Gadis malang itu terbaring lemah diatas tempat tidur. Wajahnya sudah mulai berwarna, tidak sepucat seperti beberapa hari sebelumnya. Cairan infus itu tampaknya berhasil memberikan asupan makanan dalam tubuhnya.
Sudah dua hari Francesca tidak sadarkan diri. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Setiap hari seorang pelayan membersihkan tubuh gadis itu dan mengoleskan air madu di bibir Francesca yang pecah-pecah. Kini bibirnya merona alami kembali.
Tuhan itu memang ada. Dia mendengarkan jeritan hati dan doa Francesca, dengan mengirimkan Leonardo untuk menyelamatkan gadis itu. Setidaknya saat ini gadis malang yang masih terbaring lemah, sudah berada di ruangan yang lebih baik dan mendapatkan perawatan.
Hampir setiap saat setelah kembali dari ladang zaitun, Enrico datang ke kamar ini untuk melihat keadaan Francesca. Dia memandang gadis itu dalam diam. Enrico berdiri dengan bersandar pada dinding, sementara sorot matanya masih dingin menatap tajam pada sosok tubuh yang terbaring lemah itu.
Kali ini dalam diam, dia menindai raut wajah Francesca. Melihat setiap guratan wajah dan mengingat semua expressi yang masih terukir dalam otaknya. Gadis ini memang serupa dengan Caroline, namun gaya dan kepribadian mereka berbeda.
Hanya saja ... Enrico menolak untuk menerima kenyataan jika mereka berdu berbeda. Keinginan untuk membalas dendam membutakan akal pikiran, juga kesadaran akan kenyataan. Melihat sosok wajah yang serupa dengan Caroline, wanita yang sudah mencerai beraikan keluaganya, Enrico menjadi buta hati
Sayang sekali saat dirinya memiliki kekuatan untuk membalas dendam, wanita itu sudah meninggal. Dan Enrico membenci dirinya yang terlambat bertindak. Semua impian dan angan yang dia rasakan, saat ini ingin ditumpahkan sepenuhnya pada wanita dihadapannya yang memiliki wajah serupa dengan Caroline. Wanita yang berbagi dna. Anak kandung Caroline.
"Kau sudah disini?"
Enrico menoleh kearah asal suara dan dia melihat Leonardo sudah berdiri disisinya. Enrico terlalu larut dalam angannya, hingga tidak menyadari kehadiran adik laki-lakinya. Adik yang selalu dia jaga.
"Hmmm ...."
"Dia cantik bukan?" gumam Leonardo.
"Cantik? Heh! Cantik tapi jalang!" dengus Enrico tidak terima.
"Aku rasa dia berbeda dengan Caroline."
"Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya."
"Mungkin. Tapi jika buah itu dirawat oleh manusia yang lebih baik, bisa jadi karakter dan rasanya berbeda, bukan." ujar Leonardo sambil tersenyum.
"Aku rasa kau tahu itu, kau bisa mengubah zaitun jelek menjadi produk unggulan," sambung Leonardo lagi sambil menatap kearah wajah kakaknya.
Rahang Enrico mengeras. Pria itu menutup bibirnya dengan rapat. Meskipun dia mengakui kebenaran perkataan Leonardo, tapi enggan rasanya mengakui hal itu. Enrico yakin, jika Francesca tidak jauh berbeda dengan Caroline. Apalagi keduanya sama-sama keras kepala.
"Dia sudah sadar."
Enrico memecahkan kecanggungan diantara mereka. Dia melihat bagaimana mata Francesca mulai bergerak-gerak. Jemari tangan gadis itu mulai sedikit bergetar dan kepalanya pun bergoyang. Francesca mulai terjaga dari tidur panjangnya.
Kornea matanya terasa sakit ketika dia memaksa membuka mata. Francesca mengerjapkan mata dan membukanya perlahan. Menerima siluet cahaya sedikit demi sedikit, hingga matanya menjadi terbiasa, tidak menyilaukan. Dia menenangkan diri agar rasa pusing yang dirasakan perlahan memudar.
Francesca memandang langit-langit kamar. Sesuatu berbeda dari pemandangan yang biasa dia lihat, membuat dirinya menjadi sangat heran. Ruangan ini terasa jauh lebih nyaman dan hangat. Amat sangat berbeda dengan penjara berdinding batu, tempatnya terkurung.
'di manakah aku?'
Cat di dinding kamar berwarna pastel yang lembut. Pencahayaan terang membuat dirinya merasa hidup. Bau wangi aromatherapi masuk perlahan dalam indera penciumannya. Belum lagi ketika dia merasakan kasur tempatnya berbaring, begitu empuk dengan sprei berkualitas yang sangat lembut.
Francesca terhenyak. Dia masih bingung antara mimpi dan kenyataan. Saat ini dia tidak bisa membedakan apakah dirinya sedang hanyut dalam alam mimpi ataukah ... penjara dalam ruangan dingin dan lembab itu adalah mimpi nya? Apakah saat ini dia sudah berada dalam dunia nyata? Francesca memegang kepalanya yang mulai terasa pusing.
Perlahan gadis itu menarik tubuhnya dan duduk merapat ke sandaran tempat tidur. Dia masih menundukan kepala sambil membenahi posisi duduk. Saat merasa lebih nyaman, dia mengangkat kepala dan terkejut melihat apa yang ada dihadapannya kini.
''Apa mau mereka di sini?'
Dua sosok pria berdiri menjulang tepat di hadapan, arah dimana kakinya berselonjor. Tatapan mata kedua pria itu tertuju lekat pada dirinya. Francesca tidak dapat melepaskan arah matanya tertuju dari magnet dingin tatapan mata Enrico. Gadis itu bahkan tidak bisa menangkap senyuman ramah dari wajah Leonardo.
Perlahan dia beringsut menjauh, meskipun posisi tubuhnya sudah sangat rapat di sandaran tempat tidur. Dengan tubuh yang masih lemah, dia berusaha menghindari Enrico. Tampak sekali jika gadis itu masih takut pada Enrico.
"Jangan takut, Gadis manis. Kau baik-baik saja disini."
Francesca menoleh kearah suara yang terdengar lembut di sampingnya. Entah sejak kapan Leonardo sudah berada disisi kiri tempat tidur. Francesca bisa melihat jika pria ini tampak jauh lebih ramah dan lebih baik daripada Enrico.
"Kau masih ingat padaku, bukan? Aku Leonardo. Bagaimana keadaanmu saat ini?"
Francesca tidak mengindahkan perkataan Leonardo. Bagaikan seekor mangsa yang terjebak diantara pemburu, dengan gelisah ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari jalan keluar. Sesekali matanya tak luput menatap ke arah Enrico. Dia berjaga-jaga jikalau makhluk buas dengan mata dingin itu kembali mendekati dan bersikap kasar.
"Jangan takut. Ada aku disini. Kau bisa tenang." suara lembut Enrico kembali terdengar.
"Aku ... bagaimana aku bisa disini?" tanya Francesca lirih.
Leonardo tersenyum, akhirnya gadis ini membuka suara. Dia pasti kebingungan karena berada di tempat yang berbeda ketika sadar.
"Aku menemukanmu terbaring sakit dan menggigil kedinginan."
Francesca menatap Leonardo. Menemukan? Bukankah pria ini adalah orang sama yang bersama dengan Enrico, disaat mereka bertemu di Opera House. Saat dimana mereka mengaku sebagai penggemar, hingga akhirnya Francesca hilang kesadaran dan terbangun dalam penjara dinding batu.
"Bagaimana perasaan mu? Apa ada yang sakit?" Leonardo bertanya kembali.
"Aku__ aku merasa__ lebih baik," ucapnya terbata-bata.
"Bagus kalau begitu. Mari aku bantu untuk minum air putih."
Leonardo mendekatkan segelas air putih ke bibir Francesca. Gadis itu menggapai gelas air putih itu, memilih meminumnya sendiri. Rasa dingin dan segar mengalir di kerongkongannya, membuat rasa kering yang awalnya menguasai mulut, menjadi sirna dengan perlahan.
Air putih itu mengalir perlahan hingga habis. Dari balik gelas air putih itu, Francesca mecuri pandangan kearah Enrico yang masih diam bagaikan patung.
"Aku akan memanggil pelayan untuk membuatkan mu sup. Kau pasti sangat lapar sudah lima hari tidak makan apapun." ucap Leonardo dengan lembut setelah segelas air putih dihabiskan oleh Francesca.
Gadis itu diam tidak menanggapi perkataan Leonardo. Dan disaat Leonardo akan keluar, pria itu berdiri dihadapan Enrico. Dari tatapan matanya, Enrico tahu maksud Leonardo.
"Okey ... okey, aku akan keluar. Aku tidak akan mengganggu dirinya. Toh dia masih terlalu lemah untuk menjadi mainanku saat ini." Enrico melengos dengan acuh.
Sebelum keluar, pria dingin itu sempat menyeringai kearah Francesca. Senyuman tidak bersahabat yang tampak di wajah Enrico, seakan menyampaikan pesan jika dirinya akan kembali dalam bahaya. Francesca meremas pinggiran sprei dengan keras.
❤❤❤❤❤❤❤
Follow i* author di @taurusdi_author
Gemercik suara air dari pancuran, mengguyur tubuh Francesca. Ini air hangat pertama yang dia rasakan mengaliri kulitnya, setelah tujuh hari terkurung di kediaman Enrico. Francesca menikmati aliran air yang membasuh tubuhnya dengan penuh syukur. Sudah tujuh hari, gadis cantik itu tidak mandi. Tubuhnya yang berangsur membaik, membuat dia memaksakan diri untuk mandi. Francesca menggosok seluruh tubuh, membuang kulit kering yang sudah mulai mengelupas. Hawa dingin di pulau ini membuat kulitnya menjadi kering.Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dibawah aliran air hangat, Francesca mengeringkan tubuhnya. Dia mengenakan bathrobe sebelum keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih menggulung di atas kepala. Francesca duduk di depan meja rias, mematut dirinya. Mata dan pipinya tampak mulai cekung. Tapi it
Francesca Tin ... tin ... tinnnn .... Sebuah klakson mobil golf mendekat, Enrico disana, dibalik kemudi sambil menyeringai dingin kearah Francesca. Langkah kaki gadis itu terpaku di depan gerbang dengan pandangan lekat ke arah Enrico yang semakin mendekat. Dia mengerti sia-sia saja menghindari predator buas dihadapannya. Mobil golf yang di kendarai Enrico, behenti tepat dihadapan Francesca. Moncong kendaraan itu menempel pada kaki gadis itu. Francesca secara reflex mundur satu langkah ke belakang. Dengan tubuh yang gemetaran, gadis itu memaksakan senyuman kaku di wajahnya. "Tuan---" "Kau henda
francesca Leonardo membawa masuk Francesca kembali kedalam kamar. Dia mendudukan gadis itu ke tempat tidur, kemudian menyalakan pemanas ruangan. Pria itu berusaha menenangkan Francesca dengan duduk disisinya. Penuh kelembutan, Leonardo menyentuh tangan Francesca. Gadis itu terkejut merasakan sentuhan Leonardo. Spontan saja dia menarik tangannya. Francesca mendekap kedua tangannya di dada dan menjepit dengan kedua lutut. Leonardo tidak marah, dia malahan tersenyum hangat sambil memegang pipi Francesca. "Jangan takut padaku. Lihat kulitmu sangat dingin sekali," ucapnya penuh kelembutan. Francesca memiringkan kepalanya, menghindari sentuhan Leonardo.
"Arkhhhhh! Tidakkkk!" Francesca terbangun dari mimpi buruknya. Keringat membanjiri kening dan nafasnya tersenggal-senggal. Mimpi itu serasa nyata dan sungguh membuat dirinya ketakutan. "Kakak Conrad ...," desisnya perlahan, mengingat nama bocah lelaki yang muncul di mimpinya. Dalam keadaan tubuh yang masih gemetaran, perlahan Francesca mengingat kembali bagian puzzle masa lalu, kenangan masa kecilnya yang hilang. Dan hal itu membuat dirinya semakin tergoncang. Dalam keadaan batin yang masih syokk, Francesca begitu membutuhkan pelukan hangat Diana Stevani, wanita yang dengan penuh kasih membesarkan dirinya. Belum sempat dia menenangkan diri, terdengar suara mesin yang dihidupkan dan peluit panjang. Francesca tersentak. Suara peluit yang keras itu membuat dirinya tersadar akan sesua
Francesca terbangun ketika dia merasakan air dingin membasahi wajahnya. Gadis itu terkejut dan segera menegakkan tubuhnya. Dia beringsut merapat ke sandaran tempat tidur, saat melihat Enrico sudah berdiri dihadapannya dengan memegang gelas kosong.Pandangan mata biru Enrico terlihat sangat dingin, melebihi air es yang disiramkan ke wajah Francesca. Raut wajah pria itu tak terbacakan. Aura yang dipancarkan selalu menyalurkan hawa takut, setiap kali dia berada dihadapan gadis itu.Francesca dengan tangan gemetaran, mengusap air yang membasahi wajah, rambut depan dan sebagaian pakaian yang dia kenakan. Beruntung sekali, saat ini dirinya tidak dikurung diatas menara castle, jika tidak dapat dipastikan tubuhnya akan pucat pasi, menggigil kedinginan oleh air dingin yang disiramkan Enrico juga kehadiran pria itu."Bagun kau! Keluar dalam waktu lima menit!" Perintah Enrico dengan wajah datar.Pria itu kemudian keluar tanpa menunggu jawab
Francesca dengan kesusahan mengikuti langkah panjang kaki Enrico. Dia tidak tahu kemana pria itu membawanya, tetapi ketika gerbang bagian belakang terbuka, Francesca dapat melihat perkebunan yang sangat luas.Para pekerja tampak menggoyangkan pepohonan disana, sehingga buah zaitun berjatuhan di sebuah alas. Dan beberapa pekerja wanita mulai memisahkan buah zaitun yang bagus dari yang buruk. Langkah kaki mereka berhenti tepat dihadapan pekerja wanita yang sedang memilah."Buongiorno segnore," sapa para pekerja pada Enrico.Senyuman hangat mengembang dari wajah Enrico. Francesca terpana melihatnya. Pria dingin dan menakutkan itu, ternyata masih bisa menarik bibir dan membentuk lengkungan indah di wajahnya. Saat ini tidak nampak kekejaman di wajah Enrico, seperti yang biasa dia tunjukan pada Francesca.Enrico berbicara pada seorang pegawai disana. Dia menunjuk ke arah Francesca yang diikuti oleh anggukan pegawai tersebut. Tak lam
"Kau dekil dan bau! Cepat mandi! Lima menit! Lagi layani aku makan!"Francesca hanya bisa menghela napas. Ingin sekali dia membaringkan tubuhnya melepaskan penat, tetapi ia tahu, semua itu hanya akan menambah kemarahan monster bermata biru itu. Francesca melepaskan pakaian dan mandi dibawah pancuran air hangat. Sedikit meringis ketika merasakan tangannya yang perih. Tangan halus itu penuh goresan. Bukan saja karena luka ketika dia jatuh tersungkur, juga dikarenakan goresan ranting ketika memilah.Enrico tidak memberikan sarung tangan untuknya bekerja. Dan tak satupun pekerja yang berbelas kasihan dengan meminjaminya sarung tangan. Air mata menetes dengan deras bercampur dengan air pancuran yang membasuh dirinya."Satu menit lagi!" Gedoran keras di pintu kamar mandi, membuat gadis itu bergegas mematikan air dan mengeringkan diri. Tidak ada waktu bagi dirinya untuk mengeringkan rambut. Dia berpakaian seadanya dengan rambut basah yang
~Dalam kesesakan, Tuhan selalu dipertanyakan keberadaan-Nya.~ ❤❤❤Francesca memejamkan matanya dengan kepala yang sedikit menoleh ke samping. Dia bersiap menerima tamparan dari Enrico, akibat sudah meludahi wajah pria itu.Francecsa tersentak ketika tangan Enrico menyentuh wajahnya. Dia merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulit wajahnya, akibat sentuhan tangan Enrico.Francesca membuka mata dan melihat, bagaimana pria itu mengusap ludah di wajahnya kemudian mengoleskan ke wajah Francecsa. Seringai dan pandangan mata pria itu terasa aneh dan menakutkan bagi francecsa.Tiba-tiba saja wajah Enrico semakin mendekat padanya.
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert