EPISODE 2
KABUR
❤❤❤
Francesca menengadahkan wajahnya, ketika mendengar suara kunci membuka pintu. Tampaknya dia tidak sendirian di tempat ini.
Di balik pintu itu, ada seseorang yang mungkin mengetahui bagaimana dia berada di tempat ini. Sorot mata gadis itu penuh harap memandang pintu yang mulai terbuka perlahan.
Dengan secepat kilat, Francesca turun dari tempat tidurnya berlari mendekati pintu. Hatinya sudah dipenuhi dengan rencana. Dia akan menerobos keluar dari ruangan pengap ini, begitu pintu terbuka.
Langkahnya terhenti disaat pintu terbuka dan muncul sosok tubuh gagah yang tingginya sama dengan pintu. Dia menengadahkan wajah perlahan menatap sosok yang berdiri menghalangi jalan keluarnya.
Mata Francesca mengerjap berusaha melihat siluet wajah yang terhalang sinar matahari dari belakang tubuh pria itu. Dia tidak dapat melihat jelas raut wajah lelaki tersebut. Namun, saat ini yang dapat dia rasakan adalah aura dingin mematikan terpancar dari sekujur tubuh sosok di pintu itu.
Hawa dingin berhembus dari pintu yang terbuka, membuat Francesca menggigil. Tidak ada salju di luar sana, tapi dapat dia rasakan hawa dingin ini menusuk. Suhu udara saat ini mencapai 5°C.
Francesca berjalan mundur ketika pria itu perlahan bergerak maju, mendekat ke arahnya tanpa suara dan dengan gerakan yang dominan . Tubuh pria itu tak lebih besar atau pun lebih tinggi daripada daddy Andrew. Hal itu dia pastikan ketika pria tersebut berjarak tiga langkah darinya. Pintu tersebut terlampau kecil untuk sosok pria tersebut.
Dan ketika sosok tubuh pria itu berada didekatnya, Francesca dapat melihat dengan jelas wajah tampan dengan guratan tegas dan sorot mata dinginnya. Dia mengerjapkan mata berusaha mengingat raut wajah tersebut.
Lelaki itu adalah pria yang sama yang dia temui di Opera. Pria yang terakhir kali dia lihat sebelum tersadar berada di kamar dingin dan pengap ini. Kenapa dia berada ditempat ini. Rasa penasaran mengalahkan kegelisahan hatinya.
"Tuan ... Anda disini? Tolong bawa saya keluar. Tempat ini dingin sekali dan menyeramkan." pinta Francesca dengan memelas.
"Keluar?" Nada suara pria itu tak kalah dingin dari tatapan matanya.
"Iya, Tuan. Bagaimana anda bisa menemukan saya disini? Sa--ya sendiri tidak tahu bagaimana bisa berada disini," ujarnya dengan tersendat ketika menyadari bagaimana mata itu menatapnya penuh kebencian.
Pria itu tak bergeming berdiri di hadapan Francesca. Tubuhnya mengahalangi pintu keluar dan angin dingin yang berhembus. Francesca bisa merasakan jika tubuh pria itu mengeluarkan hawa panas, yang sedikit mengantarkan kehangatan.
Namun, sorot mata itu tampak menyeramkan, menatapnya seakan hendak mencabik-cabik seluruh tubuhnya. Mata seekor binatang buas yang hendai menandai mangsanya. Meneliti dan bersiap mengambil kesempatan disaat buruannya lengah.
Tanpa sadar Francesca mundur selangkah lagi.
Gadis itu melirik ke arah pintu keluar, yang terbuka lebar di belakang tubuh lelaki dingin menyeramkan itu. Dia tahu itu satu-satunya pintu yang bisa mengantarnya keluar dari ruangan ini. Dan dia harus mengambil kesempatan itu saat ini juga. Dengan atau tanpa pertolongan pria dingin ini.
Francesca kemudian berlari menuju ke arah pintu, bermaksud mengitari tubuh pria tersebut. Namun, gerakannya kalah cepat dengan langkah lebar pria itu. Kembali tubuh besar dan panas tersebut menghalangi langkah kakinya.
Pria tersebut tiba-tiba sudah berdiri menjulang di hadapannya, jarak mereka hanya tinggal setengah langkah kaki.
Gadis itu mundur dengan tubuh yang bergetar ketakutan. Pria itu memang tidak mengatakan apapun, tetapi sikapnya sudah terlampau mengerikan. Dia seakan tidak ingin Francesca keluar. Terbersit perasaan yang mengatakan jika keberadaannya di tempat ini, dikarenakan pria aneh tersebut.
Francesca mundur lagi dengan perlahan hanya untuk mengambil ancang-ancang untuk berlari lagi ke arah pintu keluar. Namun pria itu dengan sigap dan hanya dengan satu tangan saja dia menahan tubuh Francesca. Tangan itu melingkar di perut Francesca dan mendorong gadis itu dengan kasar dan sangat keras.
"Arkhh!"
Gadis itu memekik keras ketika tubuhnya terbentur tangan kokoh yang kemudian mendorongnya dengan kuat. Tubuhnya terhuyung ke belakang dan membentur tiang kayu tempat tidur, amat sangat keras.
Dia merasakan rasa sakit di punggung. Benturan itu cukup keras. Francesca meringis kesakitan sambil menatap bingung ke arah pria itu. Kenapa lelaki itu begitu kasar dan membenci dirinya.
"Tuan! Kenapa anda berbuat seperti ini?!" tanyanya tak mengerti.
Seringai di wajah pria itu tampak menyeramkan. Mata biru yang seharusnya tampak indah, sexy dan menghanyutkan bersinar dengan tajam membuat Francesca meringkuk ketakutan.
Mata saphire itu berkilau bagaikan mata binatang buas yang sedang mengincar mangsanya. Mata buas yang sedang mengawasi sosok tubuh lemah di hadapan.
"Tempat ini akan menjadi ruangan terakhir seumur hidupmu!"
Pria itu mengucapkan perkataan yang membuat Francesca menjadi terpaku bingung. Ruangan terakhir seumur hidupnya. Apa maksud pria asing ini. Kenapa dia harus berada disini seumur hidup. Ini bukan hal yang dia pernah bayangkan, bukan bagian dalam rencana masa depannya.
"Tuan, saya tidak mengerti. Tapi, kenapa saya harus berada disini? Saya harus pergi. Rombongan orchestra pasti menunggu saya," ucapnya tegas menentang.
"Kau tidak akan kemanapun. Kau akan tinggal di sini seumur hidupmu!"
"Tapi kenapa?" Francesca mengernyitkan keningnya.
"Karena kau harus menebus dosa-dosamu, Caroline!"
Francesca menatap pria itu heran. Bisa dia yakini jika pria di hadapannya sedang berhalusinasi. Bagaimana mungkin dia memanggil Francesca dengan nama wanita lain yang tidak dia kenal.
Francesca menghembuskan nafas lega, karena pria tersebut ternyata salah orang. Dia hanya perlu menjelaskan dan menyakinkan, jika dirinya bukan wanita yang dimaksud oleh pria itu.
"Anda salah, Tuan. Nama saya Francesca. Francesca Knight. Bukan Caroline," ujarnya menyakinkan.
"Kau adalah Caroline! Sebagaimanapun kau mengganti identitas dirimu dan mengoperasi wajah menjadi lebih muda, tapi kau tetap Caroline! Wanita yang aku benci seumur hidupku!" Suara Enrico terdengar berapi-api mengucapkan kalimat itu.
Senyuman yang awalnya mengembang di wajah Francesca menjadi tercekat. Pria di hadapannya ini telah dibutakan oleh kebencian terhadap wanita bernama Caroline. Dan dia bahkan tidak bisa menerima jika Francesca bukanlah wanita yang dia maksud. Bagi dia Francesca adalah Caroline.
Francesca menyadari hal itu. Sia -sia saja dia menyakinkan pria itu. Dia harus pergi keluar sekarang juga, sebelum pria ini semakin menggila.
Dia beringsut perlahan sambil menggenggam biola di tangan kirinya. Dia mencari celah saat pria itu lengah, namun mata dingin itu seakan membeku hanya tertuju ke arah dirinya.
Kembali Francesca berlari dengan cepat memutar, menghindari tubuh pria itu, memberi akses lebar agar dirinya tidak bisa dijangkau dengan mudah. Tetapi Francesca salah! Kini kedua tangan pria itu sudah menahan dirinya. Dengan sangat mudah, pria itu memanggul tubuh Francesca dan melemparkan dengan keras keatas masur yang keras.
"Argh!" Gadis itu kembali memekik.
Pria besar itu sekarang mengurung dirinya dengan kedua lengan kokoh di kedua sisi tubuhnya. Francesca bergidik ketakutan saat merasakan tubuhnya terkunci. Bahkan kedua kakinya sudah tidak bisa begeming karena himpitan keras dari kedua paha pria itu.
Wajah tampan itu begitu menyeramkan di hadapan Francesca. Pria itu menatapnya dengan sorot mata yang dingin dan seringai yang mengerikan.
Franceca melayangkan tangannya hendak mendorong pria itu, tapi kembali dengan mudahnya dia menangkap kedua tangan Francesca dan mengunci di kedua sisi. Paha pria itu semakin kuat menghimpit kaki Francesca, sehingga dia kesulitan untuk memberontak.
"Tuan! Anda salah orang! Saya bukan Caroline. Saya Francesca dan kita hanya bertemu sekali sebelumnya bukan? Anda tuan Enrico bukan? Tolong lepaskan saya. Saya tidak mengenal Caroline. Tolong lepaskan saya," ujar Francesca dengan suara bergetar.
Pria itu tersenyum. Dia kemudian mengunci kedua tangan Francesca di atas kepala gadis itu dan memegang dengan sebuah tangan besarnya. Tangan kiri pria itu membelai wajah Francesca. Bisa dia rasakan hawa hangat tangan itu di permukaan kulitnya yang kedinginan. Francesca memalingkan wajah, ketakutan merasakan sentuhan tangan yang mengintimidasinya.
Pria bernama Enrico itu menjadi marah dengan penolakan Francesca, dia kemudian mengarahkan tangan kirinya mencengkeram leher Francesca. Menekan di sana hingga gadis itu kesulitan bernafas. Francesca melotot, meronta, menggoyangkan kepalanya berusaha melepaskan tangan yang masih mencengkeram lehernya.
"Kau pikir aku tertarik padamu?! Aku akan memastikan kau menderita seumur hidupmu! Jika pun kau bukan Caroline, maka merataplah pada nasibmu yang memiliki wajah serupa dengan wanita jalang itu! Tapi aku yakin, kau memiliki dna yang sama dengan wanita itu!"
Enrico melepaskan cengkeramannya pada leher Francesca. Gadis itu terbatuk-batuk ketika merasakan kembali udara melesak masuk kedalam rongga pernafasannya. Masih terasa sakit cengkeraman pria itu di lehernya. Tubuhnya terasa lemas dengan intimadasi dan himpitan pria kasar tersebut.
"Merataplah disini dan nikmati kamar pengap ini seumur hidupmu."
Enrico terkekeh dan melepaskan cengkeramannya. Dia beranjak mundur hendak turun dari tempat tidur. Saat itu juga dengan cepat kaki Felicia yang terlatih, menendang kuat organ intim pria itu dengan sekuat tenaga.
Tendangan Francesca yang kuat mampu membuat pria tersebut tersungkur kesakitan, sambil menekuk tubuhnya dan memegang organ intim yang ditendang gadis itu . Dia menatap dengan mata nanar melihat kepergian Francesca yang dengan cepat menuruni tangga.
"Dasar Jalang!" gerutu pria itu tertahan masih dengan tetap meringkuk kesakitan.
Dengan susah payah Enrico berusaha bangun meskipun rasa ngilu dan nyeri masih terasa kuat. Dia berjalan dengan sempoyongan menuruni tangga batu.
"Gadis Liarr! Jangan harap kau bisa kabur dariku!"
ini adalah sequel dari kisah Novel Hidupku Bersana Ceo.
Cek i* taurusdi_author untuk karya lainnya
Gadis itu berlari menuruni tangga yang melingkar dengan cepat. Dia tidak memperhatikan jika selain kamar pengap yang dia tempati sebelumnya, ruangan di luar sangat mewah.Tangga batu yang dia turuni dari atas menara berubah menjadi marmer indah di lantai selanjutnya. Anak tangga yang saat ini dia turuni dengan cepat tersebut terbuat dari marmer Italily kualitas nomor satu. Pikirannya hanya tertuju pada akhir dari anak tangga, yang ingin segera dicapainya, agar dapat menemukan jalan keluar. Pergi jauh dari rumah dan pria sakit jiwa itu. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, khawatir jiia pria itu menyusul sebelum dirinya sempat menyentuh anak tangga. Suara teriakan marah dari Enrico membuat Francesca gugup. Gadis itu terkejut mendengar langkah kaki yang cepat menuruni tangga, hingga disaat anak tangga terakhir dia capai
Gadis itu masih terdiam kaku untuk sesaat. Kakinya terasa tak bertenaga dan sukar digerakan. Apalagi hawa dingin yang teramat sangat, membuat aliran darah menjadi sedikit lambat mengaliri kakinya. Sesaat kemudian ... dia merasakan otot-otot tubuhnya sudah mulai melemas dan bisa bergerak. Francesca berusaha menopang tubuhnya yang gemetaran oleh rasa dingin dan takut. Dia adalah gadis yang tumbuh di daerah panas. Hawa dingin 5°C ini terasa sangat membekukan bagi tubuh mungilnya. Francesca dengan sisa kekuatan melihat ke sisi tempat tidur, mencari kain tipis yang sebelumnya menutupi tubuh. Rasa lapar dan haus mengalahkan rasa lelah dan dingin yang dia rasakan. Kain tipis itu tak mampu membantu mengusir hawa dingin yang dia rasakan. Apalagi dinding-dinding batu
Malam sudah bergulir diterpa oleh cahaya mentari pagi. Kegelapan sirna digantikan dengan terang. Udara dingin sedikit demi sedikit mulai menghangat akibat sinar matahari yang muncul di ufuk timur. Suara deburan air laut terdengar samar-samar. Alam semesta tampak begitu indah. Enrico terbangun dengan tubuh segar dan perasaan bahagia. Dia membuka jendela dan memandang deburan air laut sambil tersenyum lebar. Hembusan angin laut yang dingin dan kering, dia terima dengan sukacita. Hari ini, dia akan melemparkan sebuah kenyataan kepada Fransisca. Enrico tertawa membayangkan raut wajah gadis cantik itu jika membaca berkas yang dia terima. Tentu saja dia pasti akan shock. Semua ini bermula dengan pertemuan pertamanya dengan Francesca di gedung Opera. Pertemuan itu menguak luka masa lalu dan membuat bara dendam muncul kembali. Enrico mul
Francesca meringkuk menahan lapar dan dingin yang semakin menusuk. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan hawa yang dingin. Udara dingin menusuk meskipun tidak ada salju. Francesca yang dibesarkan di udara pantai yang tropis, membuatnya kesulitan beradaptasi dengan dingin. Sudah tiga hari dia kelaparan. Hanya air payau dan segelas teh hangat di pagi hari yang membuat gadis itu bertahan. Matanya lapar tertuju pada seonggok roti yang ada dilantai. Roti yang sudah mulai berjamur dan kotor. Dia sengaja membiarkan roti itu tetap di lantai. Supaya Enrico tidak menghina dirinya dengan menuduh menikmati makanan sampah. Dalam keadaan kelaparan pun, harga diri tetap di junjung tinggi. Sepanjang hari yang dapat dia lakukan hanyalah menggesek biola dan memanjatkan doa. Francesca yakin Tuhan itu ada. Seperti
Gadis malang itu terbaring lemah diatas tempat tidur. Wajahnya sudah mulai berwarna, tidak sepucat seperti beberapa hari sebelumnya. Cairan infus itu tampaknya berhasil memberikan asupan makanan dalam tubuhnya. Sudah dua hari Francesca tidak sadarkan diri. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Setiap hari seorang pelayan membersihkan tubuh gadis itu dan mengoleskan air madu di bibir Francesca yang pecah-pecah. Kini bibirnya merona alami kembali. Tuhan itu memang ada. Dia mendengarkan jeritan hati dan doa Francesca, dengan mengirimkan Leonardo untuk menyelamatkan gadis itu. Setidaknya saat ini gadis malang yang masih terbaring lemah, sudah berada di ruangan yang lebih baik dan mendapatkan perawatan. Hampir setiap saat setelah kembali dari lada
Gemercik suara air dari pancuran, mengguyur tubuh Francesca. Ini air hangat pertama yang dia rasakan mengaliri kulitnya, setelah tujuh hari terkurung di kediaman Enrico. Francesca menikmati aliran air yang membasuh tubuhnya dengan penuh syukur. Sudah tujuh hari, gadis cantik itu tidak mandi. Tubuhnya yang berangsur membaik, membuat dia memaksakan diri untuk mandi. Francesca menggosok seluruh tubuh, membuang kulit kering yang sudah mulai mengelupas. Hawa dingin di pulau ini membuat kulitnya menjadi kering.Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dibawah aliran air hangat, Francesca mengeringkan tubuhnya. Dia mengenakan bathrobe sebelum keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih menggulung di atas kepala. Francesca duduk di depan meja rias, mematut dirinya. Mata dan pipinya tampak mulai cekung. Tapi it
Francesca Tin ... tin ... tinnnn .... Sebuah klakson mobil golf mendekat, Enrico disana, dibalik kemudi sambil menyeringai dingin kearah Francesca. Langkah kaki gadis itu terpaku di depan gerbang dengan pandangan lekat ke arah Enrico yang semakin mendekat. Dia mengerti sia-sia saja menghindari predator buas dihadapannya. Mobil golf yang di kendarai Enrico, behenti tepat dihadapan Francesca. Moncong kendaraan itu menempel pada kaki gadis itu. Francesca secara reflex mundur satu langkah ke belakang. Dengan tubuh yang gemetaran, gadis itu memaksakan senyuman kaku di wajahnya. "Tuan---" "Kau henda
francesca Leonardo membawa masuk Francesca kembali kedalam kamar. Dia mendudukan gadis itu ke tempat tidur, kemudian menyalakan pemanas ruangan. Pria itu berusaha menenangkan Francesca dengan duduk disisinya. Penuh kelembutan, Leonardo menyentuh tangan Francesca. Gadis itu terkejut merasakan sentuhan Leonardo. Spontan saja dia menarik tangannya. Francesca mendekap kedua tangannya di dada dan menjepit dengan kedua lutut. Leonardo tidak marah, dia malahan tersenyum hangat sambil memegang pipi Francesca. "Jangan takut padaku. Lihat kulitmu sangat dingin sekali," ucapnya penuh kelembutan. Francesca memiringkan kepalanya, menghindari sentuhan Leonardo.
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert