Francesca berdiri merapat pada pintu. Monster itu semakin mendekat. Kembali gadis itu menunduk menatap pada gagang pintu, berusaha menarik, menggoyangkan, segala cara dia lakukan agar pintu itu terbuka.
Tapi terlambat! Saat dia menengadahkan wajahnya, monster itu sudah berdiri tegak dengan mengurung dirinya. Kedua tangan Enrico melekat di sisi kanan dan kiri gadis tersebut.
Francesca menatap mata Enrico yang tajam dengan mata ketakutan. Bibirnya mengucapkan kata tuan tanpa bersuara. Tubuhnya sontak merasa lunglai bagai tak bertulang.
Gadis cantik itu memalingkan wajahnya ke samping, sembari memejamkan kedua matanya dengan rapat-rapat dan dahi yang berkerut.
Dia mengigit bibir bawahnya, sementara kedua tangan meremas gaun yang ia kenakan. Gadis malang itu bersiap menerima perlakuan kasar Enrico. Francesca dengan pasrah menanti serangan dari pria berwajah dingin tersebut. Mungkin cacian, mungkin sFrrancescaEnrico mengambil lagi sebotol bir dari lemari pendingin. Pria itu menegak bir dengan mata tersenyum melihat wajah bingung Francesca yang masih mencari keberadaan kunci pintu kamar.Setiap pojokan kamar sudah ditelusuri kecuali lemari pakaian yang cukup besar. Kamar besar ini memang tidak memilili closet pakaian, karena Enrico merasa tidak terlalu memerlukannya. Apalagi pulau kecil ini, jauh dari kehidupan sosialita.Pria beramata biru dengan rahang kokoh persegi itu, memasukan tangan kanannya ke dalam saku celana. Di dalam saku celana tersebut, jari jemarinya memainkan benda pipih, berbentuk logam dan terasa dingin.Enrico menyeringai licik. Gadis itu tidak akan menemukan dimanapun benda yang dia cari. Karena saat ini benda pipih yang dia inginkan berada dalam jepitan jemarinya.Enrico memandang Francesca yang terdiam di sudut ruangan dengan frustasi. Gadis itu kembali berulang- ulang mengigit bi
Dengan satu tangan Francesca menahan baki menempel pada tubuhnya, sementara tangan kanan dia gunakan untuk mengetuk pintu kamar tersebut.Penuh harap, Francesca berdoa dalam hati agar monster itu tidak muncul. Biarkan saja pria itu tertidur pulas dan tidak muncul lagi di hadapannya.Tapi, keinginannya menjadi sirna ketika mendengar suara serak dan berat dari dalam kamar, "Masuklah Serra."Dengan tangan yang gemetaran, Francesca membuka pintu kamar. Dia melirik ke balik pintu, memastikan kunci masih tetap menempel pada tempatnya.Francesca melangkah masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba dia merasakan kakinya tertusuk sesuatu yang tajam. Sandal tipis yang dia kenakan menginjak pecahan botol yang menembus hingga ke jempol kaki.Francesca mengigit bibir, meringis menahan sakit. Dia melihat pecahan botol yang hancur di lantai granit berwarna gelap. Dengan menahan sakit, Frances mema
Francesca tidak pernah menyangka jika Enrico akan kembali dengan membawa baki berisi makanan. Pria itu meletakan makanan tersebut di meja, membuat Francesca merasa heran dengan dua porsi makanan yang sudah tersedia.Pria dingin bermata biru itu duduk di sampingnya dalam diam. Dia memakan sarapan paginya dengan perlahan. Francesca menelan ludah melihat bagaimana pria itu menikmati makanannya .Gadis itu memalingkan wajah, enggan menyaksikan pemandangan yang membuatnya semakin kelaparan. Sudah cukup tersiksa dengan aroma makanan tersebut."Makan, Bodoh!" perintah Enrico.Francesca menoleh, menatap Enrico dengan heran."Saya, Tuan?" tanyanya dengan heran."Tentu saja Kau, Bodoh! Apa ada orang lain lagi di sini?""Benar ini untuk saya?" tanya Francesca tak percaya. Pagi ini, Enrico terasa berbeda bagi Francesca."Apa ada orang lain se
Pandangan mata Enrico berubah menjadi gelap. Ingatan akan Caroline, wanita kejam yang sudah menghancurkan kebahagiaan masa kecilnya, memicu kebencian yang luar biasa memenuhi pikiran Enrico.Dan tepat dihadapannya adalah pantulan wanita jalang itu. Wajah dan tubuh yang serupa ~ doppleganger~. Wanita yang dia benci dengan segenap jiwa dan raganya. Nurani Enrico menggelap, terbawa oleh dendam dan kebencian yang mengakar dengan kuat."Semua karena kau, Wanita jalang!" teriaknya penuh dendam.Kedua tangan Enrico mencengkeram leher Francesca. Gadis itu terkejut ketika merasa cengkeraman tangan besar itu semakin menguat, mencekik lehernya.Francesca meronta! Ia memukul-mukul dada Enrico, menggapai wajah pria itu ... meninggalkan cakaran di wajahnya. Gadis itu kemudian meremas kuat tangan Enrico.Kakinya menjejak dengan sekuat tenaga di lantai, mendorong, berusaha mengangkat tubuh,
"Francescaaaaa! Keluar kau dari bawah tempat tidur! Anak tidak tahu diri!" Wanita berambut coklat expresso yang bergelombang indah itu menarik tubuh gadis kecil yang meringkuk ketakutan.Wajah wanita itu memerah dengan mulut yang berbau alkohol. Matanya menyala, membulat menatap gadis kecil di bawah kolong tempat tidur dengan tajam.Tangan dengan kuku-kuku panjang bercat merah itu berusaha menggapai tubuh gadis yang meringkuk ketakutan dan menutupi wajah dengan telapak tangannya yang kecil.Tangan panjang wanita itu berhasil menggapai kaki kecil gadis tersebut. Dia menariknya dengan kuat, memaksa gadis itu keluar dari tempat tidur."Tidakkkk! Jangannn! Jangan sakiti aku," teriaknya pilu ketika wanita itu berkali-kali menampar wajahnya."Kau berani melawan ku?! Anak tidak tahu diri!" Wanita itu tanpa belas kasihan menarik rambut gadis kecil tersebut.Tubuh gadis itu yang awalnya duduk di lantai,
Hujan turun sangat deras mengguyur bumi. Angin berhembus dengan kencang membawa ombak bergulung-gulung menghantam daratan dengan keras. Langit gelap gulita, pepohonan kelapa bergoyang seakan hendak tercabut dari akarnya.Cuaca malam ini sangat menakutkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, semua manusia telah meringkuk di balik selimut. Menghangatkan tubuh, mengusir rasa dingin yang diantarkan oleh cuaca.Enrico duduk terdiam dalam kegelapan, memandang tajam pada sosok wanita yang berbaring tenang, dalam balutan selimut tebal. Kegelapan tak menghalangi pandangan matanya untuk menatap gadis itu.Dia diam tanpa menghiraukan waktu yang bergulir. Bahkan dirinya mampu duduk tak bergerak berjam-jam lamanya hanya untuk menatap gadis yang mulai menyentuh hatinya.Monster dalam diri Enrico seakan mengkerdil dihadapan gadis itu. Gadis yang terbuai di peraduan dengan nyenyak, tanpa menyadari sepasang mata biru memperhatikan dirinya.M
Serra menggandeng tangan Francesca dengan riang. Dia banyak bercerita mengenai kehidupannya di pulau ini. Bagaimana penduduk yang hanya sedikit di tempat ini, selalu hidup dengan rukun.Penduduk pulau sangat tertutup dengan dunia luar. Mereka menghormati Pompei sebagai anak dari kepala desa, mandor dan kepercayaan Enrico di pulau ini. Bagi mereka Enrico bukan saja tuan tanah, melainkan dewa penolong.Enrico kecil datang ke pulau ini bersama Leonardo ~adiknya~ dan ibu dari Seera. Seluruh anggota keluarga Enrico telah meninggal. Enrico saat itu baru berusia sepuluh tahun.Namun tekadnya yang bulat untuk membalas dendam pada Caroline, membuat anak kecil itu berubah. Berkat ketekunan dan kecerdasan Enrico, dia bisa memajukan kehidupan penduduk pulau dan menyekolahkan Leonardo.Dari cerita Serra, Francesca juga mengetahui jika Enrico setelah dewasa tidak pernah lama tinggal di pulau ini. Namun, selama lebih
Enrico memandang punggung Francesca dari kejauhan di kegelapan malam. Dia berdiri di antara pepohonan yang tak juga menghalangi pandangannya. Matanya tak bisa teralih dari sosok gadis yang sedang duduk di antara rerumputan.Gadis itu tersenyum dengan sangat lembut. Dia menikmati sepotong ikan bakar dengan cara yang sangat anggun. Dia tertawa mendengarkan lelucon yang di ucapkan para penduduk pulau.Baru kali ini Enrico melihat tawa gadis itu. Bibirnya yang terbuka lebar dengan gigi-gigi yang rapi. Sorot mata yang ceria seakan tak pernah ada duka. Wajah mungil dengan dagu runcing, memberikan gambaran raut wajah cinta yang begitu sempurna.Francesca bagaikan seorang dewi kecantikan di mata Enrico. Menghipnotis pria itu untuk terus memandangnya tanpa berkedip. Membuat kaki-kaki gagah itu berdiri diam dengan kaku.Keinginan untuk mendekati dan merengkuh gadis itu dia urungkan. Ia terlalu takut senyuman itu akan sirna ketika g
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert