Share

Bab 15

Author: Zidan Fadil
last update Last Updated: 2025-04-24 18:00:34

Mereka tiba di Rawasinga menjelang petang.

Langit bergelayut jingga pucat, memandikan bukit dan reruntuhan rumah dengan warna tembaga muram. Desa itu sunyi—terlalu sunyi. Sebagian rumah terlihat utuh, sebagian lain nyaris roboh, ditelan lumut dan akar. Angin berhembus lambat, membawa aroma daun basah dan tanah yang lama tidak dijamah manusia.

“Tempat ini... seperti dilupakan dunia,” bisik Ayu, mengedarkan pandangan.

“Bukan dilupakan,” sahut Rakasura pelan. “Tapi ditinggalkan.”

Tirta mendekatkan tombaknya, waspada. “Kita masuk nggak nih? Aku bisa rasa udara di sini aneh.”

Saat mereka ragu-ragu di gerbang desa yang terbuat dari bambu lapuk, seorang lelaki tua muncul dari bal

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Gelang Langit   Bab 16

    Aroma daun basah dan jamur tua mulai terasa begitu mereka meninggalkan Rawasinga. Jalur ke utara yang ditunjukkan Samarsa bukanlah jalan besar, melainkan semacam jalur perburuan lama yang sebagian besar tertutup semak dan akar pohon. Langit mendung membuat waktu sulit ditebak. Matahari seperti malu-malu muncul dari balik celah awan, hanya untuk menghilang lagi.Tirta mengeluh pelan sambil menarik ranting dari celananya. “Kalau jalan terus begini, kita bakal makan akar pohon sore nanti.”“Kau bisa makan keluhanmu dulu,” kata Ayu datar tanpa menoleh.Rakasura berjalan di depan, langkahnya stabil. Peta kasar di tangannya hanya berisi simbol dan goresan samar yang dibuat Samarsa dengan arang. Tapi setiap lekuk jalur, setiap tanda bebatuan, terasa familiar baginya—seolah tubuhnya mengingat meski pikirannya tidak.

    Last Updated : 2025-04-25
  • Gelang Langit   Bab 17

    Langkah Rakasura menggema pelan saat ia memasuki lorong tengah. Dinding-dindingnya kasar, dibentuk dari lapisan tanah keras dan batu yang seperti pernah terbakar. Setiap hembusan napas terasa berat, seolah udara di dalam ruangan itu membawa beban ribuan tahun ambisi yang gagal ditebus.Tak ada cahaya selain semburat samar dari batu-batu kecil yang tertanam di dinding, berkilau pucat seperti bara yang hampir padam. Tapi cukup untuk menunjukkan jalannya.Lorong itu melengkung, memutar ke dalam, seperti menuntunnya turun ke pusat dirinya sendiri.Di tengah perjalanan, ia mulai mendengar suara. Bukan bisikan asing seperti tadi. Kali ini, suaranya sendiri.“Kau gagal. Kau kehilangan gelang itu. Bahkan kau tak tahu di mana bagian-ba

    Last Updated : 2025-04-26
  • Gelang Langit   Bab 18

    Langkah Tirta terasa lebih cepat dari seharusnya. Bukan karena semangat, tapi karena gugup yang makin lama makin menyesak di dada. Lorong hijau tua yang ia lewati penuh akar menggantung dan dinding lembab yang seolah bergerak sedikit setiap kali ia lewat.Ia tak mau menengok ke belakang. Karena begitu pintu batu menutup di belakangnya tadi, ruangan itu terasa seperti hidup—seperti tempat yang diam-diam memerhatikan.“Yah… bagus, Tirta,” gumamnya. “Kau ikut dua orang petarung, masuk kuil misterius, sekarang disuruh jalan sendiri. Ini ide brilian nomor satu sepanjang hidupmu.”Langkahnya pelan. Nafasnya mulai pendek. Dinding-dinding lorong seperti menyesuaikan diri dengannya—makin lama makin menyempit, seakan tahu bahwa ia paling tak suka tempat sempit dan sunyi.Tiba-tiba, suara bisikan datang. Tapi tak seperti bisikan mistis yang berat dan menyeramkan. Suara ini… familiar.“Kau pikir kau cukup kuat?” “Kau cuma bocah. Lari-lari di hutan, main t

    Last Updated : 2025-04-27
  • Gelang Langit   Bab 19

    Jalan setapak menuju timur laut tidak seterjal jalur mereka sebelumnya, tapi tetap menyimpan tantangan. Setelah keluar dari Purwa Lemah, mereka melewati hutan yang lebih rimbun namun juga lebih hidup—burung-burung bersuara, angin berbisik di antara daun-daun, dan matahari menembus pepohonan dalam garis-garis emas.Bisa dibilang... ini hari pertama sejak mereka meninggalkan desa dengan dada lebih ringan.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap, tapi tidak tergesa. Tangannya menyentuh kain di pinggang tempat fragmen gelang disimpan. Benda itu terasa tenang kini, tidak lagi berdenyut seperti saat di kuil. Mungkin karena sudah menemukan sebagian dirinya.Di belakang, Tirta dan Ayu saling bersahutan.“Aku tetap heran,” kata Tirta sambil mengangkat

    Last Updated : 2025-04-28
  • Gelang Langit   Bab 20

    Mereka berdiri di puncak bukit yang menghadap ke sebuah desa kecil yang tertutup kabut tipis. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling perkampungan itu, menciptakan semacam dinding alami yang membuatnya tampak terasing dari dunia luar. Atap-atap rumah sederhana tampak dari kejauhan, beberapa ditumbuhi lumut, lainnya menghitam oleh usia. Yang paling mencolok bukanlah rumah-rumah tua itu, melainkan sungai yang membelah desa dari timur ke barat. Aliran airnya tampak stagnan, berwarna kehijauan, nyaris seperti cairan herba yang terlalu lama disimpan.“Kau lihat?” Rakasura menyipitkan mata, menatap lekat ke arah sungai.Ayu mengangguk. “Airnya tidak bergerak. Dan... warnanya salah.”“Air nggak harus bening," Tirta ikut angkat suara dari belakang, mencoba mencairkan suasana. "Tapi kalau warna

    Last Updated : 2025-04-29
  • Gelang Langit   Bab 21

    Fajar baru saja menggeliat dari balik pegunungan saat Rakasura berdiri di tepi sungai. Udara pagi masih menggigit, menusuk lewat celah-celah pakaian. Kabut tipis mengambang di atas permukaan air, membuat sungai tampak seperti lorong menuju dunia lain.Ia berdiri tanpa suara, memandang air yang diam. Pantulan di permukaan tidak bergerak, meskipun daun-daun berguguran satu per satu dari pohon di atasnya. Angin bertiup pelan, menyibak rambutnya, tapi pantulan Rakasura tetap utuh. Tak berkedip. Tak berubah.Ayu muncul dari balik ilalang, langkahnya ringan.“Kau tidak tidur?”Rakasura menggeleng pelan. “Bayangan itu datang lagi. Tapi kali ini, ia menunjuk ke arah sungai. Aku rasa... kita harus masuk.”Ayu m

    Last Updated : 2025-04-30
  • Gelang Langit   Bab 22

    Pagi di luar Desa Kemiripan menjanjikan udara segar dan langit yang lebih cerah dari biasanya. Embun masih menggantung di ujung rumput saat langkah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta mengayun meninggalkan batas desa. Tak ada perayaan, tak ada arak-arakan, tapi ketiganya merasa telah mengukir sesuatu yang lebih penting daripada tepuk tangan: kedamaian yang kembali.Jalan kecil yang mereka pilih membelah dua perbukitan yang menjulur panjang seperti lengan raksasa yang melindungi dataran rendah. Menurut peta kasar yang mereka peroleh dari Denatra, di ujung jalan ini ada sebuah celah sempit di antara dua gunung kembar. Celah itu dikenal oleh orang-orang setempat sebagai Lorong Wesi, tempat banyak kafilah dan peziarah melewati jalur dagang ke utara.“Jadi... jalur kita berikutnya

    Last Updated : 2025-05-01
  • Gelang Langit   Bab 1

    Kahyangan, negeri para dewa, memancarkan keagungan yang tak terbandingkan. Pilar-pilar emas menjulang tinggi, langit di atasnya berpendar biru keperakan, dan lantai kristal memantulkan sinar seperti berlian. Namun, di tengah keindahan itu, suasana penuh ketegangan menggantung di aula utama. Para dewa berdiri melingkar, menatap seseorang yang berlutut di tengah aula. Rakasura, Dewa Perang yang gagah perkasa, kini tampak tak berdaya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan cahaya ilahi kini tampak redup, dan matanya tertunduk menahan rasa malu. Ia tahu kesalahannya terlalu besar untuk diperbaiki. “Rakasura,” suara Maha Dewa menggema, setiap kata menggetarkan ruangan. “Kau tahu gelang apa yang dipercayakan padamu itu? Gelang Kahyangan, simbol kehormatanmu sebagai Dewa Perang, dan kini gelang itu berada di tangan siluman.” Rakasura menggigit bibirnya. Ia ingin membela diri, tetapi kenyataan terlalu pahit untuk dibantah. Beberapa hari yang lalu, gelang itu dirampas saat ia berada di te

    Last Updated : 2025-01-13

Latest chapter

  • Gelang Langit   Bab 22

    Pagi di luar Desa Kemiripan menjanjikan udara segar dan langit yang lebih cerah dari biasanya. Embun masih menggantung di ujung rumput saat langkah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta mengayun meninggalkan batas desa. Tak ada perayaan, tak ada arak-arakan, tapi ketiganya merasa telah mengukir sesuatu yang lebih penting daripada tepuk tangan: kedamaian yang kembali.Jalan kecil yang mereka pilih membelah dua perbukitan yang menjulur panjang seperti lengan raksasa yang melindungi dataran rendah. Menurut peta kasar yang mereka peroleh dari Denatra, di ujung jalan ini ada sebuah celah sempit di antara dua gunung kembar. Celah itu dikenal oleh orang-orang setempat sebagai Lorong Wesi, tempat banyak kafilah dan peziarah melewati jalur dagang ke utara.“Jadi... jalur kita berikutnya

  • Gelang Langit   Bab 21

    Fajar baru saja menggeliat dari balik pegunungan saat Rakasura berdiri di tepi sungai. Udara pagi masih menggigit, menusuk lewat celah-celah pakaian. Kabut tipis mengambang di atas permukaan air, membuat sungai tampak seperti lorong menuju dunia lain.Ia berdiri tanpa suara, memandang air yang diam. Pantulan di permukaan tidak bergerak, meskipun daun-daun berguguran satu per satu dari pohon di atasnya. Angin bertiup pelan, menyibak rambutnya, tapi pantulan Rakasura tetap utuh. Tak berkedip. Tak berubah.Ayu muncul dari balik ilalang, langkahnya ringan.“Kau tidak tidur?”Rakasura menggeleng pelan. “Bayangan itu datang lagi. Tapi kali ini, ia menunjuk ke arah sungai. Aku rasa... kita harus masuk.”Ayu m

  • Gelang Langit   Bab 20

    Mereka berdiri di puncak bukit yang menghadap ke sebuah desa kecil yang tertutup kabut tipis. Pepohonan tinggi menjulang di sekeliling perkampungan itu, menciptakan semacam dinding alami yang membuatnya tampak terasing dari dunia luar. Atap-atap rumah sederhana tampak dari kejauhan, beberapa ditumbuhi lumut, lainnya menghitam oleh usia. Yang paling mencolok bukanlah rumah-rumah tua itu, melainkan sungai yang membelah desa dari timur ke barat. Aliran airnya tampak stagnan, berwarna kehijauan, nyaris seperti cairan herba yang terlalu lama disimpan.“Kau lihat?” Rakasura menyipitkan mata, menatap lekat ke arah sungai.Ayu mengangguk. “Airnya tidak bergerak. Dan... warnanya salah.”“Air nggak harus bening," Tirta ikut angkat suara dari belakang, mencoba mencairkan suasana. "Tapi kalau warna

  • Gelang Langit   Bab 19

    Jalan setapak menuju timur laut tidak seterjal jalur mereka sebelumnya, tapi tetap menyimpan tantangan. Setelah keluar dari Purwa Lemah, mereka melewati hutan yang lebih rimbun namun juga lebih hidup—burung-burung bersuara, angin berbisik di antara daun-daun, dan matahari menembus pepohonan dalam garis-garis emas.Bisa dibilang... ini hari pertama sejak mereka meninggalkan desa dengan dada lebih ringan.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap, tapi tidak tergesa. Tangannya menyentuh kain di pinggang tempat fragmen gelang disimpan. Benda itu terasa tenang kini, tidak lagi berdenyut seperti saat di kuil. Mungkin karena sudah menemukan sebagian dirinya.Di belakang, Tirta dan Ayu saling bersahutan.“Aku tetap heran,” kata Tirta sambil mengangkat

  • Gelang Langit   Bab 18

    Langkah Tirta terasa lebih cepat dari seharusnya. Bukan karena semangat, tapi karena gugup yang makin lama makin menyesak di dada. Lorong hijau tua yang ia lewati penuh akar menggantung dan dinding lembab yang seolah bergerak sedikit setiap kali ia lewat.Ia tak mau menengok ke belakang. Karena begitu pintu batu menutup di belakangnya tadi, ruangan itu terasa seperti hidup—seperti tempat yang diam-diam memerhatikan.“Yah… bagus, Tirta,” gumamnya. “Kau ikut dua orang petarung, masuk kuil misterius, sekarang disuruh jalan sendiri. Ini ide brilian nomor satu sepanjang hidupmu.”Langkahnya pelan. Nafasnya mulai pendek. Dinding-dinding lorong seperti menyesuaikan diri dengannya—makin lama makin menyempit, seakan tahu bahwa ia paling tak suka tempat sempit dan sunyi.Tiba-tiba, suara bisikan datang. Tapi tak seperti bisikan mistis yang berat dan menyeramkan. Suara ini… familiar.“Kau pikir kau cukup kuat?” “Kau cuma bocah. Lari-lari di hutan, main t

  • Gelang Langit   Bab 17

    Langkah Rakasura menggema pelan saat ia memasuki lorong tengah. Dinding-dindingnya kasar, dibentuk dari lapisan tanah keras dan batu yang seperti pernah terbakar. Setiap hembusan napas terasa berat, seolah udara di dalam ruangan itu membawa beban ribuan tahun ambisi yang gagal ditebus.Tak ada cahaya selain semburat samar dari batu-batu kecil yang tertanam di dinding, berkilau pucat seperti bara yang hampir padam. Tapi cukup untuk menunjukkan jalannya.Lorong itu melengkung, memutar ke dalam, seperti menuntunnya turun ke pusat dirinya sendiri.Di tengah perjalanan, ia mulai mendengar suara. Bukan bisikan asing seperti tadi. Kali ini, suaranya sendiri.“Kau gagal. Kau kehilangan gelang itu. Bahkan kau tak tahu di mana bagian-ba

  • Gelang Langit   Bab 16

    Aroma daun basah dan jamur tua mulai terasa begitu mereka meninggalkan Rawasinga. Jalur ke utara yang ditunjukkan Samarsa bukanlah jalan besar, melainkan semacam jalur perburuan lama yang sebagian besar tertutup semak dan akar pohon. Langit mendung membuat waktu sulit ditebak. Matahari seperti malu-malu muncul dari balik celah awan, hanya untuk menghilang lagi.Tirta mengeluh pelan sambil menarik ranting dari celananya. “Kalau jalan terus begini, kita bakal makan akar pohon sore nanti.”“Kau bisa makan keluhanmu dulu,” kata Ayu datar tanpa menoleh.Rakasura berjalan di depan, langkahnya stabil. Peta kasar di tangannya hanya berisi simbol dan goresan samar yang dibuat Samarsa dengan arang. Tapi setiap lekuk jalur, setiap tanda bebatuan, terasa familiar baginya—seolah tubuhnya mengingat meski pikirannya tidak.

  • Gelang Langit   Bab 15

    Mereka tiba di Rawasinga menjelang petang.Langit bergelayut jingga pucat, memandikan bukit dan reruntuhan rumah dengan warna tembaga muram. Desa itu sunyi—terlalu sunyi. Sebagian rumah terlihat utuh, sebagian lain nyaris roboh, ditelan lumut dan akar. Angin berhembus lambat, membawa aroma daun basah dan tanah yang lama tidak dijamah manusia.“Tempat ini... seperti dilupakan dunia,” bisik Ayu, mengedarkan pandangan.“Bukan dilupakan,” sahut Rakasura pelan. “Tapi ditinggalkan.”Tirta mendekatkan tombaknya, waspada. “Kita masuk nggak nih? Aku bisa rasa udara di sini aneh.”Saat mereka ragu-ragu di gerbang desa yang terbuat dari bambu lapuk, seorang lelaki tua muncul dari bal

  • Gelang Langit   Bab 14

    Matahari pagi menyemburatkan cahaya keemasan di atas desa. Namun tak seperti biasanya, suasana pagi itu dipenuhi dengan aroma yang asing—bau daging yang diasapi, tercampur rempah-rempah dan kayu bakar. Beberapa warga sibuk menggantung potongan daging berwarna gelap di atas anyaman bambu, sementara yang lain mengaduk rebusan kental di dalam kuali besar.Di tengah-tengah keramaian itu, Tirta berdiri dengan tatapan terkesima. “Kau serius... ini daging siluman kemarin?” bisiknya ke salah satu warga tua.Pak Darmo mengangguk tenang. “Dia bukan siluman biasa. Tak lenyap jadi abu. Tubuhnya masih padat, seperti hewan hutan… hanya lebih galak.” Tangannya terus mengaduk pot besar berisi kuah yang menggoda.Tirta mendekat dan mencolek sepotong daging kering. “Rasanya kayak daging rusa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status