Francesca
Tin ... tin ... tinnnn ....
Sebuah klakson mobil golf mendekat, Enrico disana, dibalik kemudi sambil menyeringai dingin kearah Francesca.
Langkah kaki gadis itu terpaku di depan gerbang dengan pandangan lekat ke arah Enrico yang semakin mendekat. Dia mengerti sia-sia saja menghindari predator buas dihadapannya.
Mobil golf yang di kendarai Enrico, behenti tepat dihadapan Francesca. Moncong kendaraan itu menempel pada kaki gadis itu. Francesca secara reflex mundur satu langkah ke belakang. Dengan tubuh yang gemetaran, gadis itu memaksakan senyuman kaku di wajahnya.
"Tuan---"
"Kau hendak melompat keluar gerbang, Kelinci kecil?" tanya Enrico mengolok.
"Ti--dak, Tuan," sahut Francesca terbata-bata.
Enrico diam menanti penjelasan gadis itu lebih lanjut.
"Saya hanya berjalan-jalan. Tanpa sadar sudah berada disini." Francesca penuh keraguan berusaha menyakinkan Enrico.
Francesca tidak tahu, apakah jawabannya itu sudah cukup beralasan, hingga tidak membuat pria dingin dihadapannya menjadi curiga. Bukankah dia mengatakan jika mengijinkan Francesca berjalan-jalan, asal tidak mencoba kabur.
"Heh ... anggap saja perkataanmu jujur. Sekarang berjalan ke arah timur!" perintah Enrico.
Francesca tampak kebingungan menentukan arah. Karena dia tidak mengerti keadaan disekitar sini, sedangkan matahari tepat berada di tengah-tengah. Gadis itu mencoba mengingat, saat dia masih berada di menara ketika melihat matahari terbit.
"Sana kan, Tuan--" dia menunjukan arah kanan di posisinya berdiri.
Enrico tidak menjawab, membuat Francesca memutuskan jika arah yang dia tunjukan benar. Dan gadis itu mulai melangkah ke arah kanan. Dia mengikuti jalanan setapak dengan berjalan perlahan. Sesekali Francesca menoleh kebelakang dan merasa heran dengan Enrico yang masih saja diam.
Area ini benar-benar sangat luas. Setelah beberapa saat melangkah pun, gerbang tersebut tidak nampak berujung. Sangat disayangkan sekali, Castle modern ini seharus nya indah dengan pemandangan pantai yang langsung terpampang, jika tanpa gerbang tinggi yang menghalangi pandangan.
Tin.. tinnn....
Klakson mobil golf terdengar keras dan mobil itu sudah meluncur disisi Francesca. Enrico berkali-kali membunyikan klaksonnya, membuat Francesca menjadi gugup.
"Jalan yang cepatttt! Jangan jadi siput!" Enrico berteriak membentak Francesca.
Gadis itu dengan segera melangkah lebih cepat. Disisinya mobil golf yang dikendarai Enrico menyejajari.
"Lebih cepat lagi!" teriak Enrico lantang.
Francesca mempercepat langkah kakinya.
"Cepatttt!"
Sesekali pria dingin itu memencet klakson, sehingga Francesca memutuskan untuk berlari kecil. Udara dingin dan tipis membuatnya merasa sesak nafas. Dia tidak tahan lagi, ketika nafasnya tercekat di tenggorokan. Francesca menghentikan larinya, membungkuk untuk mengambil nafas dalam-dalam, mengisi oksigen dalam tubuhnya.
Tin ... tinnnn ....
Francesca menoleh kearah Enrico dengan kesal. Dia melanjutkan langkah kakinya lagi. Tapi kali ini, Francesca berjalan dengan lebih perlahan. Dia tidak perduli jika Enrico kembali membentak. Tapi nyatanya, pria itu tidak melakukannya lagi.
Tanpa sadar dia sudah mengitari castle. Gerbang itu memang memutar mengelilingi castle. Francesca tidak dapat memperhatikan dengan jelas di mana pintu keluar gerbang tersebut. Sepajang dia mengitari gerbang itu, tidak ditemukan tanda-tanda pintu keluar. Keberadaan Enrico yang mengitimidasi benar-benar membuat dirinya panik.
Mereka kini kembali berada di depan pintu Castle. Bangunan kuno yang sudah dirombak interiornya menjadi modern, tidak membuat Francesca terkagum. Kali ini dia mengerti maksud Enrico membuat dirinya mengitari gerbang tersebut.
Tidak ada jalan keluar. Pintu keluar gerbang tersebut tersembunyi. Gerbang tinggi yang mengitari castle seakan menjadi tameng perlindungan dari serangan musuh. Mungkin dibalik gerbang itu ada walking dead dan hanya penghuni Castle ini yang manusia normal. Francesca bergidik menepis pikiran konyol itu.
"Kau mengerti sekarang, bukan? Tidak ada celah bagimu untuk berlari. Kau adalah tawananku." ejek Enrico sambil turun dari mobil golf menghampiri Francesca, yang masih terengah-engah karena kelelahan.
Dengan wajah memerah dan nafas yang masih terengah-engah, Francesca menatap Enrico penuh amarah.
"Aku bukan tawananmu! Daddy Andrew pasti akan menemukanku! Dia akan membawaku pergi dan menghancurkan dirimu!" sahut Francesca dengan berani. Wajahnya sudah memerah dan nafasnya tersenggal-senggal, menyuarakan kemarahan yang selama ini dipendam.
"Oh ya? Kita lihat saja nanti, apakah ayah angkatmu akan bisa menemukanmu," ejek Enrico dengan sinis.
"Dia pasti bisa menemukanku. Karena aku seharusnya setiap hari menghubungi mommy. Mommy saat ini pasti mencemaskanku," ucap Francesca dengan yakin.
"Hahahaha ... kau naif sekali, kelinci kecil. Naif." Enrico terkekeh dengan penuh ejekan.
"Aku tidak naif. Keluargaku adalah keluarga terbaik. Kami saling memperhatikan dan menyayangi. Tidak seperti dirimu yang hanya bisa bersikap dingin dan kasar pada seorang wanita. Apakah seperti ini orang tuamu mendidik?!" balas Francesca penuh emosi.
"Kau! Apa yang kau tahu tentang diriku!"
Enrico dengan marah berjalan cepat menghampir Francesca. Gadis itu sontak terkejut. Dia tidak sadar sudah berbicara kasar dan membangkitkan amarah predator. Pijakan kakinya yang tak stabil, membuat Francesca terjatuh. Dan disaat dia hendak bangun, Enrico menahan tubuhnya.
"Kau! Ingatlah! Selamanya, seumur hidupmu kau berada dibawah kakiku. Keluargamu tidak ada yang perduli lagi. Mereka membuang dirimu, karena kau hanya anak angkat. Kau anak Caroline!" ucap Enrico tegas dengan menekankan pada setiap kalimatnya.
"Cukup, Tuan! Hentikan halusinasimu! Aku bukan anak Caroline! Aku anak Andrew Knight. Aku bahkan tidak mengenal siapa itu Caroline. Kenapa tidak juga kau mengerti." sahut Francesca terengah-engah.
"Kau anak Caroline. Bukti yang aku berikan padamu, tidakkah membuat dirimu mengerti?" _________" Tujuh hari sudah kau berada disini, mana keluargamu? Manaaaa?!" Suara Enrico naik dua tingkat level.
Pria itu kemudian menunduk. Wajahnya hanya berjarak dua puluh centimeter dari Francesca, Enrico menyeringai.
"TIDAK ADA LAGI YANG MEMPERDULIKANMU!"
"Tidak. Kau bohong! Itu semua tidak benar. Mereka pasti akan menemukanku. Keluargaku menyayangiku. Mereka selalu menyayangi dan mendukungku. Aku tidak percaya kata-katamu. Aku anak Andrew Knight dan Diana Stevani." sahut Francesca. Gadis itu berusaha mempertahankan air matanya yang hendak bergulir jatuh.
"Kau anak Caroline. F R A N C E S C A .... F R A N C E S C A ...."
Raut wajah Francesca spontan menjadi pucat. Cara Enrico menyebutkan namanya terasa begitu mengerikan. Entah bagaimana dia merasa pernah mendengar lantunan suara yang sama, memanggilnya seperti itu. Pelan, lembut, tapi menakutkan.
Masih dengan terduduk, Francesca merayap mundur. Wajahnya pucat pasi sambil menatap ke arah Enrico. Pria itu terus memanggil namanya dengan nada mengerikan yang dia takuti. Francesca menutup telinganya dengan kedua tangan. Dia berteriak, menjerit pilu.
"Hentikan! Hentikannn! Jangan panggil aku seperti itu. Aku mohon hentikan!" gadis itu menjerit histeris. Dia terus berteriak-teriak agar Enrico berhenti memanggilnya seperti itu. Namun, pria dingin itu justru tertawa gembira melihat mangsanya ketakutan.
"Kenapa? Kau teringat sesuatu? Caroline memanggilmu dengan nada seperti itu? Kau ingat sekarang, bukan?" Enrico berjongkok dihadapan Francesca, meneliti raut wajah gadis itu.
"Tidak! Tidak! Aku tidak mengenal Caroline! Aku bukan anak Caroline! Hentikannn!" Jerit Francesca pilu.
"Kakak! Hentikan menyiksa dirinya." Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Leonardo sudah berada dibelakang Francesca.
"Aku tidak menyiksa dirinya. Kau lihat saja, apa ada bagian tubuhnya yang terluka?" Enrico berdiri sambil menggoyangkan tangannya.
"Kau membuat dia ketakutan."
"Aku hanya memanggil namanya, tiba-tiba saja dia histeris," Jawab Enrico acuh. Pria itu dengan tanpa perasaan menatap Francesca yang masih duduk di lantai sambil terisak. Enrico menyimpan kedua tangannya kedalam saku celana.
"Nona, mari aku bantu kau kembali ke kamarmu." Leonardo membimbing Francesca untuk masuk.
Kedua orang itu berjalan melewati Enrico tanpa suara. Leonardo sempat menoleh dengan tatapan mata mengintimidasi kakaknya. Tekatnya sudah bulat, dia akan membawa Francesca pergi dari Castle ini. Menjauh dari sikap buas dan dendam Enrico yang membara.
❤❤❤❤❤
Ikuti i* author yuk untuk info cerita lainnya.
@taurusdi_author
francesca Leonardo membawa masuk Francesca kembali kedalam kamar. Dia mendudukan gadis itu ke tempat tidur, kemudian menyalakan pemanas ruangan. Pria itu berusaha menenangkan Francesca dengan duduk disisinya. Penuh kelembutan, Leonardo menyentuh tangan Francesca. Gadis itu terkejut merasakan sentuhan Leonardo. Spontan saja dia menarik tangannya. Francesca mendekap kedua tangannya di dada dan menjepit dengan kedua lutut. Leonardo tidak marah, dia malahan tersenyum hangat sambil memegang pipi Francesca. "Jangan takut padaku. Lihat kulitmu sangat dingin sekali," ucapnya penuh kelembutan. Francesca memiringkan kepalanya, menghindari sentuhan Leonardo.
"Arkhhhhh! Tidakkkk!" Francesca terbangun dari mimpi buruknya. Keringat membanjiri kening dan nafasnya tersenggal-senggal. Mimpi itu serasa nyata dan sungguh membuat dirinya ketakutan. "Kakak Conrad ...," desisnya perlahan, mengingat nama bocah lelaki yang muncul di mimpinya. Dalam keadaan tubuh yang masih gemetaran, perlahan Francesca mengingat kembali bagian puzzle masa lalu, kenangan masa kecilnya yang hilang. Dan hal itu membuat dirinya semakin tergoncang. Dalam keadaan batin yang masih syokk, Francesca begitu membutuhkan pelukan hangat Diana Stevani, wanita yang dengan penuh kasih membesarkan dirinya. Belum sempat dia menenangkan diri, terdengar suara mesin yang dihidupkan dan peluit panjang. Francesca tersentak. Suara peluit yang keras itu membuat dirinya tersadar akan sesua
Francesca terbangun ketika dia merasakan air dingin membasahi wajahnya. Gadis itu terkejut dan segera menegakkan tubuhnya. Dia beringsut merapat ke sandaran tempat tidur, saat melihat Enrico sudah berdiri dihadapannya dengan memegang gelas kosong.Pandangan mata biru Enrico terlihat sangat dingin, melebihi air es yang disiramkan ke wajah Francesca. Raut wajah pria itu tak terbacakan. Aura yang dipancarkan selalu menyalurkan hawa takut, setiap kali dia berada dihadapan gadis itu.Francesca dengan tangan gemetaran, mengusap air yang membasahi wajah, rambut depan dan sebagaian pakaian yang dia kenakan. Beruntung sekali, saat ini dirinya tidak dikurung diatas menara castle, jika tidak dapat dipastikan tubuhnya akan pucat pasi, menggigil kedinginan oleh air dingin yang disiramkan Enrico juga kehadiran pria itu."Bagun kau! Keluar dalam waktu lima menit!" Perintah Enrico dengan wajah datar.Pria itu kemudian keluar tanpa menunggu jawab
Francesca dengan kesusahan mengikuti langkah panjang kaki Enrico. Dia tidak tahu kemana pria itu membawanya, tetapi ketika gerbang bagian belakang terbuka, Francesca dapat melihat perkebunan yang sangat luas.Para pekerja tampak menggoyangkan pepohonan disana, sehingga buah zaitun berjatuhan di sebuah alas. Dan beberapa pekerja wanita mulai memisahkan buah zaitun yang bagus dari yang buruk. Langkah kaki mereka berhenti tepat dihadapan pekerja wanita yang sedang memilah."Buongiorno segnore," sapa para pekerja pada Enrico.Senyuman hangat mengembang dari wajah Enrico. Francesca terpana melihatnya. Pria dingin dan menakutkan itu, ternyata masih bisa menarik bibir dan membentuk lengkungan indah di wajahnya. Saat ini tidak nampak kekejaman di wajah Enrico, seperti yang biasa dia tunjukan pada Francesca.Enrico berbicara pada seorang pegawai disana. Dia menunjuk ke arah Francesca yang diikuti oleh anggukan pegawai tersebut. Tak lam
"Kau dekil dan bau! Cepat mandi! Lima menit! Lagi layani aku makan!"Francesca hanya bisa menghela napas. Ingin sekali dia membaringkan tubuhnya melepaskan penat, tetapi ia tahu, semua itu hanya akan menambah kemarahan monster bermata biru itu. Francesca melepaskan pakaian dan mandi dibawah pancuran air hangat. Sedikit meringis ketika merasakan tangannya yang perih. Tangan halus itu penuh goresan. Bukan saja karena luka ketika dia jatuh tersungkur, juga dikarenakan goresan ranting ketika memilah.Enrico tidak memberikan sarung tangan untuknya bekerja. Dan tak satupun pekerja yang berbelas kasihan dengan meminjaminya sarung tangan. Air mata menetes dengan deras bercampur dengan air pancuran yang membasuh dirinya."Satu menit lagi!" Gedoran keras di pintu kamar mandi, membuat gadis itu bergegas mematikan air dan mengeringkan diri. Tidak ada waktu bagi dirinya untuk mengeringkan rambut. Dia berpakaian seadanya dengan rambut basah yang
~Dalam kesesakan, Tuhan selalu dipertanyakan keberadaan-Nya.~ ❤❤❤Francesca memejamkan matanya dengan kepala yang sedikit menoleh ke samping. Dia bersiap menerima tamparan dari Enrico, akibat sudah meludahi wajah pria itu.Francecsa tersentak ketika tangan Enrico menyentuh wajahnya. Dia merasakan ada sesuatu yang terasa basah di kulit wajahnya, akibat sentuhan tangan Enrico.Francesca membuka mata dan melihat, bagaimana pria itu mengusap ludah di wajahnya kemudian mengoleskan ke wajah Francecsa. Seringai dan pandangan mata pria itu terasa aneh dan menakutkan bagi francecsa.Tiba-tiba saja wajah Enrico semakin mendekat padanya.
"Nona bangun, makanlah sarapan ini sedikit, tinggalkan piringnya di kamar. Sebentar lagi, tuan Enrico akan makan pagi."Serra masuk kedalam kamar Francesca dan membangunkan gadis itu. Pelayan yang masih muda itu, meletakan sepiring makan pagi di nakas.Francesca langsung bangun dan memakan sepiring sarapan pagi yang telah dibawakan oleh Serra. Dia sangat lapar dan harus memanfaatkan kesempatan ini, mengisi tenaga."Aku harus bertahan dan kuat. Aku yakin, masih ada jalan keluar," gumam Francesca menyemangati dirinya sendiri.Dengan kaki terseok dia bergegas membersihkan diri. Francesca tak lama kemudian sudah siap di meja makan. Berdiri tegak dan menanti Enrico. Francesca sangat bersyukur, di dalam rumah ini, dia masih memiliki teman, Serra."Rumayan juga dirimu sudah siap sepagi ini," sindir Enrico.Francesca tidak menanggapi. Dia segera mengambil sepiring sarapan yang sudah disiapkan oleh pelayan dapur. Frances
Francesca memendekan badannya dengan satu tangan yang berusaha menarik kaos untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Dia merasa risih dengan cara tatap Enrico yang tampak aneh. Pria itu membeku untuk sesaat."Tuan ...," Francesca menarik tangannya dari genggaman Enrico. Dengan segera pula, Enrico tersadar dengan sikapnya."Dasar gadis liar tidak tahu malu! Cepat kenakan pakaianmu!" Enrico membalikan tubuhnya."I____iya, Tuan."Dengan dibantu oleh Maria, Francesca mengenakan celana panjangnya kembali."Saya sudah siap, Tuan."Francesca menyadari, jika hari sudah siang. Saat ini, tuan Enrico pasti sedang lapar. Dan pria itu mencarinya ke gudang, tentu dikarenakan waktu untuk kembali ke Castle sudah lewat."Tuan Enrico, nona ini sedang sakit. Terlalu jauh jika harus berjalan hingga ke Castle. Sebaiknya anda membawanya berkuda atau jika tidak, biarkan dia tinggal bersama saya selama
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert