Francesca memendekan badannya dengan satu tangan yang berusaha menarik kaos untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Dia merasa risih dengan cara tatap Enrico yang tampak aneh. Pria itu membeku untuk sesaat.
"Tuan ...," Francesca menarik tangannya dari genggaman Enrico. Dengan segera pula, Enrico tersadar dengan sikapnya."Dasar gadis liar tidak tahu malu! Cepat kenakan pakaianmu!" Enrico membalikan tubuhnya."I____iya, Tuan." Dengan dibantu oleh Maria, Francesca mengenakan celana panjangnya kembali. "Saya sudah siap, Tuan."Francesca menyadari, jika hari sudah siang. Saat ini, tuan Enrico pasti sedang lapar. Dan pria itu mencarinya ke gudang, tentu dikarenakan waktu untuk kembali ke Castle sudah lewat.
"Tuan Enrico, nona ini sedang sakit. Terlalu jauh jika harus berjalan hingga ke Castle. Sebaiknya anda membawanya berkuda atau jika tidak, biarkan dia tinggal bersama saya selama"Komputer? Internet?" batin Francesca penuh harap. Matanya berkilat penuh harapan. Kebebasan ada di depan mata jika saja dia bisa menjangkau benda itu. Tak disangka, kunci kebebasannya ada dalam rumah utama ini.Francesca melangkah perlahan menuju ke arah tangga. Ruangan lantai atas yang besarnya hanya separuh dari lantai bawah, disana tampak kilasan sebuah komputer dari balik pagar pembatas yang terbuat dari kaca.Pandangannya tak dapat beralih dari lantai atas, hingga tanpa sadar langkah kakinya tersendat, ketika dia menabrak sosok tubuh kokoh."Tu______an." Francesca terkejut melihat Enrico sudah berdiri di depannya. Tubuh pria itu menghalangi langkahnya menuju kebebasan."Mau apa kau?" tanya Enrico dingin. Kedua tangan Enrico terselip di dalam saku celana dan tatapan dinginnya menghujam ke arah gadis itu."Sa____ya, sa____ya, saya hendak membantu Seera membersihkan ruangan ini," jawab francesca
Kebagahagian terpancar dari wajah Francesca. Harapan kembali muncul. Kini ada dua kesempatan untuk bisa keluar dari pulau itu. Kesempatan pertama adalah mengunakan komuputer dikamar Enrico untuk menghubungi keluarganya. Dan jika gagal, dia bisa menyelinap ketika kapal barang muncul.Hari ini pertama kalinya ~~setelah hampir dua bulan terkurung di pulau tersebut~~ Francesca dapat bersikap normal layaknya seorang anak gadis. Menikmati keindahan pantai pulau Olive ini sambil bermain biola ditemani gadis sebaya dirinya. Beberapa jam terlepas dari monster bermata biru itu.Dengan penuh harap, Francesca menggesek biolanya, menciptakan nada yang ceria. Sementara Seera asyik bermain air, sambil menari mengikuti gesekan nada biola."Lihat budak itu, dia pasti sangat rindu kembali ke kota, " bisik Eva pada seorang wanita yang lebih dewasa."Apa enaknya di kota. Hidup disini lebih menyenangkan, " sahut w
"Tuan, makanan anda ...."Francesca mengetuk pintu dan memanggil Enrico. Hanya sedetik saja, pintu sudah terbuka membuat Francesca keheranan.Wajah Enrico datar dengan mata yang menatap sekilas pada gadis itu. Francecsa langsung masuk dengan membawa baki berisi makanan, begitu Enrico memberinya jalan.Gadis itu hendak meletakan baki berisi makanan di meja, tetapi Enrico meminta hal lain."Letakan di balcony."Deg! Jantung Francesca berdetak kencang.Balcony ... lantai dua kamar ini ... berarti kesempatan untuk memastikan penglihatannya. Jalan keluar yang dia harapkan. Signal untuk memberitahu keberadaan dirinya pada keluarganya.Francesca dengan penuh harap dan cemas, naik ke lantai dua. Tubuhnya menegang karena gejolak keingintahuan.Benar saja, sampai di lantai dua, mata gadis itu berkilat gembira dengan senyuman kecil tersungging di sudut bibir. &nbs
Francesca berdiri merapat pada pintu. Monster itu semakin mendekat. Kembali gadis itu menunduk menatap pada gagang pintu, berusaha menarik, menggoyangkan, segala cara dia lakukan agar pintu itu terbuka.Tapi terlambat! Saat dia menengadahkan wajahnya, monster itu sudah berdiri tegak dengan mengurung dirinya. Kedua tangan Enrico melekat di sisi kanan dan kiri gadis tersebut.Francesca menatap mata Enrico yang tajam dengan mata ketakutan. Bibirnya mengucapkan kata tuan tanpa bersuara. Tubuhnya sontak merasa lunglai bagai tak bertulang.Gadis cantik itu memalingkan wajahnya ke samping, sembari memejamkan kedua matanya dengan rapat-rapat dan dahi yang berkerut.Dia mengigit bibir bawahnya, sementara kedua tangan meremas gaun yang ia kenakan. Gadis malang itu bersiap menerima perlakuan kasar Enrico.Francesca dengan pasrah menanti serangan dari pria berwajah dingin tersebut. Mungkin cacian, mungkin s
FrrancescaEnrico mengambil lagi sebotol bir dari lemari pendingin. Pria itu menegak bir dengan mata tersenyum melihat wajah bingung Francesca yang masih mencari keberadaan kunci pintu kamar.Setiap pojokan kamar sudah ditelusuri kecuali lemari pakaian yang cukup besar. Kamar besar ini memang tidak memilili closet pakaian, karena Enrico merasa tidak terlalu memerlukannya. Apalagi pulau kecil ini, jauh dari kehidupan sosialita.Pria beramata biru dengan rahang kokoh persegi itu, memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana. Di dalam saku celana tersebut, jari jemarinya memainkan benda pipih, berbentuk logam dan terasa dingin.Enrico menyeringai licik. Gadis itu tidak akan menemukan dimanapun benda yang dia cari. Karena saat ini benda pipih yang dia inginkan berada dalam jepitan jemarinya.Enrico memandang Francesca yang terdiam di sudut ruangan dengan frustasi. Gadis itu kembali berulang- ulang mengigit bi
Dengan satu tangan Francesca menahan baki menempel pada tubuhnya, sementara tangan kanan dia gunakan untuk mengetuk pintu kamar tersebut.Penuh harap, Francesca berdoa dalam hati agar monster itu tidak muncul. Biarkan saja pria itu tertidur pulas dan tidak muncul lagi di hadapannya.Tapi, keinginannya menjadi sirna ketika mendengar suara serak dan berat dari dalam kamar, "Masuklah Serra."Dengan tangan yang gemetaran, Francesca membuka pintu kamar. Dia melirik ke balik pintu, memastikan kunci masih tetap menempel pada tempatnya.Francesca melangkah masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba dia merasakan kakinya tertusuk sesuatu yang tajam. Sandal tipis yang dia kenakan menginjak pecahan botol yang menembus hingga ke jempol kaki.Francesca mengigit bibir, meringis menahan sakit. Dia melihat pecahan botol yang hancur di lantai granit berwarna gelap. Dengan menahan sakit, Frances mema
Francesca tidak pernah menyangka jika Enrico akan kembali dengan membawa baki berisi makanan. Pria itu meletakan makanan tersebut di meja, membuat Francesca merasa heran dengan dua porsi makanan yang sudah tersedia.Pria dingin bermata biru itu duduk di sampingnya dalam diam. Dia memakan sarapan paginya dengan perlahan. Francesca menelan ludah melihat bagaimana pria itu menikmati makanannya .Gadis itu memalingkan wajah, enggan menyaksikan pemandangan yang membuatnya semakin kelaparan. Sudah cukup tersiksa dengan aroma makanan tersebut."Makan, Bodoh!" perintah Enrico.Francesca menoleh, menatap Enrico dengan heran."Saya, Tuan?" tanyanya dengan heran."Tentu saja Kau, Bodoh! Apa ada orang lain lagi di sini?""Benar ini untuk saya?" tanya Francesca tak percaya. Pagi ini, Enrico terasa berbeda bagi Francesca."Apa ada orang lain se
Pandangan mata Enrico berubah menjadi gelap. Ingatan akan Caroline, wanita kejam yang sudah menghancurkan kebahagiaan masa kecilnya, memicu kebencian yang luar biasa memenuhi pikiran Enrico.Dan tepat dihadapannya adalah pantulan wanita jalang itu. Wajah dan tubuh yang serupa ~ doppleganger~. Wanita yang dia benci dengan segenap jiwa dan raganya. Nurani Enrico menggelap, terbawa oleh dendam dan kebencian yang mengakar dengan kuat."Semua karena kau, Wanita jalang!" teriaknya penuh dendam.Kedua tangan Enrico mencengkeram leher Francesca. Gadis itu terkejut ketika merasa cengkeraman tangan besar itu semakin menguat, mencekik lehernya.Francesca meronta! Ia memukul-mukul dada Enrico, menggapai wajah pria itu ... meninggalkan cakaran di wajahnya. Gadis itu kemudian meremas kuat tangan Enrico.Kakinya menjejak dengan sekuat tenaga di lantai, mendorong, berusaha mengangkat tubuh,
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert