Gadis itu masih terdiam kaku untuk sesaat. Kakinya terasa tak bertenaga dan sukar digerakan. Apalagi hawa dingin yang teramat sangat, membuat aliran darah menjadi sedikit lambat mengaliri kakinya.
Sesaat kemudian ... dia merasakan otot-otot tubuhnya sudah mulai melemas dan bisa bergerak.
Francesca berusaha menopang tubuhnya yang gemetaran oleh rasa dingin dan takut. Dia adalah gadis yang tumbuh di daerah panas. Hawa dingin 5°C ini terasa sangat membekukan bagi tubuh mungilnya. Francesca dengan sisa kekuatan melihat ke sisi tempat tidur, mencari kain tipis yang sebelumnya menutupi tubuh.
Rasa lapar dan haus mengalahkan rasa lelah dan dingin yang dia rasakan. Kain tipis itu tak mampu membantu mengusir hawa dingin yang dia rasakan. Apalagi dinding-dinding batu di sekeliling ruangan tanpa pemanas, semakin mengantarkan rasa dingin yang menusuk tulang.
Francesca turun dari tempat tidur ketika dia merasakan kakinya sudah bisa bergerak. Dengan tertatih sambil menahan perih yang dia rasakan di kakinya yang lecet, Francesca menuju ke kamar mandi. Gadis itu memutar kran dan bergerak reflex menjauh ketika dirasakan betapa dingin air yang mengalir. Dia merasa haus. Tidak ada air mineral diruangan itu. Dengan terpaksa Francecsa harus minum dari air pancuran di kamar mandi.
"Cih!" Diludahkannya air yang dia tadahi dan minum dari tangan. Air itu jelas sekali air payau. Air dengan sedikit rasa asin dan aroma lautan. Sungguh tidak nyaman di lidah Francesca. Enggan rasanya dia menegak air itu, jika saja rasa haus tidak begitu menyiksa.
Perlahan Francesca terpaksa meminum air tersebut. Menegaknya dengan susah payah. Dia kemudian membasuh luka dan meringis menahan perih. Sesaat setelah menyelesaikan aktivitas di kamar mandi, tertatih dia kembali ke dalam kamar.
Gadis cantik itu menatap ke tempat tidur dengan busa tipis yang mengalasi. Akhirnya Francesca menggulung busa yang tipis untuk memberikan sedikit kehangatan di tubuhnya yang membeku kedinginan. Pakaian yang dia kenakan sudah robek di beberapa bagian tangan dan leher, membuat hawa dingin kian terasa menusuk.
Dalam balutan busa tipis itu Francesca kembali menangis. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud oleh pria bernama Enrico. Pria yang mengaku sebagai penggemar, namun berakhir dengan mengurung dan menyiksa dirinya.
"Caroline?! Siapa dia."
Nama itu terasa tidak asing, namun Francesca tidak bisa mengingat. Ingatan Francesca hanya berawal ketika dirinya berusia lima setengah tahun. Tapi, bukankah hal itu wajar? Bukankah ingatan seseorang tentang masa kecil tidaklah selalu sempurna.
Dalam keresahan dan kebingungan gadis itu terlelap. Dia sudah terlalu lelah untuk berpikir dan meratap saat ini. Hawa dingin yang menggigit ini, membuatnya merasa terlalu lemah.
Entah berapa lama Francesca terlelap dalam gulungan kasur busa tipis itu. Saat dia baru saja terjaga dari tidur yang tak lelap, tanpa disadarinya ada seseorang yang berdiri menatap ke arahnya dalam kegelapan. Francesca tersentak dan bergerak menjauh masih dengan memegang busa tempat tidur.
"Nyenyak sekali tidurmu. Kau sudah bisa menyesuaikan diri dengan keadaan dalam ruangan ini rupanya."
"Apalagi yang kau mau, Tuan? Tidak cukupkah kau menyiksa diriku?!" ucapnya dengan suara serak.
"Tersiksa? Hanya dengan seperti ini, kau katakan menyiksa?! Hahahahahaha," tawa Enrico terdengar keras dan menakutkan di telinga Francesca. Gadis itu mundur dengan busa tipis yang masih melingkar di tubuhnya, dia membentur dinding.
"Ini baru awal, kelinci kecil. Seperti ini saja sudah kau katakan siksaan." Enrico menyeringai mengejek.
Francesca terdiam. Sampai kapan pria itu akan bersikap seperti ini. Sampai kapan dia akan sadar, jika dirinya bukan wanita yang dimaksud. Kenapa pria ini begitu keras kepala.
"Tuan Enrico, anda bisa mencari tahu tentang diri saya. Nama saya Francesca dan saya adalah anak kedua dari Andrew Knight dan Diana Stevani,"
"Jangan berani-beraninya menyebut namaku. Kau tidak pantas memanggil namaku! Kau pikir aku bodoh, tidak mengenali dirimu? Kau Francesca atau Caroline sama saja. Kalian sudah berbagi satu dna. Dan ini adalah nasib burukmu," tegas Enrico.
Francesca sesaat termangu mendengar perkataan Enrico. Berbagi dna? Dengan Caroline? Apa maksudnya. Jika benar yang dikatakan lelaki di depannya ini, jadi daddy Andrew berselingkuh? Ataukah mommy Diana adalah istri kedua?
Francesca menepis semua pikiran yang terlintas di kepalanya. Tidak mungkin mommy Diana adalah ibu tiri. Wanita itu begitu menyayangi dan selalu mendukung dirinya. Tidak pernah sekalipun Francesca merasa di bedakan dari keenam saudara lainnya.
"Tau dari mana kau tentang hidupku, tentang keluargaku. Aku bahkan baru bertemu dengan dirimu. Kita tidak saling mengenal," sahut Francesca dengan suara bergetar.
Hawa dingin terasa semakin menusuk di malam hari. Dan lapisan udara terasa sangat tipis, membuat Francesca tersenggal saat meluapkan emosinya. Dia menahan dirinya, mengatur emosi dan tarikan nafas yang menyesakan dadanya.
"Kau akan segera tahu kenyataannya, kelinci kecil. Kau akan menyadari, jika memang takdirmu adalah membayar dosa Caroline. Kau akan merasakan penderita yang sama seperti yang pernah aku rasakan," ujar Enrico dingin.
Seorang pelayan datang dengan membawa semangkok sup hangat, sepotong roti dan sebuah steak yang di letakan dalam wadah tertutup. Dalam nampan tersebut juga ada segelas air dan red wine. Pelayan lain juga datang dengan membawa kursi. Mereka menarik meja kecil yang berada disisi tempat tidur, untuk meletakan makanan.
Enrico kemudian duduk di kursi tersebut, setelah kedua pelayan tadi keluar dan menutup pintu ruangan. Dia menegak air mineral dengan keras, hingga terdengar aliran air itu membasahi tenggorokan, sambil melirik kearah Francesca yang memalingkan wajahnya.
Kemudian dengan santainya, Enrico meniup sup hangat tersebut sebelum menikmatinya tentu saja dengan sikap yang mengejek Francesca. Menyeruputnya keras dan mengeluarkan suara kepuasan.
"Slurrrppp! Ahhh!"
Aroma sup itu terasa harum di penciuman Francesca membuatnya seketika merasa sangat lapar. Alarm di perutnya berbunyi dan dia baru sadar, jika sudah sehari ini tidak ada makanan yang masuk, kecuali air payau. Francesca menelan air ludahnya. Dia memalingkan wajah dan menutupi dengan kasur busa tipis itu. Francesca dengan sekuat tenaga menahan rasa lapar. Dia tidak ingin dipermalukan karena mengemis kelaparan.
Enrico tersenyum dalam hati melihat sikap gadis itu. Dia sangat senang sekali berhasil membuat Francesca tersiksa dengan rasa lapar. Enrico kemudian mengambil sepotong roti dan melemparkan pada Francesca. Lemparan keras itu berhasil mengenai kepala gadis itu, sebelum akhirnya jatuh bergulir di lantai. Francesca mengelus kepalanya yang sakit akibat roti yang dilemparkan Enrico.
Francesca melirik roti yang tergeletak di lantai. Roti yang bertextur keras di luar namun lembut di dalam, sesungguhnya sangat nikmat jika di makan dengan sup hangat, cukup menggodaa perutnya yang kelaparan.
"Kau lapar bukan? Ayo, makanlah," ujar Enrico mengejek.
Francesca tetap memalingkan wajah. Dia tidak menghiraukan roti yang tergeletak di lantai kotor itu. Memang perutnya terasa lapar. Tapi, dia bukan binatang yang memakan makanan kotor. Harga diri masih dia junjung tinggi meskipun sudah tak berdaya.
"Ah! Ternyata kau masih angkuh juga."
Enrico kembali melahap steak di hadapannya. Dia makan dengan lahap tanpa memperdulikan Francesca. Menegak red wine sambil berulangkali mengecap dengan nikmat.
Hatinya benar-benar diliputi kebencian dan merasa sangat puas melihat mangsanya menderita. Ini penderitaan awal di hari pertama yang harus di rasakan oleh budak liar itu. Besuk Enrico akan melancarkan serangan yang lebih hebat. Bukti jika Francesca adalah anak buangan.
Tinggal sepotong kecil steak di garpu. Enrico melirik kearah Francesca sambil menyeringai. Dia kemudian melangkah mendekati gadis itu sambil membawa garpu steak tersebut. Tepat di hadapan gadis itu. Enrico memegang pipi Francesca dengan satu tangan besarnya. Memaksa gadis itu untuk memandang dirinya.
"Kau lapar, bukan? Mau aku suapin?" Ucapannya penuh dengan nada mengejek
Enrico mengayunkan steak di tangannya, menggoda Francesca. Gadis itu diam, dia menggrahkan pandangan matanya ke arah lain.
"Hoi! Tatap aku! Kau lapar bukan? Ini kan yang kau mau," Enrico kembali memaksa Francesca untuk menatap ke arahnya sambil memainkan garpu yang berisi steak.
Francesca menatap Enrico sesaat sebelum memejamkan matanya kemudian. Dan sikap itu membuat Enrico marah.
"Beraninya kau mengacuhkan aku."
Enrico meremas kedua pipi Francesca dengan satu tangan besarnya, memaksa gadis itu untuk membuka mulutnya. Francesca memberontak, tetapi himpitan tubuh pria itu terlalu kuat. Enrico kemudian memasukan steak itu ke dalam mulutnya, menyesapnya sesaat, membiarkan salivanya menempel pada daging kecil itu. Kemudian dengan kasar dia mendorong garpu berisi steak itu ke dalam mulut Francesca.
Gadis itu memberontak, dia berusaha menahan makanan itu untuk masuk ke dalam bibirnya. Tapi cengkeraman tangan Enrico yang kuat tidak mampu dia lepaskan. Steak bercampur saliva Enrico sudah masuk ke dalam mulut Francesca. Enrico tetap menghimpit tubuh gadis itu dan menahan mulutnya. Seberapa besar usaha Francesca untuk mengeluarkan steak itu, tetaplah sia-sia.
Steak itu berputar dalam mulutnya sebelum akhirnya dia terpaksa menelannya. Melihat tenggorokan Francesca bergerak, Enrico tertawa menghina sambil melepaskan bekapannya. Francesca terbatuk-batuk. Dia membungkukan badannya memegang kerongkongan yang telah dialiri oleh steak bekas mulut Enrico. Dengan jijik Francesca memandang pria di hadapannya.
"Kau menjijikan!"
"Bukankah kau lapar, hah?! Aku sudah memberimu makan. Hahahaha ... bersyukurlah akan kebaikanku. Jangan lupa makan roti itu."
Enrico menendang roti yang tergeletak di lantai ke arah Francesca. Dengan pongah dan penuh kemenangan Enrico meninggalkan ruangan tersebut. Membiarkan piring sisa makananya tergeletak begitu saja.
Gadis itu meneteskan air matanya, tidak menghiraukan perbuatan Enrico. Dia memasukan seluruh tubuhnya kedalam lingkaran kasur busa tipis.
Sungguh ini pertama kali dalam hidupnya, Francesca merasakan penghinaan dan penderitaan seperti ini. Bahkan Francesca yakin, narapidana di penjara pun diperlakukan dengan lebih baik. Sampai kapan dia akan mengalami penghinaan seperti ini.
Malam sudah bergulir diterpa oleh cahaya mentari pagi. Kegelapan sirna digantikan dengan terang. Udara dingin sedikit demi sedikit mulai menghangat akibat sinar matahari yang muncul di ufuk timur. Suara deburan air laut terdengar samar-samar. Alam semesta tampak begitu indah. Enrico terbangun dengan tubuh segar dan perasaan bahagia. Dia membuka jendela dan memandang deburan air laut sambil tersenyum lebar. Hembusan angin laut yang dingin dan kering, dia terima dengan sukacita. Hari ini, dia akan melemparkan sebuah kenyataan kepada Fransisca. Enrico tertawa membayangkan raut wajah gadis cantik itu jika membaca berkas yang dia terima. Tentu saja dia pasti akan shock. Semua ini bermula dengan pertemuan pertamanya dengan Francesca di gedung Opera. Pertemuan itu menguak luka masa lalu dan membuat bara dendam muncul kembali. Enrico mul
Francesca meringkuk menahan lapar dan dingin yang semakin menusuk. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan hawa yang dingin. Udara dingin menusuk meskipun tidak ada salju. Francesca yang dibesarkan di udara pantai yang tropis, membuatnya kesulitan beradaptasi dengan dingin. Sudah tiga hari dia kelaparan. Hanya air payau dan segelas teh hangat di pagi hari yang membuat gadis itu bertahan. Matanya lapar tertuju pada seonggok roti yang ada dilantai. Roti yang sudah mulai berjamur dan kotor. Dia sengaja membiarkan roti itu tetap di lantai. Supaya Enrico tidak menghina dirinya dengan menuduh menikmati makanan sampah. Dalam keadaan kelaparan pun, harga diri tetap di junjung tinggi. Sepanjang hari yang dapat dia lakukan hanyalah menggesek biola dan memanjatkan doa. Francesca yakin Tuhan itu ada. Seperti
Gadis malang itu terbaring lemah diatas tempat tidur. Wajahnya sudah mulai berwarna, tidak sepucat seperti beberapa hari sebelumnya. Cairan infus itu tampaknya berhasil memberikan asupan makanan dalam tubuhnya. Sudah dua hari Francesca tidak sadarkan diri. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Setiap hari seorang pelayan membersihkan tubuh gadis itu dan mengoleskan air madu di bibir Francesca yang pecah-pecah. Kini bibirnya merona alami kembali. Tuhan itu memang ada. Dia mendengarkan jeritan hati dan doa Francesca, dengan mengirimkan Leonardo untuk menyelamatkan gadis itu. Setidaknya saat ini gadis malang yang masih terbaring lemah, sudah berada di ruangan yang lebih baik dan mendapatkan perawatan. Hampir setiap saat setelah kembali dari lada
Gemercik suara air dari pancuran, mengguyur tubuh Francesca. Ini air hangat pertama yang dia rasakan mengaliri kulitnya, setelah tujuh hari terkurung di kediaman Enrico. Francesca menikmati aliran air yang membasuh tubuhnya dengan penuh syukur. Sudah tujuh hari, gadis cantik itu tidak mandi. Tubuhnya yang berangsur membaik, membuat dia memaksakan diri untuk mandi. Francesca menggosok seluruh tubuh, membuang kulit kering yang sudah mulai mengelupas. Hawa dingin di pulau ini membuat kulitnya menjadi kering.Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dibawah aliran air hangat, Francesca mengeringkan tubuhnya. Dia mengenakan bathrobe sebelum keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih menggulung di atas kepala. Francesca duduk di depan meja rias, mematut dirinya. Mata dan pipinya tampak mulai cekung. Tapi it
Francesca Tin ... tin ... tinnnn .... Sebuah klakson mobil golf mendekat, Enrico disana, dibalik kemudi sambil menyeringai dingin kearah Francesca. Langkah kaki gadis itu terpaku di depan gerbang dengan pandangan lekat ke arah Enrico yang semakin mendekat. Dia mengerti sia-sia saja menghindari predator buas dihadapannya. Mobil golf yang di kendarai Enrico, behenti tepat dihadapan Francesca. Moncong kendaraan itu menempel pada kaki gadis itu. Francesca secara reflex mundur satu langkah ke belakang. Dengan tubuh yang gemetaran, gadis itu memaksakan senyuman kaku di wajahnya. "Tuan---" "Kau henda
francesca Leonardo membawa masuk Francesca kembali kedalam kamar. Dia mendudukan gadis itu ke tempat tidur, kemudian menyalakan pemanas ruangan. Pria itu berusaha menenangkan Francesca dengan duduk disisinya. Penuh kelembutan, Leonardo menyentuh tangan Francesca. Gadis itu terkejut merasakan sentuhan Leonardo. Spontan saja dia menarik tangannya. Francesca mendekap kedua tangannya di dada dan menjepit dengan kedua lutut. Leonardo tidak marah, dia malahan tersenyum hangat sambil memegang pipi Francesca. "Jangan takut padaku. Lihat kulitmu sangat dingin sekali," ucapnya penuh kelembutan. Francesca memiringkan kepalanya, menghindari sentuhan Leonardo.
"Arkhhhhh! Tidakkkk!" Francesca terbangun dari mimpi buruknya. Keringat membanjiri kening dan nafasnya tersenggal-senggal. Mimpi itu serasa nyata dan sungguh membuat dirinya ketakutan. "Kakak Conrad ...," desisnya perlahan, mengingat nama bocah lelaki yang muncul di mimpinya. Dalam keadaan tubuh yang masih gemetaran, perlahan Francesca mengingat kembali bagian puzzle masa lalu, kenangan masa kecilnya yang hilang. Dan hal itu membuat dirinya semakin tergoncang. Dalam keadaan batin yang masih syokk, Francesca begitu membutuhkan pelukan hangat Diana Stevani, wanita yang dengan penuh kasih membesarkan dirinya. Belum sempat dia menenangkan diri, terdengar suara mesin yang dihidupkan dan peluit panjang. Francesca tersentak. Suara peluit yang keras itu membuat dirinya tersadar akan sesua
Francesca terbangun ketika dia merasakan air dingin membasahi wajahnya. Gadis itu terkejut dan segera menegakkan tubuhnya. Dia beringsut merapat ke sandaran tempat tidur, saat melihat Enrico sudah berdiri dihadapannya dengan memegang gelas kosong.Pandangan mata biru Enrico terlihat sangat dingin, melebihi air es yang disiramkan ke wajah Francesca. Raut wajah pria itu tak terbacakan. Aura yang dipancarkan selalu menyalurkan hawa takut, setiap kali dia berada dihadapan gadis itu.Francesca dengan tangan gemetaran, mengusap air yang membasahi wajah, rambut depan dan sebagaian pakaian yang dia kenakan. Beruntung sekali, saat ini dirinya tidak dikurung diatas menara castle, jika tidak dapat dipastikan tubuhnya akan pucat pasi, menggigil kedinginan oleh air dingin yang disiramkan Enrico juga kehadiran pria itu."Bagun kau! Keluar dalam waktu lima menit!" Perintah Enrico dengan wajah datar.Pria itu kemudian keluar tanpa menunggu jawab
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert