalam dirinya. Dia menahan diri sejak tadi untuk tidak memborbardir nomor telepon Rinjani dengan telepon dan pesan untuk menanyakan siapakah laki-laki itu."Kalau kamu tidak bisa mengontrol perasaanmu terhadap mantan karyawan itu, lebih baik kau pecat dia sekarang juga!" Ayahnya menatap tajam. "Direktur Abiyasa Grup tidak boleh dikendalikan oleh perempuan!"Brama menarik napas dalam-dalam. "Aku bisa mengontrol diri."Ayahnya tertawa sinis. "Benarkah? Aku harap kamu benar-benar melakukan perkataanmu!” Pria itu ber
Rinjani tersipu, sementara Jagat hanya diam, matanya menatap Rinjani dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara syukur atau beban harus bertunangan dengan perempuan yang baru dia kenal."Jadi, kapan acara tunangannya?" tanya Ibu Jagat bersemangat.Rinjani tersenyum. "Bagaimana kalau minggu depan? Sederhana saja, di sini jika Tante, tidak bisa keluar rumah sakit."Ibu Jagat mengangguk antusias. "Nggak boleh. Ini kan acara pertunangan kalian, masa di rumah sakit. Nanti orangtua kamu nggak setuju, mengiranya Jagat nggak serius.”“Nggak begitu, Tante. Orangtua saya pasti akan menerima saja kok. Apalagi kondisinya memang memaksa.”“Iya, Ma. Nanti nikahannya bisa dibuat agak besar kalau mama sudah sembuh.”Ibu Jagat masih terlihat enggan dia menatap ke arah suaminya.Ayah Jagat menghela napas. "Papa akan coba bicara sama dokternya, tapi kalau dokternya nggak ngasih mama izin, kita harus tetap mengadakannya di sini, oke? Tenang saja nanti papa yang bantu bicara ke orangtua Rinjani."Rinjani
Tetapi, Brama bukan orang yang bisa melepaskan semua hanya untuk emosi sesaat. Mengingat semua tujuannya, Brama kembali menahan dirinya. “Ayo, papa sudah nunggu kita, Bram.”Kiara menarik Brama menjauh dari sana. Brama menghela napas gusar. “Besok kita bicara di kantor!”“Hmm.”Udara di antara mereka terasa semakin tegang. Rinjani bisa merasakan panas dari tatapan Brama, tapi dia juga merasakan ketegangan di bahu Jagat sudah pasang badan di depannya.Brama pergi meninggalkan Rinjani di sana bersama Kiara. Rinjani menghembuskan napas panjang.“Kita pergi?” tanya Jagat.Jagat mengangguk, lalu dengan sengaja meletakkan tangan di punggung Rinjani, membimbingnya pergi.Saat mereka sudah cukup jauh, Jagat menghela napas. "Kamu baik-baik saja?"Rinjani mengangguk, tapi senyumnya terlihat terpaksa. "Aku nggak papa. Maaf, membuat kamu terseret masalah ini.”Jagat memandangnya dengan serius. "Its okay. Aku nggak masalah. Masih ... sulit melihat dia sama perempuan lain?”Rinjani tertegun.
"Rin?" Jagat memanggil, memecah lamunannya. “Are you okay?”Rinjani menghela napas dalam-dalam. "Aku baik-baik saja, maaf sedikit melamun tadi. Aku gugup,” dustanya.Tapi hatinya berbicara lain. Setiap langkah mendekati hole ke-9 terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca."Pak Hendra!" sapa Jagat dengan ramah saat mereka tiba di lokasi.Seorang pria berbadan tegap berbalik, wajahnya langsung berseri. "Jagat! Akhirnya kamu datang juga!"Mereka berjabat tangan erat."Ini Rinjani, orang yang mau ketemu Bapak,” perkenalkan Jagat.Rinjani menyodorkan tangannya. "Senang bertemu dengan Anda, Pak Hendra.""Ah, halo. Jagat sudah menceritakan tentangmu. Dari Abiyasa Grup, kan? " ujar Hendra sambil tersenyum. "Ayo kita bicara sambil jalan."Mereka mulai berjalan menyusuri lapangan. Rinjani mengeluarkan proposal dari tasnya, menjelaskan dengan lugas rencana proyek mereka."Untuk harga, ini jumlah yang bisa kami berikan untuk bapak, tapi bapak tenang saja, semuanya setelah itu akan tim kami
"Tunggu," Rinjani tiba-tiba menyela. “Jangan dulu, biar aku usahakan sendiri dulu saja.”Jagat tertawa pendek. "Memangnya kenapa? Aku senang bisa membantu." Matanya menatap Rinjani. "Lagipula, Pak Hendra masih sedikit hutang sama aku. Jadi ini win-win solution."Rinjani mengerutkan kening. "Hutang?""Hmm, aku pernah membantunya menyelesaikan masalah perusahaannya, aku juga pernah membantunya waktu hampir pailit, jadi dia akan lebih mendengarkanku dibanding kamu yang belum dia kenal," jawab Jagat santai, seperti itu hal sepele. "Jadi tenang saja, aku nggak keberatan."Radit menyikut lembut lengan kakaknya. "Dengerin tuh, Kak. Jagat aja nggak masalah! Koneksi itu dimanfaatkan "Rinjani menatap kedua pria itu bergantian. Dadanya terasa sesak oleh perasaan aneh—antara bersyukur dan tidak enak hati."Terima kasih ....”“Sama-sama. Itu Cuma hal kecil saja untukku, kamu nggak perlu merasa segan.” Karena dia sudah menerimanya, Rinjani memutuskan untuk menggunakan cara lain untuk berterim
***“Woi, Kak. Mikirin apa? Bengong saja dari tadi. Itu sampai laptop yang nontonin kakak!”Radit menepuk pundak Rinjani pelan menyadarkan Rinjani dari lamunannya. Rinjani tersentak kaget. Dia masih memikirkan kalimat yang diucapkan Jagat tadi sehingga dia sama sekali tidak fokus."Kak, ini apa sih?" Radit mengintip dari balik bahu Rinjani, matanya menyapu dokumen yang terpampang di layar laptop.Rinjani menghela napas, jari-jemarinya masih menari di atas keyboard. "Rencana bisnis baru. Aku harus menyelesaikan ini secepatnya, biar ada banyak waktu untuk ketemu sama penanggung jawabnya. Susah banget menghubungi yang nge-handle lahan itu."Radit mengerutkan kening, lalu membaca nama di bagian penanggung jawab proyek. "Hold on... ini kan Pak Hendra? Jagat kenal baik sama dia, lho!"Rinjani berhenti mengetik. "Jagat?” Kenapa nama laki-laki itu lagi? Apa belum cukup dia membuat Rinjani sakit kepala memikirkan pertemuan pertama mereka."Iya! Mereka satu klub golf. Jagat juga pernah m