Langkah Rakasura menggema pelan saat ia memasuki lorong tengah. Dinding-dindingnya kasar, dibentuk dari lapisan tanah keras dan batu yang seperti pernah terbakar. Setiap hembusan napas terasa berat, seolah udara di dalam ruangan itu membawa beban ribuan tahun ambisi yang gagal ditebus.
Tak ada cahaya selain semburat samar dari batu-batu kecil yang tertanam di dinding, berkilau pucat seperti bara yang hampir padam. Tapi cukup untuk menunjukkan jalannya.
Lorong itu melengkung, memutar ke dalam, seperti menuntunnya turun ke pusat dirinya sendiri.
Di tengah perjalanan, ia mulai mendengar suara. Bukan bisikan asing seperti tadi. Kali ini, suaranya sendiri.
“Kau gagal. Kau kehilangan gelang itu. Bahkan kau tak tahu di mana bagian-ba
Langkah Tirta terasa lebih cepat dari seharusnya. Bukan karena semangat, tapi karena gugup yang makin lama makin menyesak di dada. Lorong hijau tua yang ia lewati penuh akar menggantung dan dinding lembab yang seolah bergerak sedikit setiap kali ia lewat.Ia tak mau menengok ke belakang. Karena begitu pintu batu menutup di belakangnya tadi, ruangan itu terasa seperti hidup—seperti tempat yang diam-diam memerhatikan.“Yah… bagus, Tirta,” gumamnya. “Kau ikut dua orang petarung, masuk kuil misterius, sekarang disuruh jalan sendiri. Ini ide brilian nomor satu sepanjang hidupmu.”Langkahnya pelan. Nafasnya mulai pendek. Dinding-dinding lorong seperti menyesuaikan diri dengannya—makin lama makin menyempit, seakan tahu bahwa ia paling tak suka tempat sempit dan sunyi.Tiba-tiba, suara bisikan datang. Tapi tak seperti bisikan mistis yang berat dan menyeramkan. Suara ini… familiar.“Kau pikir kau cukup kuat?” “Kau cuma bocah. Lari-lari di hutan, main t
Jalan setapak menuju timur laut tidak seterjal jalur mereka sebelumnya, tapi tetap menyimpan tantangan. Setelah keluar dari Purwa Lemah, mereka melewati hutan yang lebih rimbun namun juga lebih hidup—burung-burung bersuara, angin berbisik di antara daun-daun, dan matahari menembus pepohonan dalam garis-garis emas.Bisa dibilang... ini hari pertama sejak mereka meninggalkan desa dengan dada lebih ringan.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap, tapi tidak tergesa. Tangannya menyentuh kain di pinggang tempat fragmen gelang disimpan. Benda itu terasa tenang kini, tidak lagi berdenyut seperti saat di kuil. Mungkin karena sudah menemukan sebagian dirinya.Di belakang, Tirta dan Ayu saling bersahutan.“Aku tetap heran,” kata Tirta sambil mengangkat
Mereka berdiri di puncak bukit yang menghadap ke sebuah desa kecil yang tertutup kabut tipis. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling perkampungan itu, menciptakan semacam dinding alami yang membuatnya tampak terasing dari dunia luar. Atap-atap rumah sederhana tampak dari kejauhan, beberapa ditumbuhi lumut, lainnya menghitam oleh usia. Yang paling mencolok bukanlah rumah-rumah tua itu, melainkan sungai yang membelah desa dari timur ke barat. Aliran airnya tampak stagnan, berwarna kehijauan, nyaris seperti cairan herba yang terlalu lama disimpan.“Kau lihat?” Rakasura menyipitkan mata, menatap lekat ke arah sungai.Ayu mengangguk. “Airnya tidak bergerak. Dan... warnanya salah.”“Air nggak harus bening," Tirta ikut angkat suara dari belakang, mencoba mencairkan suasana. "Tapi kalau warna
Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu?” tanya Ayu, menatap Rakasura yang duduk bersandar pada dinding bambu rumahnya. Rakasura diam sejenak, mencari jawaban yang paling masuk akal yang bisa dia temukan. “Aku diserang oleh sekelompok... Bandit” jawabnya singkat dengan nada suara tenang namun tegas. “Lalu kenapa kau terlihat seperti seorang prajurit? Pedangmu itu jelas bukan milik seorang pengembara biasa.” Ayu mengerutkan kening sembari memperhatikan penampilan Rakasura, Ia tidak sepenuhnya percaya perkataan pria yang ada di depan matanya. “Ini... peninggalan keluargaku,” jawab Rakasura sambil menundukkan kepala, menghindari tatapan Ayu. “Hanya itu yang tersisa dari masa laluku.” tambah Rakasura sembari memandangi pedang kebanggaannya yang tak se berkilau dahulu Ayu, meski masih ragu, memilih untuk tidak mendesak. Ia mengambil baskom berisi air hangat dan kain bersih, lalu mulai membersihkan luka di lengan Rakasura. “Terima kasih,” ucap Rakasura pelan, menatap Ayu yang sibu
Sore itu, lapangan di dekat balai desa menjadi tempat berkumpulnya beberapa pria dan wanita desa. Mereka berdiri dalam barisan yang tidak rapih, wajah mereka risau penuh keraguan. Sebagian besar dari mereka membawa alat-alat seadanya, mulai dai tongkat kayu, cangkul, bahkan gagang sapu yang sudah tua. "Dengar," suara lantang Rakasura memecah suasana canggung. Ia berdiri di depan mereka dengan sikap tegas, memandangi setiap wajah yang ada. "Aku tahu kalian bukan pejuang, tetapi kalian bisa belajar untuk melindungi diri dan keluarga kalian. Tidak ada yang terlalu lemah jika memiliki tekad. Bersama-sama, kita bisa menjaga desa ini dari ancaman apa pun." Beberapa orang saling berpandangan, lalu mulai mengangguk pelan. Semangat Rakasura tampaknya mulai menghapus keraguan mereka. "Ambil tongkat atau apa saja yang bisa digunakan sebagai senjata. Kita akan berlatih!" Latihan dimulai dengan gerakan dasar mulai dari agaimana cara memegang senjata, posisi bertahan, dan langkah sederha
Malam semakin larut, tetapi rasa waspada tetap menyelimuti desa. Rakasura berdiri di tengah lapangan desa, matanya tajam mengamati setiap sudut gelap. Suara jangkrik yang monoton seakan mengiringi pengamatan Rakasura, sementara udara malam yang dingin terasa menusuk kulit.Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan kehadiran apa pun yang asing. Namun, yang ia rasakan hanyalah keheningan selain suara jangkrik dan binatang malam lainnya.Tiba-tiba, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Rakasura membuka matanya dengan cepat, mencengkeram gagang pedangnya. "Mereka datang," Ucap Rakasura memperingatkan beberapa orang yang berjaga dengannya.Suara kentongan pertanda bahaya dibunyikan, para warga berjaga di rumah-rumah mereka. Mereka mempersenjatai diri dengan alat alat bertani yang tersedia di rumah.Beberapa warga yang mempunyai senjata yang memadai keluar untuk membantu kelompok Rakasura Dari kejauhan, suara langkah kaki berat mulai terdengar. Bayangan-bayangan besar muncul dari
Udara malam yang dingin menyelimuti desa, dengan suara angin yang berbisik melewati pepohonan. Ayu berlari di samping Rakasura, napasnya terdengar berat, sementara di antara mereka, Pak Darmo terkulai lemah di bahu Rakasura."Apa dia masih bernapas?" Ayu bertanya dengan suara gemetar, tangannya memegangi kain yang menutupi luka di lengan Pak Darmo."Masih," Rakasura menjawab singkat, napasnya stabil meski langkahnya tergesa. Ia menatap lurus ke depan, memastikan jalan setapak menuju desa tetap terlihat di bawah sinar bulan yang redup. "Kita harus cepat."Ketika mereka akhirnya mencapai gerbang desa, beberapa warga yang masih berjaga terkejut melihat mereka. "Pak Darmo! Apa yang terjadi?" salah satu dari mereka berseru, matanya membesar melihat tubuh lemah pria tua itu."Dia terluka di hutan, Kami menemukannya di dekat pohon besar di tepi hutan." Ayu menjelaskan sambil mengatur napas."Segera panggil Pak Wira, Bawa dia ke balai desa!" perintah seorang wanita paruh baya yang mendekat.
Mereka berdiri di puncak bukit yang menghadap ke sebuah desa kecil yang tertutup kabut tipis. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling perkampungan itu, menciptakan semacam dinding alami yang membuatnya tampak terasing dari dunia luar. Atap-atap rumah sederhana tampak dari kejauhan, beberapa ditumbuhi lumut, lainnya menghitam oleh usia. Yang paling mencolok bukanlah rumah-rumah tua itu, melainkan sungai yang membelah desa dari timur ke barat. Aliran airnya tampak stagnan, berwarna kehijauan, nyaris seperti cairan herba yang terlalu lama disimpan.“Kau lihat?” Rakasura menyipitkan mata, menatap lekat ke arah sungai.Ayu mengangguk. “Airnya tidak bergerak. Dan... warnanya salah.”“Air nggak harus bening," Tirta ikut angkat suara dari belakang, mencoba mencairkan suasana. "Tapi kalau warna
Jalan setapak menuju timur laut tidak seterjal jalur mereka sebelumnya, tapi tetap menyimpan tantangan. Setelah keluar dari Purwa Lemah, mereka melewati hutan yang lebih rimbun namun juga lebih hidup—burung-burung bersuara, angin berbisik di antara daun-daun, dan matahari menembus pepohonan dalam garis-garis emas.Bisa dibilang... ini hari pertama sejak mereka meninggalkan desa dengan dada lebih ringan.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap, tapi tidak tergesa. Tangannya menyentuh kain di pinggang tempat fragmen gelang disimpan. Benda itu terasa tenang kini, tidak lagi berdenyut seperti saat di kuil. Mungkin karena sudah menemukan sebagian dirinya.Di belakang, Tirta dan Ayu saling bersahutan.“Aku tetap heran,” kata Tirta sambil mengangkat
Langkah Tirta terasa lebih cepat dari seharusnya. Bukan karena semangat, tapi karena gugup yang makin lama makin menyesak di dada. Lorong hijau tua yang ia lewati penuh akar menggantung dan dinding lembab yang seolah bergerak sedikit setiap kali ia lewat.Ia tak mau menengok ke belakang. Karena begitu pintu batu menutup di belakangnya tadi, ruangan itu terasa seperti hidup—seperti tempat yang diam-diam memerhatikan.“Yah… bagus, Tirta,” gumamnya. “Kau ikut dua orang petarung, masuk kuil misterius, sekarang disuruh jalan sendiri. Ini ide brilian nomor satu sepanjang hidupmu.”Langkahnya pelan. Nafasnya mulai pendek. Dinding-dinding lorong seperti menyesuaikan diri dengannya—makin lama makin menyempit, seakan tahu bahwa ia paling tak suka tempat sempit dan sunyi.Tiba-tiba, suara bisikan datang. Tapi tak seperti bisikan mistis yang berat dan menyeramkan. Suara ini… familiar.“Kau pikir kau cukup kuat?” “Kau cuma bocah. Lari-lari di hutan, main t
Langkah Rakasura menggema pelan saat ia memasuki lorong tengah. Dinding-dindingnya kasar, dibentuk dari lapisan tanah keras dan batu yang seperti pernah terbakar. Setiap hembusan napas terasa berat, seolah udara di dalam ruangan itu membawa beban ribuan tahun ambisi yang gagal ditebus.Tak ada cahaya selain semburat samar dari batu-batu kecil yang tertanam di dinding, berkilau pucat seperti bara yang hampir padam. Tapi cukup untuk menunjukkan jalannya.Lorong itu melengkung, memutar ke dalam, seperti menuntunnya turun ke pusat dirinya sendiri.Di tengah perjalanan, ia mulai mendengar suara. Bukan bisikan asing seperti tadi. Kali ini, suaranya sendiri.“Kau gagal. Kau kehilangan gelang itu. Bahkan kau tak tahu di mana bagian-ba
Aroma daun basah dan jamur tua mulai terasa begitu mereka meninggalkan Rawasinga. Jalur ke utara yang ditunjukkan Samarsa bukanlah jalan besar, melainkan semacam jalur perburuan lama yang sebagian besar tertutup semak dan akar pohon. Langit mendung membuat waktu sulit ditebak. Matahari seperti malu-malu muncul dari balik celah awan, hanya untuk menghilang lagi.Tirta mengeluh pelan sambil menarik ranting dari celananya. “Kalau jalan terus begini, kita bakal makan akar pohon sore nanti.”“Kau bisa makan keluhanmu dulu,” kata Ayu datar tanpa menoleh.Rakasura berjalan di depan, langkahnya stabil. Peta kasar di tangannya hanya berisi simbol dan goresan samar yang dibuat Samarsa dengan arang. Tapi setiap lekuk jalur, setiap tanda bebatuan, terasa familiar baginya—seolah tubuhnya mengingat meski pikirannya tidak.
Mereka tiba di Rawasinga menjelang petang.Langit bergelayut jingga pucat, memandikan bukit dan reruntuhan rumah dengan warna tembaga muram. Desa itu sunyi—terlalu sunyi. Sebagian rumah terlihat utuh, sebagian lain nyaris roboh, ditelan lumut dan akar. Angin berhembus lambat, membawa aroma daun basah dan tanah yang lama tidak dijamah manusia.“Tempat ini... seperti dilupakan dunia,” bisik Ayu, mengedarkan pandangan.“Bukan dilupakan,” sahut Rakasura pelan. “Tapi ditinggalkan.”Tirta mendekatkan tombaknya, waspada. “Kita masuk nggak nih? Aku bisa rasa udara di sini aneh.”Saat mereka ragu-ragu di gerbang desa yang terbuat dari bambu lapuk, seorang lelaki tua muncul dari bal
Matahari pagi menyemburatkan cahaya keemasan di atas desa. Namun tak seperti biasanya, suasana pagi itu dipenuhi dengan aroma yang asing—bau daging yang diasapi, tercampur rempah-rempah dan kayu bakar. Beberapa warga sibuk menggantung potongan daging berwarna gelap di atas anyaman bambu, sementara yang lain mengaduk rebusan kental di dalam kuali besar.Di tengah-tengah keramaian itu, Tirta berdiri dengan tatapan terkesima. “Kau serius... ini daging siluman kemarin?” bisiknya ke salah satu warga tua.Pak Darmo mengangguk tenang. “Dia bukan siluman biasa. Tak lenyap jadi abu. Tubuhnya masih padat, seperti hewan hutan… hanya lebih galak.” Tangannya terus mengaduk pot besar berisi kuah yang menggoda.Tirta mendekat dan mencolek sepotong daging kering. “Rasanya kayak daging rusa
Langit pagi menggantung pucat, sementara kabut tipis masih menyelimuti lapangan latihan di tengah desa. Embun masih menempel di batang-batang bambu ketika suara derap kaki mulai terdengar beriringan.Rakasura berdiri di tengah lapangan, mengenakan kain pelindung dada dari kulit kayu, sementara seikat rambutnya terikat ke belakang. Di hadapannya, dua baris warga desa berdiri tegak, sebagian memegang tongkat kayu, sebagian lagi membawa alat tani yang dimodifikasi menjadi senjata sederhana.Hari ini, mereka sudah memasuki hari ketujuh latihan. Dan Rakasura bisa melihat perubahan kecil—cara mereka berdiri, tatapan mata yang lebih yakin, dan bahkan cara mereka menggenggam senjata."Siapa yang bisa menahan serangan dari tiga arah?" tanyanya, menatap kelompok itu.Tiga pemuda m
Rakasura melangkah pelan di sepanjang hutan, kaki-kaki besar menapak lembut di atas tanah yang lembab. Malam mulai merayap, dan cahaya bulan yang redup memberi kesan misterius pada setiap sudut yang ia lalui. Hati Rakasura berdebar, tidak hanya karena ancaman yang mengintai di hadapannya, tetapi juga karena perasaan yang semakin lama semakin kuat dalam dirinya—perasaan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Ini bukan lagi soal gelar atau kehormatan sebagai penjaga Kahyangan. Ini adalah tentang melindungi mereka yang memandangnya dengan harapan.Desa ini adalah tempat yang belum pernah ia kenal sebelumnya, tapi kini, ia mulai merasa sesuatu yang lebih dari sekadar tempat menumpang tidur. Di dunia yang jauh dari Kahyangan, ia merasa seperti satu-satunya yang dapat menjaga mereka dari ancaman nyata.Tapi ancaman yang datang bukan hanya sekedar fisik. Ada perasaan tak terdefinisikan, sesuatu yang menggerogoti pikirannya setiap saat—terutama setelah pertemuannya dengan makhluk ber