Malam sudah bergulir diterpa oleh cahaya mentari pagi. Kegelapan sirna digantikan dengan terang. Udara dingin sedikit demi sedikit mulai menghangat akibat sinar matahari yang muncul di ufuk timur. Suara deburan air laut terdengar samar-samar. Alam semesta tampak begitu indah.
Enrico terbangun dengan tubuh segar dan perasaan bahagia. Dia membuka jendela dan memandang deburan air laut sambil tersenyum lebar. Hembusan angin laut yang dingin dan kering, dia terima dengan sukacita. Hari ini, dia akan melemparkan sebuah kenyataan kepada Fransisca. Enrico tertawa membayangkan raut wajah gadis cantik itu jika membaca berkas yang dia terima. Tentu saja dia pasti akan shock.
Semua ini bermula dengan pertemuan pertamanya dengan Francesca di gedung Opera. Pertemuan itu menguak luka masa lalu dan membuat bara dendam muncul kembali. Enrico mulai mencari bukti jika Francesca adalah Caroline.
Dengan uang dan kekuasaan yang dia miliki. Enrico berhasil menguak semua misteri hidup Francesca, dalam waktu singkat. Dan dia berhasil membuktikan intingnya adalah benar. Francesca satu dna dengan Caroline. Gadis itu adalah anak kandung wanita yang dia benci. Francesca memang bukan Caroline. Tetapi gadis itu adalah keturunan wanita yang sangat ingin dia hancurkan. Dan bara dendam membuat nuraninya menjadi gelap. Francesca harus menjadi tumbal.
Enrico kemudian memerintahkan pelayan untuk membawa segelas teh hangat manis untuk Francesca. Dia sengaja memberikan sedikit kebaikan sebelum kembali menyaksikan tontonan yang sangat dinantikan seumur hidup. Penantian yang tidak sia-sia.
Di meja makan, Enrico duduk seorang diri. Dia menatap sarapan pagi sambil termenung. Hari-hari yang sepi seperti biasanya. Menikmati makanan dalam kesendirian, kecuali jika Leonardo datang.
Saat ini Enrico meninggalkan perusahaannya di Rome dan Venice. Semenjak pertemuan dengan Francesca di La Fenice Opera House, dia membawa gadis itu di pulau terpencil sebelah selatan Sisilia. Pulau yang hanya memiliki satu bangunan besar yaitu castle ini dan kurang dari lima puluh pekerja yang juga menggarap ladang zaitun. Menjadikan tempat ini benar-benar terisolasi. Hanya ada satu kapal yang datang setiap tiga minggu sekali, mengantar segala keperluan dan suplai makanan di pulau tersebut.
"Pelayan. Bawa makanan ini ke menara," perintah Enrico. Pria itu akan kembali makan di hadapan Francesca. Menikmati makanan dengan pemandangan gadis cantik yang ketakutan, membuat sifat buas yang berisi dendam itu bergelora.
Francesca masih duduk di atas tempat tidur sambil menikmati segelas teh hangat yang dibawakan pelayan. Dia bersyukur dengan rasa manis yang membasai mulut dan tenggorokannya. Saat ini setidaknya rasa lapar bisa sedikit bersahabat.
Kehangatan dari teh manis itu membuat perasaan Francesca menjadi sedikit lebih baik. Tubuhnya sedikit mengangkat. Dengan cepat dia minum teh hangat tersebut, sebelum udara menjadikan teh itu dingin. Baru saja dia menghabiskan teh manis itu ketika Enrico datang dengan bersama pelayan yang membawa makanan. Pria itu dengan angkuh duduk di kursi yang sama di hadapan Francesca.
Kejadian semalam terulang lagi. Enrico menikmati omlet, sosis dan roti bakar madu dengan nikmat. Tanpa menghiraukan Francecsa yang meringkuk kelaparan di sudut ruangan. Gadis itu duduk bersandar di tiang kayu tempat tidur, sambil memeluk kedua lututnya. Dia menutupi hidung dan mulut dari aroma makanan yang menusuk indera penciuman. Aroma itu membuat rasa lapar terasa amat sangat melilit.
'Pria aneh!''
Enrico terkekeh melihatnya, dia merasa puas. Dejavu itu kembali terulang, saat Enrico kecil meringkuk kelaparan ketika Caroline asyik makan bersama ayahnya. Enrico puas bisa melihat Francesca yang kelaparan, meskipun gadis itu jauh lebih angkuh. Francesca tidak sedikitpun memohon padanya untuk sekedar sesuap makanan. Gadis itu hanya meminta dibebaskan. Dan selebihnya dia diam membisu. Masih terlihat roti yang teronggok di lantai, tidak tampak tercuil sedikitpun.
"Aku sudah kenyang. Dan kau juga tampaknya ... sudah cukup kenyang dengan teh manis itu bukan?"
Enrico menyeringai lebar sambil mengusap mulutnya dengan kain. Dia kemudian berdiri menghampiri Francesca dengan sebuah map di tangannya. Francesca beringsut menjauh, dia takut lelaki itu akan kembali bersikap kasar.
"Ini bukti jika kau berbagi dna dengan Caroline, wanita jalang itu. Lihat dan baca!"
Enrico melemparkan sebuah amplop coklat ke hadapan Francesca. Gadis itu hanya melirik, namun tidak bergeming. Tidak ada niatan untuk menyentuh amplop yang dilempar oleh Enrico.
"Lihat, ayo lihattt!" paksa Enrico tak sabar.
Pria itu menggeram kesal melihat sikap membangkang Francesca. Dengan jengkel dia menghampiri Francesca, membuka ampop itu dan mengeluarkan dokumen di dalamnya.
"Kau tidak bisa membaca ternyata. Aku bantu dirimu melihat hasil test dna ini. Caroline dan Francesca match 99%. Itu artinya kau anak wanita jalang itu." ujar Enrico mencemooh.
Francesca tidak menjawab, tidak juga berusaha melirik ke arah Enrico. Gadis itu masih beraut wajah dingin. Tatapannya lurus menatap ke arah luar jendela.
"Ayah kandungmu adalah Manuel, penduduk Tuscany. Jadi ... Andrew Knight dan Diana Stevani tidak memiliki hubungan darah dengan dirimu. Kau hanyalah anak pungut. Anak yang dibuang oleh Caroline. Kau mengerti?"
Kesal tidak mendapatkan reaksi apapun dari Francesca, Enrico memegang leher belakang gadis itu agar menatap dokumen yang ada ditangannya. Dia memaksa Francesca untuk membaca.
"Lihat hasil dna ini. Aku tidak berhalusinasi. kau darah daging Caroline. Dan itu sebabnya kau yang harus menanggung dosa wanita itu!"
"Aku tidak percaya perkataanmu," desis Francesca dengan menekan suaranya.
"Kau tidak percaya? Lihat foto Caroline. Serupakan dengan dirimu!"
Ditunjukannya oleh Enrico foto wanita muda dengan raut wajah dan struktur tulang yang sama persis dengan Francesca. Gadis itu memalingkan wajahnya, menolak untuk melihat lebih lama.
"Kau Francesca ... anak Caroline ... anak Caroline! Kau hanya anak pungut Andrew Knight dan Diana Stevani ... hahahaha ... anak Caroline."
Dengan penuh kemenangan Enrico tertawa puas. Francesca diam membisu, namun air mata mulai mengalir di pipinya. Meskipun dia sudah menyembunyikan wajah, tetapi Enrico masih bisa melihat air yang menetes.
"Hahahaha ... sekarang kau percaya padaku? Kau berbagi dna dengan Caroline. Dan ini adalah takdirmu untuk membayar dosa-dosa wanita jalang itu. Kau selamanya akan menderita disisiku."
"Keluarrr! Keluar kau psikopat! Aku bukan anak Caroline. Aku Francesca! Ibuku Diana Stevani. Kau sudah gilaaaa. Keluarrr!"
Francesca tiba-tiba histeris. Dia menutupi kedua telinganya tidak mau mendengar perkataan Enrico. Kata-kata pria itu membuat hati dan pikirannya menjadi sangat sakit. Dia membenci Enrico.
"Aku tidak gila. Itu kenyataan yang kau harus ketahui. Selamat ya, akhirnya kau mengetahui siapa ibu kandungmu." Enrico menepuk lembut punggung Francesca.
"Jangan sentuh aku. Keluar kau pembohong! Kau pembohong! Kau sengaja melakukan ini hanya untuk memuaskan dendam tak beralasanmu!" teriak Francesca sambil menepis tangan Enrico.
"Dendam tak beralasan katamu?" Enrico memegang kedua bahu gadis itu dan mengguncangnya.
"Kau tahu, Caroline sudah membuat papa mengusir mama. Mama yang malang harus meninggal dalam duka, sementara wanita itu hidup bahagia dengan bergelimangan harta. Pencuri itu sudah merengut semua yang menjadi hak milik mama. Itu yang kau katakan tak beralasan?"
Suara Enrico begitu penuh dengan dendam dan kebencian. Dia mengatakan semua itu tepat dihadapan wajah Francesca, yang menatapnya balik dengan sikap menantang. Gadis itu tetap teguh pada pendirian. Dia tidak percaya.
Dengan kesal Enrico mendorong tubuh Francesca ke atas tempat tidur yang tipis. Dia kemudian melempar dokumen itu tepat di wajah Francesca.
"Lihat dan baca dengan teliti. Pandangi foto wanita itu! Terimalah takdirmu untuk menderita di sisiku."
Enrico kemudian meninggalkan Francesca yang termangu. Air mata tak berhenti mengalir. Gadis itu meringgkuk di atas tempat tidur dan berteriak memanggil ibu yang membesarkannya.
"Mommy ... mommy ... aku anakmu, bukan? Mommyyy ... Francesc ingin pulang. Frances ingin memelukmu. Mommy ...," ucapnya dengan pikiran tertuju pada Diana Stevani, sosok ibu yang dia kenal selama ini.
Dan gadis itu jatuh tertidur sambil merasakan beban yang sangat berat. Kenyataan pahit yang baru dia dapatkan dari Enrico membuat Francesca sangat terguncang. Dia tidak ingin mempercayai semua itu. Namun kata-kata itu terus mempengaruhi dirinya.
Hanya satu hal yang gadis itu inginkan yaitu berharap semua ini hanyalah sebuah mimpi dan saat dia terjaga dia sudah berada dalam pelukan keluarganya.
❤❤❤❤❤
Ikuti i* author yuk untuk info cerita lainnya.
@taurusdi_author
Francesca meringkuk menahan lapar dan dingin yang semakin menusuk. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan hawa yang dingin. Udara dingin menusuk meskipun tidak ada salju. Francesca yang dibesarkan di udara pantai yang tropis, membuatnya kesulitan beradaptasi dengan dingin. Sudah tiga hari dia kelaparan. Hanya air payau dan segelas teh hangat di pagi hari yang membuat gadis itu bertahan. Matanya lapar tertuju pada seonggok roti yang ada dilantai. Roti yang sudah mulai berjamur dan kotor. Dia sengaja membiarkan roti itu tetap di lantai. Supaya Enrico tidak menghina dirinya dengan menuduh menikmati makanan sampah. Dalam keadaan kelaparan pun, harga diri tetap di junjung tinggi. Sepanjang hari yang dapat dia lakukan hanyalah menggesek biola dan memanjatkan doa. Francesca yakin Tuhan itu ada. Seperti
Gadis malang itu terbaring lemah diatas tempat tidur. Wajahnya sudah mulai berwarna, tidak sepucat seperti beberapa hari sebelumnya. Cairan infus itu tampaknya berhasil memberikan asupan makanan dalam tubuhnya. Sudah dua hari Francesca tidak sadarkan diri. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Setiap hari seorang pelayan membersihkan tubuh gadis itu dan mengoleskan air madu di bibir Francesca yang pecah-pecah. Kini bibirnya merona alami kembali. Tuhan itu memang ada. Dia mendengarkan jeritan hati dan doa Francesca, dengan mengirimkan Leonardo untuk menyelamatkan gadis itu. Setidaknya saat ini gadis malang yang masih terbaring lemah, sudah berada di ruangan yang lebih baik dan mendapatkan perawatan. Hampir setiap saat setelah kembali dari lada
Gemercik suara air dari pancuran, mengguyur tubuh Francesca. Ini air hangat pertama yang dia rasakan mengaliri kulitnya, setelah tujuh hari terkurung di kediaman Enrico. Francesca menikmati aliran air yang membasuh tubuhnya dengan penuh syukur. Sudah tujuh hari, gadis cantik itu tidak mandi. Tubuhnya yang berangsur membaik, membuat dia memaksakan diri untuk mandi. Francesca menggosok seluruh tubuh, membuang kulit kering yang sudah mulai mengelupas. Hawa dingin di pulau ini membuat kulitnya menjadi kering.Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dibawah aliran air hangat, Francesca mengeringkan tubuhnya. Dia mengenakan bathrobe sebelum keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih menggulung di atas kepala. Francesca duduk di depan meja rias, mematut dirinya. Mata dan pipinya tampak mulai cekung. Tapi it
Francesca Tin ... tin ... tinnnn .... Sebuah klakson mobil golf mendekat, Enrico disana, dibalik kemudi sambil menyeringai dingin kearah Francesca. Langkah kaki gadis itu terpaku di depan gerbang dengan pandangan lekat ke arah Enrico yang semakin mendekat. Dia mengerti sia-sia saja menghindari predator buas dihadapannya. Mobil golf yang di kendarai Enrico, behenti tepat dihadapan Francesca. Moncong kendaraan itu menempel pada kaki gadis itu. Francesca secara reflex mundur satu langkah ke belakang. Dengan tubuh yang gemetaran, gadis itu memaksakan senyuman kaku di wajahnya. "Tuan---" "Kau henda
francesca Leonardo membawa masuk Francesca kembali kedalam kamar. Dia mendudukan gadis itu ke tempat tidur, kemudian menyalakan pemanas ruangan. Pria itu berusaha menenangkan Francesca dengan duduk disisinya. Penuh kelembutan, Leonardo menyentuh tangan Francesca. Gadis itu terkejut merasakan sentuhan Leonardo. Spontan saja dia menarik tangannya. Francesca mendekap kedua tangannya di dada dan menjepit dengan kedua lutut. Leonardo tidak marah, dia malahan tersenyum hangat sambil memegang pipi Francesca. "Jangan takut padaku. Lihat kulitmu sangat dingin sekali," ucapnya penuh kelembutan. Francesca memiringkan kepalanya, menghindari sentuhan Leonardo.
"Arkhhhhh! Tidakkkk!" Francesca terbangun dari mimpi buruknya. Keringat membanjiri kening dan nafasnya tersenggal-senggal. Mimpi itu serasa nyata dan sungguh membuat dirinya ketakutan. "Kakak Conrad ...," desisnya perlahan, mengingat nama bocah lelaki yang muncul di mimpinya. Dalam keadaan tubuh yang masih gemetaran, perlahan Francesca mengingat kembali bagian puzzle masa lalu, kenangan masa kecilnya yang hilang. Dan hal itu membuat dirinya semakin tergoncang. Dalam keadaan batin yang masih syokk, Francesca begitu membutuhkan pelukan hangat Diana Stevani, wanita yang dengan penuh kasih membesarkan dirinya. Belum sempat dia menenangkan diri, terdengar suara mesin yang dihidupkan dan peluit panjang. Francesca tersentak. Suara peluit yang keras itu membuat dirinya tersadar akan sesua
Francesca terbangun ketika dia merasakan air dingin membasahi wajahnya. Gadis itu terkejut dan segera menegakkan tubuhnya. Dia beringsut merapat ke sandaran tempat tidur, saat melihat Enrico sudah berdiri dihadapannya dengan memegang gelas kosong.Pandangan mata biru Enrico terlihat sangat dingin, melebihi air es yang disiramkan ke wajah Francesca. Raut wajah pria itu tak terbacakan. Aura yang dipancarkan selalu menyalurkan hawa takut, setiap kali dia berada dihadapan gadis itu.Francesca dengan tangan gemetaran, mengusap air yang membasahi wajah, rambut depan dan sebagaian pakaian yang dia kenakan. Beruntung sekali, saat ini dirinya tidak dikurung diatas menara castle, jika tidak dapat dipastikan tubuhnya akan pucat pasi, menggigil kedinginan oleh air dingin yang disiramkan Enrico juga kehadiran pria itu."Bagun kau! Keluar dalam waktu lima menit!" Perintah Enrico dengan wajah datar.Pria itu kemudian keluar tanpa menunggu jawab
Francesca dengan kesusahan mengikuti langkah panjang kaki Enrico. Dia tidak tahu kemana pria itu membawanya, tetapi ketika gerbang bagian belakang terbuka, Francesca dapat melihat perkebunan yang sangat luas.Para pekerja tampak menggoyangkan pepohonan disana, sehingga buah zaitun berjatuhan di sebuah alas. Dan beberapa pekerja wanita mulai memisahkan buah zaitun yang bagus dari yang buruk. Langkah kaki mereka berhenti tepat dihadapan pekerja wanita yang sedang memilah."Buongiorno segnore," sapa para pekerja pada Enrico.Senyuman hangat mengembang dari wajah Enrico. Francesca terpana melihatnya. Pria dingin dan menakutkan itu, ternyata masih bisa menarik bibir dan membentuk lengkungan indah di wajahnya. Saat ini tidak nampak kekejaman di wajah Enrico, seperti yang biasa dia tunjukan pada Francesca.Enrico berbicara pada seorang pegawai disana. Dia menunjuk ke arah Francesca yang diikuti oleh anggukan pegawai tersebut. Tak lam
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert